3. Tidak semua tentang Uang.

66.9K 3.8K 111
                                    

Edwin sama sekali tidak bisa konsentrasi dengan pekerjaannya. Sudut bibir Zia yang terluka, membuat fokusnya terarah pada bibir Perempuan itu.

Kedua kaki Edwin berjalan untuk mengambil P3K didalam lacinya. Edwin mendekati Zia yang sedang menata beberapa dokumen yang harus dia tanda tangani nanti.

"Apa tadi malam kamu habis berantem? Apa sekarang kamu menjadi pahlawan? Atau mungkin kamu merasa mempunyai nyawa 10. Sehingga kamu berantem, dan membiarkan sudut bibirmu terluka." Terlihat jelas jika Zia sedang menghela nafas kasar. Jujur, sedari kecil Zia tidak terlalu suka dengan orang cerewet. Mau itu laki-laki ataupun perempuan.

"Apa urusannya dengan bapak?" Bibir Zia tertarik keatas. Dia mendongakkan kepalanya, menatap wajah tampan milik Edwin.

"Kemarilah." Edwin menepuk sofa yang berada di ruang kerjanya. Sebelah alis Zia terangkat keatas.

"Kerjaan saya banyak, pak. Saya..."

"Bukankah menyuruhmu kesini adalah sebuah pekerjaan? Disini bosnya kamu atau saya?" Lelaki arogan itu membuat Zia kalah. Mau tidak mau, Zia mendekat kearah bosnya.

Zia terjengkit kaget dikala tangan kekar milik bosnya memegang luka pada bibirnya, pelan.

"Au.." Ringis Zia, spontan.

"Sakit?" Pertanyaan bodoh itu keluar dari bibir Edwin, dan dengan bodohnya lagi, Zia menganggukkan kepalanya.

"Ini adalah pelajaran untuk Perempuan sok jagoan seperti kamu kamu." Edwin menekan kapas yang terdapat alkohol, dengan pelan. Zia hanya diam, percuma menjelaskan apa yang terjadi kepada lelaki menyebalkan itu. Toh masalahnya itu adalah aibnya.

Edwin mengamati wajah cantik Zia ketika sedang terdiam. Wajah cantik dengan make up tipis, alis tebal, bibir merah alami, hidung mancung, kulit putih, serta pipi chubby. Semua itu ada pada diri Perempuan di sampingnya.

Sekarang Edwin tahu, kenapa karyawan laki-laki di perusahaan miliknya menatap Zia dengan tatapan lapar.

Zia memiliki tubuh mungil dan berisi. Hal itu adalah impian semua perempuan. Tapi Perempuan di sampingnya memilikinya tanpa harus berusaha operasi plastik.

"Kenapa bapak menatap saya seperti itu?" Zia duduk dengan gusar. Dia tidak nyaman di tatap intens oleh laki-laki.

"Kamu cantik." Tanpa sadar dua kata itu lolos dari bibirnya. Edwin meringis pelan, ucapan spontannya itu pasti akan membuat perempuan disampingnya besar kepala.

"Hah?" Bukan, bukan Zia tuli. Tapi dia bingung dengan ucapan spontan bosnya.

"Enggak, maksut saya, cat baru ruangan saya itu cantik." Edwin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dengan gerakan kaku.

"Cat baru? Perasaan Cat di ruangan ini sudah mulai kusam." Sekarang Zia sedang menatap ruangan milik Edwin dengan satu alis terangkat.

"Maksutnya cat baru yang akan saya pakai untuk ruangan ini sepertinya akan terlihat cantik." Elak Edwin.

"Oh..." Beo Zia, pelan.

***

Miko duduk menyendiri di pojok kantin kelas. Dia malas bergabung bersama teman-temannya yang sedang membahas tentang acara kenaikan kelas nanti.

Mereka berbicara tentang kedua orang tua mereka yang akan datang nanti. Namun dirinya...

"Andai aku punya ibu." Miko menumpang dagunya dengan sendu.

"Kenapa aku beda? Bukankah semua anak itu sama? Bukankah semua anak lahir dari rahim seorang ibu? Lalu kenapa aku tidak mempunyai ibu? Apa ibu malu mempunyai anak nakal sepertiku? Buktinya Daddy sering marah padaku." Miko terus menebak tentang dirinya yang tidak memiliki ibu. Teman-temannya memiliki ibu. Lalu kenapa dirinya tidak? Apa salahnya?

HOT DADDY 1 (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang