Zia mengusap rambut anaknya yang terus menangis. Malam ini Miko datang ke rumah sakit bersama kedua orang tuanya. Dia pikir anaknya itu tidak mau datang ke rumah sakit, karena dia tahu bahwa anaknya itu sangat tidak menyukai bau obat-obatan rumah sakit. Eh, malah tadi datang kesini.
"Mama jangan pergi kayak mama kandung aku. Maaf kalau aku nakal, aku sayang mama sama dedek." Miko menangis sambil memeluk mamanya dari samping. Panji dan Nia saling tatap, mereka tersenyum tipis dikala melihat interaksi keduanya.
"Miko gak nakal kok, ini musibah. Oh ya, anak mama udah makan?" Zia bertanya sambil tersenyum kepada anaknya.
Miko menggeleng, "Belum."
"Mas, ajak Miko makan di kantin rumah sakit." Suruh Zia kepada Edwin yang berdiri di sampingnya.
"Kamu?"
"Biar Papa sama Mama yang jaga." Nia tersenyum kepada menantunya. Edwin mengangguk, kemudian dia menggandeng tangan anaknya untuk pergi ke kantin.
"Ma, Zi, Papa mau ikut Edwin sama Miko ke kantin beli minum." Ijin Panji, yang di balas anggukan kepala oleh Zia dan Nia.
Ruang menjadi sepi dan sunyi ketika Miko, Edwin, dan Panji pergi ke kantin rumah sakit.
"Ma, aku mau cerita." Zia menatap mamanya yang sedang duduk di sampingnya.
"Mau cerita apa, Zi? Tumben serius." Nia yang tahu sifat cengengesan anaknya mengerutkan keningnya dikala melihat wajah serius sang putri.
"Aku udah salah sama Mas Edwin. Aku udah nuduh dia macem-macem bersama mantan istrinya. Padahal kenyataannya mantan istrinya itu memang sakit parah. Dan mantan istrinya di prediksi dokter cuma memiliki kesempatan hidup 30%." Ucap Zia, sendu.
"Dokter itu manusia sayang, yang menentukan jodoh, umur, sama kematian itu Allah. Sekarang kamu perbaiki diri kamu, jangan berpikiran yang macam-macam, kasihan anak di perut kamu. Sebagai ibu sambung yang baik kamu harus mendoakan mantan istri suami kamu, semoga dia lekas sembuh dan kalian bisa dekat seperti saudara." Nia mengusap lembut rambut sang putri yang masih terbaring di rumah sakit. Harusnya Hari ini Zia sudah boleh pulang, tapi Edwin meminta istrinya untuk pulang besok saja, biar istirahat disini dulu.
***
Di dalam ruangan bernuansa putih dan bau obat-obatan yang menyeruak masuk kedalam hidung, seorang perempuan meneteskan air matanya. Kepalanya menggeleng keras dikala dia melihat seklibat masa lalunya dulu. Dulu dia menikah dengan lelaki yang begitu baik, walau hubungan mereka tidak harmonis. Tapi bukankah semuanya itu butuh waktu? Mereka tidak saling kenal tapi disuruh menikah, jelas pasti ada kecanggungan.
Setetes cairan bening kembali keluar dari kedua kelopak mata yang masih terpejam. Dulu dia meninggalkan anaknya yang baru lahir dan menggugat cerai suaminya begitu saja. Dulu dia tidak mempercayai karma, namun sekarang....
6 tahun pernikahannya dia tidak di karuniai anak. Rumah tangganya retak karena kehadiran orang ketiga yang katanya bisa memberikan keturunan. Yang paling membuatnya tersayat adalah suaminya menggugat cerai dirinya disaat dia terpuruk, dia menderita kanker rahim. Penderitaannya tidak sampai disitu, saat dia ingin pulang ke rumahnya, dia malah tertabrak mobil. Hingga....
"Dokter, jemari pasien bergerak." Teriak sang suster yang sedang bertugas mengecek cairan infus. Dokter laki-laki itu berlari mengecek keadaan pasien dengan cepat.
"Apa dia sudah lewat dari masa kritisnya, Dok? Matanya berair, pertanda dia abis menangis." Tanya asisten dokter itu.
"Dia belum melewati masa kritisnya, tapi keadaannya sudah lebih membaik dari sebelumnya." Jawab dokter itu sambil menatap wajah pasien. Dia belum melewati masa kritisnya, bagaimana mungkin dia bisa menangis?
"Biarkan pasien istirahat, mari kita keluar." Dokter itu keluar dari ruangan pasien sambil di ikuti suster dan asistennya. Pikirannya masih berkutat seputar jejak air mata pasiennya.
"Bagaimana mungkin jemarinya bisa berkutik dan dia bisa menangis kalau dia masih dalam keadaan kritis?" Batin dokter tersebut.
***
Pagi-pagi sekali Edwin dan Zia berada di ruang UGD, tempat Hesti di rawat. Zia duduk di kursi roda yang di dorong oleh Edwin. Tubuh perempuan itu masih lemas. Tadi saat Edwin dan Zia ingin pergi ke taman rumah sakit ini, mereka bertemu dengan dokter yang menangani Hesti, dokter itu mengatakan tadi malam jemari Hesti bergerak, dan perempuan itu juga pun menangis.
"Mbak..." Zia mengusap lembut punggung tangan perempuan di depannya. Baginya perempuan itu sangat hebat. Belum tentu saat dia di posisi perempuan itu dia akan kuat.
Hesti di jodohkan oleh kedua orang tuanya dengan lelaki yang tidak dia cintai. Dia melakukan hubungan suami istri dengan keadaan suaminya yang di pengaruhi alkohol, sehingga suaminya tidak sadar kalau dia sudah melakukan hal itu terhadap istrinya. Dan parahnya lagi dia di tinggal suaminya saat suaminya tahu rahimnya bermasalah. Zia menunduk, dia saja yang hanya di selingkuhi pacarnya hatinya sampai sesakit ini, apalagi Hesti yang di tinggal suami pas lagi terpuruk.
"Mbak Hesti adalah perempuan hebat, Miko pasti bangga mempunyai ibu seperti Mbak Hesti." Zia menggegam tangan Hesti dengan rahut wajah sendu.
"Suami Mbak Hesti sangatlah bodoh, dia sudah meninggalkan perempuan yang sangat menyayanginya. Mbak Hesti rela meninggalkan Mas Edwin dan Miko hanya demi dia, tapi dia malah mencampakkan Mbak Hesti disaat Mbak Hesti sedang terpuruk." Zia menangis sambil menempelkan tangan Hesti ke keningnya.
"Semoga lekas sembuh, Mbak. Kami semua menunggu kesembuhan Mbak Hesti agar bisa merawat Miko sama-sama." Zia mendongak keatas, dia menatap suaminya yang juga sedang menatapnya.
"Terimakasih sudah berbesar hati untuk menjenguk ibu Miko." Edwin memeluk istrinya dari belakang.
***
Semalam Miko pulang bersama Nia dan Panji. Sekarang Miko dan Nia sedang bertandang ke rumah tetangga yang baru melahirkan. Miko membawa boneka besar untuk bayi perempuan yang baru lahir itu.
"Buat dedek bayinya." Miko memberikan boneka Teddy bear besar kepada ibu sang bayi. Boneka Teddy bear itu baru saja dia beli bersama kakek dan neneknya saat neneknya itu mengatakan ingin menjenguk dedek bayi yang baru lahir. Dia yang mendengarnya sangat senang. Sudah dari dulu dia menginginkan seorang adik. Dan sebentar lagi keinginannya itu akan terkabul.
"Terimakasih, kakak ganteng." Ucap ibu muda itu sambil mengecilkan suaranya biar seperti anak kecil.
"Sama-sama, Tante." Miko berjalan menghampiri neneknya yang terus berbicara.
"Iya, itu cucu saya. Ganteng bangetkan? Kulitnya itu putih kayak bapaknya. Aduh saya tuh sayang banget sama dia, dia itu kayak bule." Nia sangat antusias menceritakan betapa gantengnya cucu lelakinya itu ketika temannya bertanya siapa anak lelaki yang bersamanya?
"Mik, salaman dulu sama Tante." Nia menyuruh Miko bersalaman kepada keempat ibu-ibu di depannya.
"Yaampun ganteng banget."
"Iya, kayak anak artis."
"Tahu El barak gak anaknya Jessica Iskandar? Mirip banget." Ibu-ibu yang memakai gamis berwarna kuning itu mencubit pipi Miko, gemas.
"Iya, itu hidung atau prosotan TK? Mancung amat." Puji ibu-ibu yang memakai gelang sampai siku. Itu mau jenguk bayi atau mau pamer gelang? Hadeh...
"Ngidam apa emaknya dulu bisa dapat anak secakep ini." Ucap ibu-ibu yang berdandan ala anak muda padahal umur udah tua.
"Yang pasti bukan sayur lodeh, pasti emaknya ngidam apa, piksa?" Sahut ibu-ibu yang tidak memakai kerudung sendiri.
"Pizza kalik, Bu." Koreksi Nia.
"Sama aja." Bela ibu-ibu tadi. Miko hanya diam, dia tidak terlalu suka dengan ibu-ibu di depannya. Mereka mencium pipinya sampai lipstik mereka nempel semua di pipinya.
®®®
SEJAUH INI CERITANYA BAGAIMANA? JANGAN LUPA UNTUK VOTE DAN COMMEN YA KAK......🙂
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT DADDY 1 (TAMAT)
RomanceWARNING!! 21+ "Besok umur mu sudah 6 tahun, sayang. Apa yang kamu inginkan dari Daddy?" Edwin berjongkok di depan putra kebanggaannya. Miko, anak laki-laki itu menatap Daddy nya malas. Dia meletakkan heandpone mahal yang Daddy nya belikan sewaktu di...