42. Kekhwatiran

21.8K 1.3K 14
                                    

Malam ini Zia sedang makan malam bersama suami dan anaknya. Keluarga kecil mereka terlihat sangat bahagia. Bahkan tidak jarang Miko tertawa gara-gara di goda oleh mamanya.

"Tadi tuh Dad, ada yang senyam-senyum sendiri setelah pulang dari rumah tetangga." Zia menyindir Miko yang tadi sore tersenyum senang ketika abis pulang dari rumah tetangga barunya. Tadi sore dia membuat donat banyak sekali, dia menyuruh putranya itu membagikan donat kepada tetangga sekitar. Awalnya Miko biasa saja, tapi setelah pulang dari tetangga barunya yang belum lama pindah ke komplek ini, putranya itu terlihat sangat senang.

"Emang kenapa, Ma?" Tanya Edwin, ikut menggoda Miko.

"Gara-gara dikasih coklat sama anak perempuan." Zia menjawab sambil melirik anaknya.

"Dia itu teman sekolah aku." Miko menjawabnya dengan malu.

"Cantik?" Tanya Edwin.

"Hem, manis kayak coklat kalau lagi senyum." Mendengar jawaban putranya, Zia tertawa keras.

"Ini pasti ngikut jejak kamu jadi penggombal sejati." Zia masih tertawa sambil menatap wajah cengo suaminya.

"Salah aku juga waktu buat dia gak pakai bismilah, jadi jadinya bantet." Gumam Edwin, makin tidak karuan.

***

Zia baru membuka matanya, tapi dia sudah tidak melihat suaminya tidur di sampingnya. Biasanya lelaki itu membangunkan dirinya ketika dia ingin bangun.

Pemandangan yang pertama kali dia lihat adalah putranya yang sedang berlarian kesana-kemari sambil membawa remote mobil-mobilan miliknya.

"Mbak Sasa, Mas Edwin mana?" Tanya Zia, kepada pembantunya yang sedang menghampiri anaknya sambil membawa segelas susu.

"Gak tahu saya, Mbak. Sayakan tadi bersihin gudang." Mbak Sasa menjawab sambil menatap wajah Zia, bingung. Memangnya sepagi ini Tuan-nya pergi kemana?

"Joging kalik, Mbak." Timpal Mbak Mina yang baru keluar dari dapur. Zia menggeleng, joging apanya, bukannya kaki suaminya agak sedikit sakit gara-gara nendang meja makan tadi malam saat menggoda anaknya?

"Gak mungkin, kakinya Mas Edwin itu sakit." Otak Zia mulai berfikir keras. Kemana sebenarnya suaminya itu pergi? Saat Zia terdiam, tiba-tiba Mbok Jum datang.

"Mbok, lihat Mas Edwin gak?" Tanya Zia, sambil menghampiri pembantu tertuanya.

"Oh tuan, dia ke rumah sakit. Katanya Nyonya Hesti Kritis." Jawab Mbok Jum, tidak enak. "Tadi Tuan mau bangunin Mbak Zia, tapi Mbak Zia tidurnya pulas banget. Jadi tuan titip pesan ke saya, kalau Mbak Zia nyari tuan, bilang dia ke rumah sakit."

Zia terdiam. Lagi dan lagi dia harus mencemaskan suaminya yang sedang pergi menemui mantan istrinya.

"Assalamualaikum, cucu kesayangan nenek...." Teriak Nia, dari luar. Zia menghela nafas kasar. Mamanya itu benar-benar membuat gendang telinga para tetangganya rusak.

"Nenek..." Zia berfikir mama dan anaknya itu adalah titisan orang hutan. Keduanya saling teriak dan berpelukan.

"Waalaikumsalam, Ma. Ngapain pagi-pagi kesini? Aku aja baru bangun tidur." Zia menyalami tangan mama dan papanya. Dia duduk di teras sambil melirik putranya yang sedang main mobil-mobilan bersama papanya.

"Tadi malam mama di telepon suami kamu untuk belanja buat syukuran nanti malam." Nia duduk di kursi samping Zia yang hanya terhalang oleh meja bundar. Zia mengangguk, memang acara syukuran calon anaknya itu akan di laksanakan nanti malam. Ketiga pembantunya harus membersihkan rumah dan nanti membatu memasak saja. Soal belanja memang dia dan suaminya menyuruh mamanya. Abis mamanya yang tahu apa yang harus di beli dan apa yang tidak perlu di beli.

"Menantu mama mana?" Nia celingukan mencari menantu kesayangannya.

"Noh, pergi ke rumah sakit." Jawab Zia, kesal.

"Memangnya menantu mama kenapa?" Nia terlihat sangat panik.

"Bukan menantu mama yang kenapa-napa. Tapi mantan istri menantu mama yang kritis dan menantu mama yang sok kegantengan itu datang kesana." Zia memberengut ketika mamanya menatapnya penuh selidik.

"Kalau dia menemui mantan istrinya kenapa kamu marah? Mantan istrinya itu sakit, Zi." Nia mencoba menyadarkan sifat egois anaknya.

"Lantas bagaimana dengan aku, Ma? Bagaimana jika Mbak Hesti sembuh? Bagaimana kalau mereka kembali lagi dengan alasan ingin membesarkan Miko bersama. Ma, aku takut." Zia memeluk mamanya sambil menangis.

"Apa yang kamu takuti? Semua itu tidak akan terjadi, Zi. Kamu kira pernikahan itu main-main?" Nada bicara Nia terdengar dingin dan tegas. Zia takut mendengar nada ucapan mamanya yang seperti ini.

"Sudahlah, kamu ini nangis mulu. Pa, ayo pergi belanja!" Teriak Nia, sambil menatap wajah anaknya tajam.

"Aku ikut ya, Nek?" Tanya Miko, sambil menarik baju yang Nia kenakan.

"Tanya sama mama kamu." Suruh Nia, sambil melirik putrinya.

"Boleh ya, Ma?" Tanya Miko, dengan tatapan memohon.

"Iya, tapi jangan ngerepotin nenek dan kakek." Zia mencium pipi putranya, kegiatan itu tidak luput dari pengamatan mata Nia.

***

"Apa dia bisa sembuh, Dok?" Edwin terlihat sangat panik ketika melihat keadaan Hesti semakin memburuk. Mau bagaimanapun dia harus bertanggung jawab dengan apa yang terjadi dengan Hesti. Perempuan itu adalah ibu dari anaknya, dia tidak mau kalau sampai Miko tahu bahwa ibunya itu sedang sekarat. Dia ingin mempertemukan Miko dengan Hesti, dia ingin memberi tahu kalau perempuan yang selama ini ada di sampingnya itu adalah mamanya. Tapi dia sedang mencari waktu yang tepat. Semoga tuhan masih memberi kesempatan untuk Miko memanggil Hesti dengan sebutan ibu.

"Kami akan berusaha sebaik mungkin untuk membuat ibu Hesti sembuh. Tapi kemungkinan ibu Hesti sembuh hanya 30%" Dokter laki-laki itu menatap Edwin dengan gurat wajah yang entahlah, Edwin tidak bisa menebaknya.

"Apa segitu parah keadaan dia, Dok?" Edwin melirik pintu UGD yang di dalamnya terdapat tubuh mantan istrinya.

"Tulangnya retak gara-gara benturan yang terlalu keras. Dan yang lebih parah ada gumpalan darah yang bersarang di otaknya." Jelas dokter tersebut. Edwin meneguk ludahnya susah payah. Dia bingung harus berbuat apa.

"Kalau begitu saya permisi."

Edwin masuk kedalam ruang UGD dengan rahut wajah murung. Putranya belum tahu siapa ibu kandungnya, lalu apa harus Hesti pergi sebelum semua rencananya terlaksana?

"Bangun, Miko menantimu." Bisik Edwin, pelan.

***

"Mbak, sarapan dulu. Nanti kalau tuan tahu mbak Zia belum sarapan, nanti tuan marah ke kita." Mbak Sasa menghampiri Zia yang sedang duduk di anak tangga terakhir rumahnya. Sedari tadi dia berjalan mondar-mandir, dia sangat khawatir dengan suaminya. Zia beramsumsi bahwa suaminya sedang berduaan dengan mantan istrinya.

"Mbak..."

"Saya tidak mau makan." Zia menatap pembantunya dengan rahut wajah dingin.

"Tapi mbak..."

"Kalian makan aja makanannya, saya mau menunggu suami saya diluar." Zia berjalan cepat keluar dari rumahnya. Dia menggigit ujung bibirnya sambil menunduk dalam.

"Apa begini rasanya menikah dengan seorang duda?" Zia menatap tanaman di depan rumahnya dengan mata sayu. Dia ingin menangis, tapi dia tidak mau dibilang perempuan lemah. Dia ingin mengadu, tapi mengadu kepada siapa? Sudah jelaskan kalau mamanya membela Edwin?

Zia menatap tembok yang menjulang tinggi, samping rumahnya. Itu adalah rumah Tirta dan Dara. Dia ingin pergi kesana, tapi....

Bukankah kemarin Dara bilang dia abis bertengkar dengan suaminya? Takutnya jika nanti dia kesana malah memperunyam semuanya.

"Terus aku harus bagaimana?" Zia duduk di kursi terasnya sambil terus memperhatikan jalanan depan rumahnya. Dia berharap suaminya cepat pulang.








***

BUDAYAKAN VOTE DAN COMMEN SETELAH BACA 🙂

HOT DADDY 1 (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang