11. Soal jodoh

42.6K 2.7K 43
                                    

Kali ini Zia benar-benar ingin memakai bos-nya. Siang ini mereka baru saja sampai di hotel yang dekat dengan alun-alun Bandung. Zia masuk kedalam kamar hotel dengan wajah di tekuk. Bagaimana tidak? Bosnya itu memesan satu kamar. Dan yang paling membuat Zia marah, bosnya mengatakan kepada sang resepsonis saat resepsonis itu bertanya kenapa perempuan disampingnya cemberut? Perempuan yang di maksut resepsonis itu adalah dirinya. Dan dengan sangat percaya diri, Bosnya itu menjawab karena dirinya sedang marah gara-gara diajak bulan madu ke Bandung, padahal dirinya meminta bulan madu ke New York. Omong kosong apa itu?

"Seharusnya bapak bilang kalau yang bapak tidak cukup untuk menyewa satu kamar lagi. Saya bisa membayarnya sendiri." Zia menatap Edwin yang sedang duduk di sofa kamar hotel mereka sambil berkacak pinggang.

"Bahkan kalau saya mau, saya bisa saja membeli hotel ini." Edwin berkata dengan sombong. Hal itu membuat Zia ingin muntah.

"Kalau bapak punya uang lebih untuk menyewa satu kamar hotel lagi, kenapa bapak tidak menyewa satu kamar hotel lagi untuk saya?" Zia benar-benar ingin mencakar wajah bosnya. Bosnya itu menatap dirinya dengan wajah tenang seperti tidak memiliki beban masalah.

"Supaya saya bisa membangunkan kamu dan mengajak kamu melihat proyek perhotelan saya dengan tepat waktu. Tanpa ada embel-embel kesiangan yang sering kamu katakan kepada saya." Zia melongo ketika mendengar jawaban tidak masuk akal dari bosnya.

"Kan saya bisa pakai Alarm, Pak." Protes Zia.

"Apa Alarm bisa menjamin kamu untuk tidak bangun siang?" Tantang Edwin. Zia diam. Dia akui, dia selalu kalah jika disuruh berdebat dengan bosnya itu.

"Baiklah, terserah bapak saja." Putus Zia, akhirnya.

***

"Jeo, lihat ini, ini robot-robotan pemberian nenekku." Miko memamerkan robot-robotan pemberian dari mama Zia kepada adik sepupunya. Ema yang sedang membaca majalah di ruang keluarga rumah Edwin mengangkat satu alisnya bingung.

"Nenek? Sayang, bukannya nenek sudah meninggal? Kamu tahu itu kan?" Ema menghampiri keponakannya. Siapa tahu keponakannya itu lupa jika nenek dan kakeknya itu sudah meninggal.

"Bukan nenek yang orang tuanya Tante sama Daddy." Miko memeluk robot-robotannya.

"Lalu? Siapa nenek yang kamu maksud?" Selidik Ema. Apa mungkin nenek yang Miko maksud adalah orang tua dari mantan istri Mas-nya? Tapi....

"Mamanya Tante Zia." Jawab Miko, kesal. Kenapa tantenya itu terus bertanya? Sehingga dia tidak lagi bisa pamer kepada Jeo tentang robot-robotannya ini.

"Tante Zia?" Beo Ema.

"Ah, Tante gak ngerti-ngerti." Kesal Miko, sambil melipat kedua tangannya kedada.

***

Edwin pulang larut malam. Niatnya dia keluar untuk membeli makanan, tapi dia bertemu dengan rekan bisnisnya yang sedang liburan ke Bandung, jadi mereka ngobrol-ngobrol dulu.

Edwin masuk kedalam kamarnya dan Zia. Dia melihat Zia tidur meringkuk di sofa sambil memeluk bantal guling. Rasa tidak tega menyelimuti hati Edwin. Bukan ini tujuannya menyewa satu kamar, dia hanya ingin melihat wajah perempuan itu lebih lama.

"Kasihan sekali dia." Edwin mengusap lembut pipi Zia. Dia mengangkat Zia ke atas tempat tidur.

"Tidur aja dia cantik, apalagi waktu bangun." Edwin tersenyum bagaikan orang gila sambil menatap wajah Zia.

***

"Eh Bu, kemarin katanya anak Pak Hasan dapat suami tentara ya?" Tanya ibu-ibu itu kepada temannya.

