"Apa? Mereka tidak datang lagi hari ini?" Luwis menggretakkan giginya dengan kesal. Emosinya sudah ada di atas ubun-ubun. Resepsonis itu mengangguk takut.
"Mereka izin tidak masuk kerja karena pergi liburan. Mbak Zia yang memberi tahu saya pagi tadi lewat Whatsapp. Mereka bilang, tolong Pak Luwis menghandel urusan kantor selama mereka tidak ada." Jelas resepsonis itu dengan badan gemetaran. Sorot mata tajam milik Luwis seakan membunuh netra resepsonis itu. Luwis menatap resepsonis itu dengan tatapan tajam bak mata burung elang.
"Yang habis nikah siapa, yang pergi liburan siapa. Dara sama Tirta aja gak pergi bulan madu, padahal mereka kemarin habis menikah. Lah yang belum Sah sok-sok'an pergi berdua. Kalau pergi gak ninggalin kerjaan gak masalah, kalau begini caranya aku yang pusing." Gumam Luwis, pelan. Pagi tadi saat dia ingin pergi ke kantor, dia melihat Dara dan suaminya sedang berada di Pom bensin. Saat dia tanya kenapa mereka berdua tidak pergi bulan madu? Mereka menjawabnya, bulan madu mereka di undur bulan depan, sekalian ngerayain ulang tahun Dara.
Luwis berjalan menuju lift kantor dengan wajah di tekuk. "Dasar pasangan nyusahin."
***
Sore ini Zia sangat senang, setelah dia di makan kebosanan di dalam mobil bersama Edwin, akhirnya sekarang ini dia bisa sampai juga di puncak. Tentunya mereka akan menginap di Vila ini selama 2 hari. Menyenangkan bukan?
Siapa sih yang tidak suka liburan?
Siapa yang tidak suka menghirup udara segar tanpa memikirkan pekerjaan kantor?
Zia, perempuan itu sedang mengamati Vila milik Edwin dengan bibir tersenyum senang. Yaampun, Vila di depannya ini sangat mewah dan indah. Banyak perpohonan disini, Zia sangat menyukainya.
Tapi tunggu, dia tidak menemukan tanda-tanda kehidupan disini, apa Vila ini tidak ada yang menjaganya? Maksudnya menempati dan merawatnya ketika Edwin tidak berada disini. Apa Vila ini dianggurin begitu saja?
"Kok kita gak di sambut?" Tanya Zia, sambil menoleh kebelakang. Dia bertanya kepada Edwin yang berjalan di belakangnya sambil menarik koper kecil milikinya. Laki-laki yang notebenya sebagai calon suaminya itu tidak membawa baju, katanya bajunya di Vila ini sudah banyak.
"Memangnya kamu ngarep di sambut siapa? Bukankah aku masih berada di belakangmu? Mana bisa aku menyambutmu tuan putri." Edwin melewati Zia begitu saja. Dia masuk kedalam Vila yang ternyata pintu Vila itu tidak di kunci.
"Lah, ngapain aku gak masuk dari tadi? Toh pintunya gak di kunci." Zia menepuk keningnya sambil meringis pelan. Dia meruntuki kebodohannya sendiri.
"Bukan begitu, apa kamu tidak memiliki orang untuk mengurus Vila mu ini?" Zia mengulangi pertanyaannya dengan lebih jelas. Edwin meneguk air putih yang dia ambil dari dapur Vila milikinya.
"Tentu aku punya, tapi selama aku dan kamu berada disini, dia tidak akan datang kesini." Jawab Edwin dengan tenang.
"Mengapa begitu?" Sepertinya Zia tidak puas dengan jawaban yang Edwin berikan tadi.
"Karena dia tidak mau mengganggu kebersamaan kita selama disini sayang." Edwin menatap Zia begitu lekat. Hingga membuat Zia salah tingkah.
***
"Haaa..., Sukurin." Dara tertawa puas ketika melihat wajah kesal milik luwis. Malam ini Luwis mampir ke restoran yang dekat dengan kantornya. Dia baru saja pulang dari kantor setelah lembur tadi. Luwis sangat tidak menyangka bahwa restoran elit ini adalah milik Tirta, suami si cerewet Dara.
Luwis bercerita kepada pengantin baru itu bahwa dia sedang kesal kepada Zia dan Edwin. Kedua sejoli itu berlibur dan menyerahkan semua pekerjaan mereka kepadanya tanpa konfirmasi dulu dengannya.
Ingin sekali Edwin memaki sekarang juga. Tapi dia ingin memaki siapa?
"Lagian biar aja mereka liburan, biar mereka makin dekat dan makin kenal." Tirta berucap dengan santai.
"Iya, lalu ngebuat gue makin sengsara bersama tumpukan kertas kerja mereka?" Sengit Luwis.
Tirta dan Dara saling pandang, mereka berdua sama-sama menggelengkan kepalanya sambil tertawa lepas. Kasihan sekali lelaki di depannya itu.
"Aduh, duh, kasihan banget cih Aak Luwis. Utu, utu, jangan nangis dong." Goda Dara sambil memperlebar mulutnya untuk tertawa.
"Bangsat memang kalian berdua, bukannya aku dapat pembelaan disini, eh malah di bully." Cibir Luwis, kesal.
***
Malam ini Edwin sedang duduk di depan Vila miliknya. Dia sedang duduk di samping Zia dengan api unggun yang menyala di depan mereka. Posisi Zia sekarang sedang bersandar di bahu Edwin sambil memakan jagung bakar miliknya. Lampu vila ini di buat Edwin remang-remang, dia sengaja mematikan sebagian lampu Vila ini dan menggantikan cahaya lampu itu dengan penerangan api unggun.
Zia sangat menikmati moment malam ini bersama Edwin, calon suaminya. Zia sedang memandangi langit, dia bersyukur sudah di pertemukan dengan jodohnya. Walau dia dapatnya duda sih. Tapi tidak apa, yang penting dia setia. Dari pada Bayu mantannya, lajang sih, tapi tukang selingkuh.
Zia sempat meratapi dirinya sendiri ketika mendengar tentang kabar bahwa kebanyakan temannya itu sudah menikah, memiliki anak, bahkan menjadi orang yang sukses. Sedangkan dirinya? Dirinya malah masih lajang, di selingkuhi pacar, dan hanya menjadi sekretaris di suatu perusahaan doang. Padahal banyak teman-temannya yang seumuran dengannya menjadi dokter, Professor, Guru, atau mungkin penjabat. Tapi dia....
"Mas..." Panggil Zia, pelan. Dia melirik wajah Edwin sebentar. Wajah itu sangat tegas dan juga berkarisma.
"Hem." Dehem Edwin, sebagai respon.
"Boleh aku tanya suatu hal?" Tanya Zia, dengan ragu. Edwin mengerutkan keningnya, kemudian dia mengangguk pelan.
"Boleh aku tahu kenapa kamu bercerai dengan istrimu?" Sekarang ini Zia menjauhkan kepalanya yang tadinya bersandar pada bahu Edwin.
Edwin, lelaki itu sempat terkejut dengan pertanyaan Zia. Dia tidak mengira perempuan di sampingnya ini akan bertanya perihal masa lalunya kepadanya.
"Kenapa? Tumben kamu bertanya seperti itu?" Raut dan nada bicara Edwin berubah. Lelaki yang sering menatapnya dengan tatapan mata lembut sekarang sedang menatapnya dingin. Raut wajahnya terlihat sekali bahwa dia tidak suka dengan pertanyaan yang baru saja Zia ajukan.
"Ti_tidak, aku hanya...." Zia merasa gugup ketika melihat rahang Edwin mengeras ketika menatapnya.
"Kenapa?" Desak Edwin, padanya. Zia hanya diam dengan hati gusar. Dia ingin mengetahui masa lalu Edwin, namun ketika melihat rahut wajah menyeramkan lelaki itu, Zia menjadi mengurungkan niatnya untuk mengetahui masa lalu lelaki itu.
Zia menggigit pipi dalamnya. Dia meringis pelan ketika di tatap mata elang lelaki di sampingnya dengan begitu tajam.
"Tidak, hee..." Cengir Zia.
"Masuklah, perempuan tidak baik terlalu lama di luar saat udara sedang sangat dingin begini." Suruh Edwin, sedikit melembut.
"Tapi aku bawa jaket."
"Aku tahu, tapi bisakah kamu tidak membantahku?" Edwin berbicara kepada Zia dengan suara tegas.
"Tapi kamu?"
"Aku laki-laki Zia, aku sudah biasa kedinginan." Jawab Edwin, kesal.
"Sudah biasa kedinginan? Apa semenjak istrinya itu pergi, maksudnya selimut bernyawanya itu pergi, Edwin menjadi terbiasa kedinginan karena tidak ada yang memeluknya setiap malam?" Batin Zia.
"Oh baiklah, aku masuk kedalam Vila dulu." Zia beranjak dari duduknya. Dia mengamati rahut wajah Edwin dari balik pintu Vila Edwin.
"Kenapa aku tidak boleh mengetahui masa lalumu itu Mas?" Gumam Zia pelan.
Dia melangkah menaiki satu-persatu anak tangga Vila milik Edwin. Perlu kalian tahu, Vila ini memiliki beberapa kamar, jadi Zia dan Edwin tidak tidur satu kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT DADDY 1 (TAMAT)
Любовные романыWARNING!! 21+ "Besok umur mu sudah 6 tahun, sayang. Apa yang kamu inginkan dari Daddy?" Edwin berjongkok di depan putra kebanggaannya. Miko, anak laki-laki itu menatap Daddy nya malas. Dia meletakkan heandpone mahal yang Daddy nya belikan sewaktu di...