Miko sedang bermain dengan Jeo. Kedua anak lelaki itu sedang bermain robot-robotan di kamar Miko. Sedangkan para orang tua mereka sedang mengobrol di ruang keluarga.
"Kalau kakak tidak cepat ngelamar dia, keburu dia di ambil orang. Mana dia masih muda lagi. Dia sih pacaran masih oke-oke aja, kalau kakak..." Ingin sekali Edwin membungkam mulut adiknya menggunakan kaus kaki miliknya. Sedari tadi adiknya itu terus mengoceh. Dia menasehatinya bagaikan emak rempong yang sering ngegosip di depan rumah tetangganya.
"Maksud kamu, kakak udah tua?" Sinis Edwin, sambil meminum kopi miliknya.
"Emang udah tua." Ema menjawab perkataan kakaknya tanpa rasa takut.
"Tapi kakak gak ubanan." Protes Edwin.
"Bukan gak ubanan, tapi belum ubanan. Mungkin sebentar lagi." Ema membalas perkataan kakaknya sambil tertawa keras.
"Alah kak, laki-laki makin tua makin ganteng, kalau perempuan makin tua makin kendor semuanya." Sontak ucapan Kevin membuat darah Ema mendidih. Dia menatap suaminya yang duduk di sampingnya dengan sorot mata tajam.
Ema mencubit pinggang suaminya, dia menyingkirkan rambutnya kebelakang. Wajah cantiknya berubah garang.
"Kamu bilang apa tadi? Perempuan makin tua makin kendor? Oh, bagus. Nanti malam gak usah tidur rumah, sana tidur di pos kamling sama bapak-bapak yang katanya makin tua makin ganteng." Ema melipat kedua tangannya di dada, hal itu membuat Kevin meringis pelan.
"Hee..., Itu kan perempuan-perempuan disana, kalau kamu makin tua makin menggoda." Kevin menggunakan jurus gombalannya untuk meredamkan amarah Ema.
"Alah, mulut laki-laki itu memang buaya." Edwin bersyukur, setidaknya Zia tidak memiliki mulut pedas seperti adiknya itu. Coba saja jika Zia itu memiliki mulut seperti adiknya, mungkin dia sudah mati muda. Etttt..., Bukankah adiknya tadi bilang dia sudah tua? Dia harus cepat-cepat merencanakan untuk melamar Zia, sebelum dia benar-benar menjadi duda tua.
***
Zia sedang menikmati suasana malam ini dengan bersantai di pinggir kolam renang. Matanya sibuk melihat-lihat berbagai pakaian modern jaman sekarang di aplikasi heandpon miliknya. Dia ingin membelikan baju untuk sahabatnya yang ingin menikah Minggu depan. Dara akan menikah dengan pengusaha kuliner yang usahanya lagi melejit tahun ini. Rasanya dunia seperti tidak adik kepadanya. Zia tersenyum sendu, matanya mengadah, menatap langit yang sangat terang. Bintang dan bulan bersinar memancarkan cahaya untuk bumi. Zia menggerakkan kakinya di dalam kolam renang, dia mendesah pelan.
"Aku pernah mengimpikan membangun rumah tangga bersama Mas Bayu, tapi nyatanya dia menghianatiku. Hubungan yang terjalin lama belum tentu berjalan ke pelaminan. Dan hubungan yang baru terjalin belum tentu putus di tengah jalan. Semua teman-temanku sudah menikah, bahkan Dara yang masih sama sepertiku belum menikah, minggu depan dia akan menikah. Lalu bagaimana dengan nasibku?" Zia menatap langit seakan meminta jawaban. Rasanya hatinya sekarang sedang gundah. Dia tidak bisa terus-terusan sendiri seperti ini, kasihan mamanya yang selalu disinggung oleh para tetangganya. Mereka sering menanyakan kepada mamanya ataupun kepada dirinya langsung. Mengenai kapan dirinya menikah? Apa dia sudah mempunyai calon suami apa belum? Apa alasan dirinya terus melajang? Semua pertanyaan itu mengganggu ketenangan Zia.
"Zi, kapan kamu nikah? Mama sudah mau ngegendong cucu."
Zia teringat betul perkataan Mamanya beberapa waktu lalu. Dia ingin berbakti kepada kedua orang tuanya. Namun nyatanya dia belum menemukan jodoh yang tepat.
"Kalau Pak Edwin adalah jodohku, tolong dekatkan aku dengan dia yaallah. Kalau tidak, biarkan kita berdua tetap menjadi seorang teman. Aku menyayangi Miko." Tanpa sadar doa yang Zia panjatkan terdengar di telinga Nia.
"Semoga engkau segera menemukan jodoh untuk putriku yaallah." Doa Nia, tulus.
***
"Zi, Kamu berangkat kerja naik TAXI aja ya? Motornya mau mama bawa pergi. Lagian motor kamu yang di kantor sekalian bawa pulang." Seru Nia, kepada putrinya yang sedang sarapan bersama suaminya di meja makan.
Memangsih motor Zia masih di kantor Edwin, sedangkan motor Nia sudah di antar oleh orang suruhan Edwin ke rumah Zia.
"Ah mama, aku bareng papa aja ya?" Zia menatap papanya dengan tatapan memohon.
"Ngirit ongkos sekalian." Cengir Zia.
"Iya, nanti bareng papa." Sontak jawaban papanya membuat Zia tersenyum manis.
"Ih, sayang deh sama papa." Nia berdecih, selalu seperti itu.
"Yaudah ayo berangkat ke kantor, nanti kita telat lagi." Ajak Panji. Zia mengangguk, dia mencium punggung tangan mamanya. Saat dia baru ingin melangkahkan kakinya keluar dari rumah, Nia sudah memanggilnya kembali.
"Buat calon mantu mama, Edwin." Nia memberikan sekotak bekal untuk Edwin kepada Zia.
"Anaknya aja gak di kasih bekal, orang yang belum tentu jadi menantunya di kasih bekal." Sontak ucapanan Zia langsung di balas plototan mata oleh Nia.
"Kamu tuh emang, buru gih berangkat." Zia hanya mengangguk, lalu dia keluar rumah menyusul papanya yang sudah berada di dalam mobil.
***
Zia mengerutkan keningnya dikala Luwis, orang kepercayaan Edwin mengatakan bahwa hari ini Edwin tidak bisa berangkat ke kantor. Jadi dia yang menghandel semua pekerjaan kantor. Saat Zia bertanya kenapa bosnya itu tidak berangkat kerja? Luwis hanya mengangkat bahunya, pertanda dia juga tidak tahu.
Zia mengeluarkan teknologi canggihnya, apalagi kalau bukan heandpon. Dia mulai bingung, biasanya bosnya itu selalu mengabarinya kalau dia tidak bisa pergi ke kantor.
"Memangnya aku siapa? Sampai berharap di kabari Pak Edwin." Zia mendesah kecewa. Entah kenapa hatinya mulai terusik ketika dia tidak menemukan notif pesan dari bosnya di heandpon miliknya.
"Zi, mau ikut saya makan siang gak?" Luwis menghampiri Zia yang sedang sibuk melamun sambil memegang heandpone miliknya.
"Gak, kebetulan saya bawa bekal." Tolak Zia, halus. Lagian bekal pemberian mamanya yang untuk bosnya itu masih ada.
"Oh, tumben gitu bawa bekal. Kalau gitu saya duluan." Luwis berjalan keluar dari dalam ruangan Edwin, dia meninggalkan Zia sendiri disana.
"Ternyata satu hari tidak ada Pak Edwin sepi banget." Gumam Zia pelan.
***
Dara mengerutkan keningnya dikala melihat Ema, adiknya Edwin mengoceh sambil membawa beberapa barang.
Baru saja dia ingin menghampiri rumah Edwin dan bertanya kepada Ema, ada apa kok ramai-ramai? Eh kekasihnya malah memanggilnya.
"Mau ngapain kamu?" Tanya Kekasih Dara, sambil menatap Dara penuh selidik. Dara meringis pelan, dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Heee..., Mau ke rumah tetangga aku." Jawab Dara, cengengesan.
"Yang duda itu?" Tanya Kekasih Dara, dengan sorot mata tidak suka.
"Iyalah, siapa lagi." Dara ingin melangkah pergi, tapi baju belakangnya di terik oleh kekasihnya.
"Kamu tuh, ada calon suaminya disini masih aja kegatelan mau ke rumah duda samping rumah." Wajar jika kekasih Dara itu sangat cemburu. Soalnya Dara sering memuji tetangganya yang katanya memiliki perut six pack, semakin tua semakin ganteng, karismatik, mempesona, dan berbagai pujian lainnya.
"Ah elah, Yank. Bentar Oky? Jiwa rempong dan kepoku memberontak." Ucap Dara, masih saja celingukan ke rumah Edwin.
"Gak ada, masuk! Lagian perempuan yang udah punya calon suami kayak kamu itu tidak baik main ke rumah duda. Entar timbulnya fitnah. Mau kamu diarak nikah sama dia kalau sampai semua orang curiga sama kalian?" Dara berdecih. Dia hanya ingin bertamu ke rumah tetangganya, tidak ingin berbuat senonoh dengannya, lalu kenapa calon suaminya itu berfikiran sampai kesana?
"Mau, orang duda samping rumah aku itu Hot banget." Jawab Dara, dia hanya memanas-manasi calon pasangannya.
"Dara!!" Calon suami dara itu langsung menggendong Dara dan membawa Dara masuk kedalam rumahnya. Dara tersenyum senang. Dia cemburu? Berarti dia benar-benar mencintainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT DADDY 1 (TAMAT)
RomanceWARNING!! 21+ "Besok umur mu sudah 6 tahun, sayang. Apa yang kamu inginkan dari Daddy?" Edwin berjongkok di depan putra kebanggaannya. Miko, anak laki-laki itu menatap Daddy nya malas. Dia meletakkan heandpone mahal yang Daddy nya belikan sewaktu di...