"Iya Bu Yum, mereka baru nikah kemarin.  Suaminya keren loh, ototnya kekar." Jawab teman ibu-ibu yang di panggil Bu Yum itu.

"Berarti di komplek ini yang belum nikah padahal usianya udah matang cuma anaknya Bu Nia dong?" Sontak pertanyaan dari ibu-ibu itu membuat Nia yang tadinya sedang memilih-milih sayur jadi terhenti.

"Kapan Zia mau nikah, Bu? Entar jadi perawan tua loh. Kalau sudah jadi perawan tua, gak ada laki-laki yang mau sama dia." Bu Yum bertanya kepada Nia dengan nada mengejek.

"Anak saya saja udah punya anak 2, bukannya Zia itu seumuran dengan Sintia anak saya?" Lanjut Bu Yum.

"Jodoh itu sudah ada yang ngatur, Bu. Saya gak jadi belanja kalau gitu Pak. Permisi." Nia masuk kedalam rumah dengan kondisi menangis. Hal itu membuat Panji bingung.

"Loh, Ma. Mama kenapa? Terus mana belanjaannya? Tadi bilangnya mau belanja." Tanya Panji kepada istrinya.

"Mama gak jadi belanja, Pah. Pengang telinga mama ngedengerin omongan ibu-ibu komplek. Mereka pada nanyain kapan Zia nikah? Terus mama harus jawab apa?" Nia duduk di kursi ruang tamu dengan kesal.

"Sabar Ma, mungkin anak kita belum nemuin jodoh yang tepat." Panji mengusap punggung istrinya dengan lembut.

"Lama-lama mama daftarin dia ke Brio Jodoh. Biar dia dicariin jodoh sama mereka." Ucap Nia, dongkol dengan kelakuan anaknya yang dari dulu sampai sekarang belum juga mau nikah.

***

Panas matahari seakan berada di atas ubun-ubun. Sekarang Zia dan Edwin baru saja selesai mengecek proyek pembangunan perhotelan mereka. Keadaannya sangat parah dan sudah ada garis polisi di sekelilingnya. Disitu juga ada 2 polisi yang menjaga. Kata polisi itu pembangunan perhotelan ini tidak bisa di lanjutkan karena membahayakan. Katanya pembangunan perhotelan ini kurang semen, sehingga pembangunan perhotelan ini rapuh dan lama-kelamaan menjadi roboh.

Edwin benar-benar mengalami kerugian besar. Dia harus bertanggung jawab kepada keluarga 3 orang pekerjanya yang meninggal dan juga harus membiayai 2 orang pekerjanya yang sekarang ini sedang berada di rumah sakit.

"Awas saja kalau sampai bapak terbukti Grep-grep saya tadi malam." Ancam Zia sambil mengacungkan garpunya ke depan wajah Edwin.

"Kalau saya Grep-grep kamu memang kenapa?" Tantang Edwin, tanpa rasa takut.

"Ya_ya bapak harus tanggung jawablah." Jawab Zia, gugup.

"Dengan cara menikahi kamu?" Tanya Edwin, sambil menaikan satu alisnya. Zia gelagapan sendiri. Dia bingung harus menjawab apa.

"Ya enggak, maksud saya bukan gitu Pak." Zia menggigit sedotan yang berada di gelasnya dengan gugup.

"Lalu?" Tanya Edwin dengan gestur tubuh tenang. Hal itu membuat nyali Zia untuk bicara dengan bos-nya itu menciut.

"Gak jadi." Zia kembali memakan baksonya. Gerakan bibirnya saat mengunyah bakso itu sangat lambat. Dia bersyukur kalau besok adalah hari terakhirnya disini bersama bos menyebalkannya itu.

Didalam hati Edwin sedang tertawa senang. Dia paling suka melihat pipi merah Zia disaat tersipu malu dan suara gugup Zia ketika dia bingung ingin berkata apa.

"Santai saja, Zi. Saya tidak mungkin berbuat hal yang tidak-tidak kepada kamu. Mana mungkin saya merusak masa depan perempuan yang saya cintai." Ungkap Edwin dengan santai.

"Eh..." Reflek Zia langsung menjauhkan garpu yang berada di tangannya. Apa tadi dia tidak salah dengar? Tadi bos-nya itu bilang kalau dia mencintainya kan? Entah mengapa ada rasa bahagia yang tiba-tiba merasuki hati Zia.

HOT DADDY 1 (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang