TIGA DUA

5.3K 478 89
                                    

SEBUAH HUKUMAN
***

"Lintang! Kamu lagi ngapain?" Hanabi mengetuk pintu kamar Diandra dengan tidak sabaran. Wanita itu takut jika sifat Papa nya menurun.

"Lintang! Buka pintunya!" Hanabi mengetuk pintunya dengan tidak sabaran.

Panik dan takut adalah perasaan yang mendominasi hati Hanabi. Dia panik jika Lingang melakukan hal buruk pada Diandra dan dia takut jika sifat Devan menurun padanya.

"Udah sih, Han, biarin aja." ucapan Devan terdengar malas. Dia bersandar ditembok, menatap kelakuan Hanabi dengan malas.

"Biarin gimana? Kamu gak takut Lintang apa-apain Diandra?" tanya Hanabi mulai tersulut emosi. "Kamu gak khawatir Lintang jadi kek kamu?"

Devan menghembuskan nafasnya pelan. Dia juga tidak mau Lintang menjadi seperti dirinya. Tapi, dia tidak bisa menghentikan Lintang. Anaknya itu melakukan hal yang benar. Sejak awal dia memang tidak menyukai Diandra. Bahkan semuanya bukan hanya Devan saja.

"Gak mau lah. Tapi, Diandra juga salah. Dia pantes dapet hukuman dari Lintang. Lagian, kalo tetep dibiarin bisa ngelunjak." Devan berdiri disebelah Hanabi, mengelus kepala Hanabi dengan lembut.

"Ya tapi, hukuman Lintang itu beda. Kamu mau biarin aja gitu?" tanya Hanabi. Devan hanya mengangkat bahunya acuh.

Hanabi mendengus, dia kembali menggedor pintu kamar Diandra. "Lintang, kamu apain Diandra?!"

"Gak apa-apain. Kami cuman lagi menggambar." jawab Lintang dari dalam kamar.

Jantung Hanabi bergetar tidak karuan mendengar jawaban Lintang. Hanabi perlahan menatap Devan. "Dia..dia gak kek kamu kan?"

Devan mengangkat bahunya acuh. Seorang psikopat tidak akan memiliki rasa simpati apalagi kasihan. Jadi, Devan membiarkan saja Lintang melakukan apa yang anaknya inginkan.

"Kok kamu cuek gitu sih?!" tanya Hanabi kesal. Dia meletakkan kedua tangannya dipinggang. Sifat ibu ibu nya keluar.

"Terus aku harus gimana?" tanya Devan, laki laki itu melakukan hal yang sama seperti Hanabi.

"Mah, Pah, kalian gak curiga gitu?" pertanyaan dari Daffin membuat Hanabi yang akan berbicars mengurungkan niatnya. Keduanya menatap Daffin dengan kening mengernyit.

"Curiga? Curiga gimana?" tanya Hanabi bingung.

"Lazimnya kan orang hamil muntah muntah, tapi Diandra gak ngalamin, Lintang juga enggak. Terus kalo dihitung usia kandungannya dua bulan, seharusnya Diandra udah ngidam. Dia juga gak ada perubahaan sama sekali." penjelasan dari Daffin membuat keduanya terdiam. Daffin itu Dokter, dia tidak akan mungkin salah bukan?

"Bener juga. Dia juga gak pernah periksa kandungan. Ada aja alasannya." ucap Hanabi.

Daffin menjentikkan jarinya. "Nah kan, berarti besar kemungkinan dia bohong. Terus, mana ada seorang Ibu yang rela bunuh anaknya sendiri."

Devan dan Hanabi saling menatap, berbicara lewat tatapan mereka. Keduanya menghela nafas. "Dia memang terlalu pintar."

Sedangkan di dalam kamar, Lintang yang tengah menggambar menghentikan gerakannya saat cat air yang ia gunakan habis. Lintang menatap Diandra yang tengah berbaring lemas diatas tempat tidur. Lintang menggedikkan bahunya, dia berjalan kearah Diandra dengan tangan kanannya yang membawa wadah kecil tempat ia menyimpan cat air nya.

"Cat air gue habis. Lo mau kasih lagi kan?" tanya Lintang dengan seringaian tajamnya. Dia menarik tangan kanan Diandra, dia kembali menggores telapak tangan Diandra.

LINTANG [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang