Semua orang sedang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Ema dan Dara sedang membuat kue buat di suguhkan nanti, Mbak Sasa dan Mbak Mina membersihkan rumah, sedangkan Nia dan Mbok Jum sedang membuat makanan untuk syukuran nanti malam. Dan kalian jangan tanyakan Panji beserta Jeo dan Miko, mereka bertiga sedang pergi ke rumah Dara bersama Kevin. Mereka, kaum laki-laki mengobrol disana.
Zia menghela nafas pelan, ingin menelpon suaminya, tapi heandpone suaminya di rumah. Dia mengusap wajahnya kasar, dia duduk di ruang keluarga tanpa berniat untuk beranjak dari situ.
Kepalanya terasa sangat pening, mungkin karena dari pagi sampai siang dia belum makan. Zia menoleh pada siaran televisi Indosiar yang menceritakan tentang keluarga yang terpisah lama kembali disatukan lagi. Zia menggigit ujung jarinya, apa nanti dia dan anaknya akan di singkirkan dari rumah ini?
Saat Zia sibuk melamun, tiba-tiba ada sesuatu yang menempel pada pipinya. "Siapa yang nyuruh kamu gak minum susu hamil? Kenapa jam segini masih belum sarapan?"
Suara itu....
Zia menutup wajahnya menggunakan bantal. Dengan segera Edwin menyingkirkan batal itu.
"Kamu ingin bunuh diri, Hem? Kalau begini caranya kamu akan mati karena kesulitan bernafas." Edwin duduk di samping istrinya yang sedang merajuk. Dia tahu kejadiannya akan seperti ini jika dia pergi menemui Hesti.
"Marahnya nanti, makan dulu, lalu minum susu hamilnya." Edwin hendak menyuapkan sesendok nasi ke mulut Zia, tapi langsung perempuan itu tepis.
"Udah kenyang." Tolak Zia, ketus.
"Kenyang makan apa? Makan angin? Orang Mbok Jum bilang kamu ngambek gak mau sarapan." Edwin menatap intens wajah cantik istrinya yang sedang marah. Dia terlihat sangat sabar menghadapi sikap istrinya yang seperti bocah.
"Makan hati." Zia hendak beranjak pergi, tapi tangannya langsung di tahan oleh Edwin. Tatapan tajam yang lelaki itu berikan membuat nyali Zia menciut.
"Makan!" Tegasnya.
Zia hanya diam, dia membuka mulutnya dengan takut-takut. Edwin menyuapkan nasi kedalam mulutnya dan mulut dia sendiri. Rupanya lelaki itu juga belum makan.
"Hesti kritis, bagaimanapun aku juga mempunyai tanggung jawab terhadapnya." Edwin membuka suara tanpa Zia tanya. Dia rasa, dia butuh menjelaskan ini kepada istrinya. Agar istrinya tidak salah paham.
"Tapi kalian sudah bercerai." Zia memperlambat kunyahan pada nasi yang berada di dalam mulutnya.
"Bercerai itu urusan aku dan dia. Tapi dia tetap tanggung jawabku, karena dia ibu dari anakku." Jawaban yang Edwin berikan mampu membuat sisi dari dalam diri Zia memberontak. Hatinya seakan tidak terima dengan kenyataan yang ada, bahwa dia harus berbagi suami dengan mantan istri suaminya. Dia memang tidak berbagi suami seperti raga suaminya, tapi dia berbagi waktu sang suami.
"Aku harap kamu mengerti. Suami kamu ini mempunyai masa lalu. Berbeda dengan Kevin ataupun Tirta yang hanya memiliki Ema dan Dara." Edwin memberikan susu hamil kepada Zia ketika nasi yang ada di piring itu habis di makan mereka berdua.
"Kalau boleh jujur, aku ingin seperti mereka, diutamakan, bukan di duakan." Ketus Zia. Tatapan yang Zia berikan kepada Edwin adalah tatapan terluka, bukan tatapan memuja seperti biasanya.
"Aku mengutamakan mu, dan juga tidak menduakanmu."
"Tapi aku harus berbagi waktu suamiku kepada dia, mantan istrimu. Aku rasa semua perempuan tidak akan sanggup. Itu seperti di madu, tapi tanpa ikrar pernikahan." Lirih Zia, sambil mengusap lembut air matanya.
***
Zia sudah rapi menggunakan gamis terbaiknya. Dia sedang membantu menata suguhan makanan yang semula ada di wadah yang sangat besar, menjadi di taruh di piring.
"Aduh Mbak, mending mbak duduk aja. Kasihan nanti calon bayinya kalau mamanya kecapean." Suruh Mbok Jum kepada Zia yang sedang ribut di dapur.
"Gak apa-apa, Mbok. Ini kan acara saya, masa saya harus diam aja ngelihat kalian sibuk menyiapkan semuanya sendiri." Balas Zia sambil tersenyum lembut.
"Ini tinggal sedikit kakak ipar, kalau begitu aku pulang dulu." Ema mencuci tangannya yang semula agar berminyak.
"Iya, makasih udah bantu disini." Ucap Zia, lembut.
"Iya, kayak sama siapa aja. Dar, ayo pulang. Anakku itu ada di rumah kamu sama para laki-laki." Ema terlihat sangat ribet sendiri.
"Iya, bentar." Dara pergi dari rumah Zia bersama dengan Ema.
"Zia, mama juga mau pulang. Mau mandi, entar mama sama papa kesini lagi. Mama bawa semur ayamnya ya? Papa kamu belum makan soalnya, biar di makan di rumah." Nia menghampiri anaknya sambil membawa rantang makanan.
"Iya, Ma. Hati-hati pulangnya, soalnya kalau sore begini orang-orang pada baru pulang kerja, jalanan jadi mancet deh." Ucap Zia sambil tersenyum kepada mamanya.
"Mama tahu itu, assalamualaikum Zia cantiknya mama." Nia keluar dari rumah putrinya dengan langkah tergesa-gesa.
"Waalaikumsalam." Jawab Zia, sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Ma....." Miko langsung memeluk kaki mamanya. "Aku ikut pergi ke rumah Jeo ya? Aku mau main sama dia."
Edwin yang berdiri di belakang putranya menggeleng pelan kearah sang istri, "Gak boleh, kamu udah main seharian sama dia. Mandi, makan, dan ikut papa kepanti asuhan."
Malam nanti acara syukuran calon anak Zia dan Edwin memang akan mengundang beberapa anak panti dan juga tetangga terdekatnya saja.
"Ah, Daddy..." Miko naik keatas tangga dengan wajah memberengut.
"Kalau Miko ikut Jeo biarin, toh Ema nanti juga kesini. Gak ngerti banget kemauan anak." Sinis Zia.
"Bukannya gak ngerti dengan kemauan anak, ini udah sore, dia belum mandi, belum makan siang, badannya lengket, anak kayak gitu kamu biarin main ke rumah orang?" Ucap Edwin, sambil mencomot bolu kukus yang berada di atas piring.
Zia mendengus, "Nanti juga dimandiin sama Ema disana bareng Jeo."
"Anaknya siapa, di suruh mandiin siapa." Sindir Edwin.
"Terserah kamu, aku mau ngurusin anak aku." Zia berjalan santai menaiki anak tangga rumahnya.
***
Sekarang ini Edwin dan Zia sedang bekerja sama untuk membuat anaknya makan. Sejak Miko dibeliin Edwin mainan baru berupa mobil remote, dia jadi terus main dengan mobil-mobilannya dan sulit untuk di suruh duduk dan makan.
Setelah mandi, Miko ingin main ke rumah tetangganya yang memiliki anak laki-laki seumuran dia, tapi dengan galak Edwin tidak memperbolehkan putranya pergi bermain dengan alasan harus makan dan ikut Daddy kepanti asuhan.
"Jangan muntahin dong sayang makanannya." Tegur Zia, ketika Miko memuntahkan makanannya di taman.
"Sekali lagi Daddy lihat kamu memutahkan makanan, Daddy kurung kamu di kamar." Ancam Edwin, tegas. Hal itu membuat Miko menatap dia takut.
"Aku kenyang." Bela Miko.
"Kamu itu baru makan 3 sendok, bagaimana bisa udah kenyang?" Edwin melotot kearah anaknya.
"Karena aku masih kecil, aku hanya butuh makanan sedikit. Tidak seperti Daddy yang harus makan banyak supaya bisa kenyang." Jawaban yang Miko berikan membuat Zia menahan tawanya. Anaknya itu benar-benar.....
"Kalau kamu gak makan, mama gak izinin kamu main. Nanti malam biar Jeo mama suruh pulang kalau kesini. Salah sendiri anak mama yang ganteng ini gak mau makan." Zia menatap putranya yang semakin menekuk wajahnya. Tapi setelah itu, putranya membuka mulutnya.
"Mama ih, selalu begitu. Sekarang ikut-ikutan Daddy ngancem aku." Miko menelan nasinya tanpa di kunyah. Hal itu membuat Edwin semakin kesal terhadap anaknya.
***
JANGAN LUPA UNTUK VOTE DAN COMMEN YA KAK SETELAH BACA CERITA AKU INI. TERIMAKASIH 🙂
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT DADDY 1 (TAMAT)
Roman d'amourWARNING!! 21+ "Besok umur mu sudah 6 tahun, sayang. Apa yang kamu inginkan dari Daddy?" Edwin berjongkok di depan putra kebanggaannya. Miko, anak laki-laki itu menatap Daddy nya malas. Dia meletakkan heandpone mahal yang Daddy nya belikan sewaktu di...