12. Setan apa yang merasukinya?

43.5K 2.6K 49
                                    

Pagi ini Edwin dan Zia pulang ke Jakarta. Tentunya atas permintaan Zia. Sebenarnya Edwin berniat pulang nanti sore, karena jarak antara Jakarta dan Bandung itu sangat dekat.

Berkali-kali Zia menghela nafas kasar. Perasaannya mengatakan bahwa anak bosnya itu tidak baik-baik saja.

"Bapak bisa gak sih ngebutan sedikit? Perasaan saya benar-benar tidak enak." Zia menatap Edwin dengan sengit. Jantungnya serasa di remas, ulu hatinya rasanya sangat sakit seperti di cambik-cambik

"Kamu kenapasih, Zi? Perasaan kamu tidak enak kenapa?" Edwin melirik Zia bingung. Zia hanya diam sambil menggigit ujung kuku panjangnya.

***

"Pah, bagaimana jika nanti anak kita jadi perawan tua?" Ucapan Nia tadi membuat Panji hampir mati tersedak biji salak. Dia sedang memakan salak, namun istrinya yang baru datang dari minimarket tiba-tiba berbicara seperti itu.

"Mama itu ngomong apa sih? Perawan tua apa? Ucapan mama itu adalah doa buat anak kita." Panji menggelengkan kepalanya pelan, lalu dia membuka pintu mobilnya.

"Papa mau berangkat kerja, udah telat. Assalamualaikum." Panji menjalankan mobilnya. Meninggalkan istrinya yang menggerutu di teras rumah sendirian.

"Waalaikumsalam. Papa ih kalau di bilangin, selalu begitu." Nia berjalan sambil mendorong pintu Rumahnya. Pagi ini dia ingin membuat kue lapis, tapi gula di rumahnya habis. Sehingga dia harus pergi ke minimarket dekat rumahnya untuk membeli gula terlebih dahulu.

***

Firasat Zia ternyata tidak salah. Miko dibawa ke rumah sakit gara-gara bermain sepeda dan menabrak tiang listrik. Pembantu Edwin sudah ingin mengabari Edwin, tapi keburu Edwin sampai ke rumah lebih dulu.

"Coba saja saya ngedengerin bapak untuk pulang nanti sore, mungkin sekarang kita tidak bisa menemani Miko yang sedang sakit." Zia mengomeli Edwin yang sedang duduk di ruang tunggu. Dokter sedang memeriksa Miko yang belum juga sadarkan diri di dalam.

Edwin mengusap wajahnya kasar, dia menatap Zia yang sedang mondar-mandir seperti setrika di depannya dengan ekspresi sulit di tebak.

Langkah kaki Zia berjalan cepat menghampiri dokter yang menangani Miko dikala dia melihat dokter itu keluar dari ruang inap Miko. "Bagaimana keadaan pasien dok?" Tanya Zia, panik.

"Maaf, apa ibu ini adalah ibu pasien?" Tanya dokter itu sambil menatap Zia. Bibir Zia terkantup rapat, lalu dia mengangguk pelan. "Iya, saya ibunya. Bagaimana keadaan putra saya dok? Apa dia baik-baik saja?"

Edwin sempat tertegun mendengar jawaban Zia. Samar-samar dia tersenyum tipis.

"Putra ibu baik-baik saja, dia hanya mengalami benturan ringan di kepalanya. Mungkin besok juga sudah boleh pulang." Jawab dokter itu ramah.

"Oh, terimakasih dok." Zia benar-benar baru bisa bernafas lega ketika mendengar jawaban dokter itu.

"Sama-sama Bu, kalau begitu saya permisi." Dokter itu tersenyum kepada Zia dan Edwin. Sepeninggalnya dokter itu, Zia dan Edwin langsung bergegas masuk kedalam ruangan Miko.

Zia langsung memeluk Miko yang masih pingsan. Rasanya dadanya sesak melihat anak laki-laki di depannya belum juga sadar.

"Pak..." Panggil Zia, pelan. Zia Menggegam jemari tangan Miko dengan lembut. Edwin hanya diam, dia menunggu kelanjutan ucapan Zia.

"Apa permintaan bapak beberapa hari lalu masih berlaku?" Tanya Zia, pelan.

Edwin mengerutkan keningnya bingung, "Maksudnya?"

Zia menatap wajah Edwin dan Miko bergantian. Jemari lentiknya mengusap wajah Miko pelan. "Apa bapak serius ingin melamar saya?" Tanya Zia, setelah mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya seperti itu kepada Edwin.

"Apa mimik wajah saya terlihat bercanda ketika mengatakan keinginan saya untuk melamar kamu?" Tanya Edwin dengan tegas. Zia hanya diam sambil mengusap rambut Miko dengan pelan. Tatapannya sangat teduh, seperti tatapan seorang ibu terhadap anak kandungnya.

"Saya berniat menjadikan kamu istri saya, karena saya mencintaimu, bukan karena anak saya menginginkanmu. Zi, maukah kamu menjadi istri saya?" Tanya Edwin dengan tegas.

Zia menganga, lalu menatap Edwin dengan tatapan kesal. "Bapak serius melamar saya di rumah sakit? Apa lelaki setampan bapak tidak memiliki sifat romantis?" Protes Zia. Edwin terkekeh pelan mendengar protes perempuan di depannya.

"Tentu tidak, saya akan menyiapkan tempat romantis untuk perempuan Spesyal sepertimu." Ucap Edwin lembut.

"Supermi kalik, Pak. Spesyal." Zia tertawa pelan sambil menatap Edwin.

***

Nia berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Dia mencari nama ruang inap Miko. Tadi Zia meneleponnya, Zia menyuruhnya ke rumah sakit untuk membawakan baju ganti. Karena Zia tidak bisa pulang ke rumah untuk bersih-bersih badan karena Miko tidak ada yang jaga. Edwin juga baru saja pulang untuk mandi sebentar.

"Pa, mama suruh papa tidur di poskamling depan rumah kalau papa gak cepat jalannya." Nia menoleh kearah suaminya dengan tatapan garang. Panji hanya diam sambil membawa rantang makanan dan juga separsel buah. Sedangkan Nia membawa tas yang berisi baju dan perlengkapan Zia lainnya.

"Ruang melati." Nia membaca dengan pelan. "Pa, udah ketemu. Ayo masuk." Seru Nia, heboh. Panji berjalan di belakang Nia dengan menghela nafas kasar. Mulut istrinya memang seperti toa masjid.

"Assalamualaikum." Zia terjengkit kaget ketika mendengar salam mamanya yang seperti toa masjid. Dia yang semula sedang menyuapi Miko makan, menggelengkan kepalanya pelan.

"Hallo anak ganteng, nenek kangen sekali sama kamu." Nia mencium kening Miko, pelan.

"Mama kamu tuh Zi, Bikin papa pusing. Kerjaannya teriak-teriak gara-gara ngedenger kalau Miko sakit." Bisik Panji kepada putrinya dengan pelan.

"Biarin pa, mama kan tabiatnya memang begitu." Zia tertawa pelan ketika mendengar aduan dari papanya.

"Ma, Pa, titip Miko. Aku mau mandi bentar." Zia masuk kedalam kamar mandi ruang inap Miko. Samar-samar dia mendengar namanya sedang bercanda dengan Miko.

"Dasar mama." Gumam Zia, pelan.

***

Semua pembantu Edwin merasa ketakutan ketika melihat wajah dingin Edwin yang baru memasuki rumah. Bahkan Mbok Jum yang sudah lama bekerja dengan Edwin menundukkan kepalanya dalam. Mereka tahu, bosnya itu akan mengamuk jika menyangkut putra satu-satunya itu.

"Ngapain pada nunduk?" Edwin menatap semua pembantunya bergantian dengan tenang. Tidak ada aura marah di wajahnya. Tadinya dia memang ingin marah, tapi Zia mengingatkan untuk dia jangan marah kepada para asisten rumah tangganya. Karena kejadian yang menimpa Miko itu musibah.

"Pak Edwin tidak marah kepada kami semua? Mas Miko...."

"Itu musibah, Bi. Kalau begitu saya ke kamar dulu. Bibi beresin kamar Miko saja, besok paling dia udah bisa pulang ke rumah." Semua pembantu di rumah Edwin menganga lebar. Tumben sekali bosnya itu tidak marah ketika anaknya terluka sampai di bawa ke rumah sakit. Biasanya bosnya itu akan memaki mereka semua dan bilang bahwa mereka semua tidak pecus menjaga putranya. Lalu sekarang..."

"Apa Pak Edwin kesambet hantu di rumah sakit?"

"Tumben dia baik."

"Apa pak Edwin beneran baru saja senyum kepada kita semua?"

Para pembantu yang bekerja di rumah Edwin merasa bingung dengan sikap bosnya.

"Udah-udah, kalian malah ngerumpi. Lanjut kerja, keburu Pak Edwin marah beneran." Suruh mbok Jum yang juga bingung dengan sikap bosnya malam ini. Tadi saat dia dan Zia membawa Miko ke rumah sakit, wajah Edwin terlihat marah dan emosi. Tapi sekarang....

HOT DADDY 1 (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang