45. Gigi susu

23K 1.3K 18
                                    

Zia melirik suaminya yang berdiri di sampingnya. Wajah ceria yang tadi pagi dia lihat seakan sirna seketika. Wajah suaminya terlihat datar tanpa senyuman. Entah ada apa, Zia pun tidak tahu.

Zia dan Edwin sudah memakai pakaian khusus untuk menjenguk orang yang sakit parah. Mereka berdua berdiri disisi kanan seorang perempuan yang sedang terbaring dengan selang infus menjalar di seluruh tubuhnya.

"Dia Hesti, wanita yang beberapa hari ini sering membuatmu menangis dan cemburu." Edwin menatap istrinya yang hanya diam sambil menatap lekat wajah Hesti. Edwin tahu, istrinya itu pasti bingung, kenapa dia mengajaknya kesini?

"Aku mengajakmu kesini hanya ingin kamu tahu, bahwa dia benar-benar sakit. Dan dia tidak punya sanak saudara disini, lagi pula aku tidak mengenal saudaranya karena perjodohan kami dilakukan dengan sangat cepat. Aku tidak tahu harus menghubungi siapa?" Edwin menggegam tangan sang istri yang terasa sedikit berkeringat. Apa dia gugup?

"Dia koma, harapannya untuk hidup hanya 30%, dengan keadaan dia yang seperti itu, apa kamu masih mau menyemburui dia dan menundukku macam-macam?" Edwin melirik istrinya yang meremas tangannya agak kuat. Setetes cairan bening membasahi kedua pipi Zia.

"Aku memang sudah bercerai dengan dia secara hukum dan agama, tapi dia tetap ibu dari anakku, apa salah jika aku memberikan sedikit waktu dan uangku untuk merawat dan membayar pengobatannya? Aku memberikan 20% waktuku untuknya, selebihnya aku gunakan untuk menemanimu, apa itu juga salah?" Edwin menghela nafasnya pelan. Dia mendengar jelas bahwa istrinya sedang terisak di sampingnya.

"Aku bingung harus mengatakan apa kepada Miko, aku takut mentalnya terguncang ketika dia tahu keadaan ibu kandungnya yang sebenarnya. Aku butuh dukunganmu, aku..."

"Maaf, maafkan aku yang egois ini. Aku selalu berfikir bahwa kamu akan kembali kepada Mbak Hesti dan meninggalkan aku bersama anakku nanti. Aku teramat takut jika kamu lebih memilih mbak Hesti karena ingin membesarkan Miko bersama." Zia memeluk suaminya dari samping. Dia mengutarakan apa yang dia pikirkan kepada suaminya.

"Kamu berfikir seperti itu? Apa kamu tidak berfikir juga bahwa anak yang kamu kandung itu adalah anakku? Aku tidak mungkin kembali bersama dia, jika di sampingku sudah ada wanita yang begitu sabar dan sayang terhadap anakku yang bukan anak kandungnya sendiri." Zia membekap mulutnya. Dia menangis di dada bidang sang suami. Betapa bodohnya dia sudah berfikir bahwa suaminya akan meninggalkan dirinya.

***

Luwis sedang duduk di kantin sambil meminum kopi hitam miliknya. Dia memberengut kesal ketika melihat beberapa karyawan yang duduk di kursi kantin.

"Punya bos gak tanggung jawab. Mending jadi karyawan, gaji pas-pasan, tapi bisa leha-leha. Lah kalau jadi orang kepercayaan sekaligus sekretaris cadangan, mampus, mati muda aku." Luwis memejamkan matanya dengan bibir terus mengoceh. Ketampanan dan karisma yang dia miliki membuat hampir semua karyawati memperhatikan dia.

"Yaallah, gantengnya."

"Masih lajang itu kan Pak Luwis?"

"Matanya tajam banget."

"Lelaki idaman."

"Calon suami idaman."

"Malaikat itu benar-benar ada, bersinar banget."

Luwis menyugar rambutnya kebelakang, "Resiko orang ganteng ya gini, banyak yang ngerebutin."

***

Sepulang dari rumah sakit, Zia dan Edwin pergi ke sekolah anaknya untuk menjemput Miko. Kedua orang dewasa itu mengajak putranya untuk mampir ke restoran buat makan siang. Mereka bertiga kompak memilih udang krispi sebagai menu makan siang mereka. Tumben sekali Miko memilih udang krispi, bukan ayam krispi, biasanya anak laki-laki itu selalu memilih ayam ketika makan.

HOT DADDY 1 (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang