Edwin berlari masuk kedalam ruang UGD saat dokter yang menangani mantan istrinya mengatakan kalau mantan istrinya itu sudah sadar, tapi keadaaannya sangat lemah. Hesti bertanya kepada sang dokter, Siapa yang membawanya kesini? Saat dokter itu menyebut nama Edwin, Hesti langsung meminta dokter memanggil Edwin.
Edwin menatap wajah pucat Hesti. Bahkan wajah Hesti terlihat lebih pucat dari pada saat dia melahirkan Miko.
"Hes, "Edwin memanggil nama mantan istrinya dengan begitu lembut. Hesti hanya diam sambil meneteskan air matanya.
"Bol_boleh aku ber_bertemu dengan Miko?" Suara Hesti terdengar serak dan dia mengatakannya dengan terbata. Edwin mengangguk, dia keluar dari ruang UGD untuk menemui Miko dan istrinya. Edwin meminta Zia untuk masuk kedalam ruang UGD bersama Miko lewat isyarat matanya. Tidak mau membuang-buang waktu, Zia langsung menggandeng tangan sang putra masuk kedalam ruang UGD.
Hesti melihat Zia dan Miko dengan rahut wajah sendu. Dia sudah mendengar tentang pernikahan Zia dan Edwin dari layar televisi.
"Tante..." Miko berlari untuk memeluk Hesti. "Kenapa Tante tidak lagi datang ke rumahku? Apa aku nakal? Aku merindukan Tante."
Sejauh apapun mereka, ikatan darah tidak bisa dibohongi. Buktinya Miko menangis ketika bertemu dengan Hesti. Ikatan batin mereka begitu kuat.
"Dia mamamu, Mik. Mama kandungmu." Edwin mengusap lembut rambut sang putra.
"Tapi, Dad..."
"Suatu saat kamu akan mengerti alasannya. Maafin Daddy sama Mama Hesti yang menyembunyikan ini semua." Edwin menyentuh tangan Hesti dan menyatukan dengan tangan anaknya.
"Sayang..." Hesti memanggil Miko dengan suara lemas. Miko hanya mematung tanpa suara.
"Miko tahu surga itu letaknya dimana?" Zia menghampiri putranya yang masih shock setelah mengetahui kebenaran ini.
"Di telapak kaki ibu." Jawab Miko, lirih.
"Terus kenapa kamu tidak mau memeluk mama kandung kamu? Kalau mama Hesti marah terus ngutuk kamu jadi batu gimana? Mama Zia kan udah pernah bacain kamu dongen tentang maling Kundang yang durhaka kepada ibunya. Kamu mau di kutuk jadi batu sama Mama Hesti?" Ucap Zia. Dia berharap anaknya paham akan maksudnya. Miko yang sedari tadi diam, perlahan berjalan menghampiri Hesti, mamanya. Dia memeluk Hesti dengan begitu erat.
"Aku kangen mama." Miko menumpahkan air matanya di dada sang mama.
"Ma_mama juga kangen Miko. Ma_maaf udah pergi tinggalin kam_kamu." Hesti merasakan sesak di dadanya.
"Miko gak marah kok, Ma. Miko senang sekarang udah bisa ketemu sama Mama." Hesti menangis sesenggukan. Dimana hati nuraninya dulu? Kenapa dia tega meninggalkan anak sebaik dan sepintar Miko?
"Miko sayang sama Mama Zia?" Tanya Hesti, serak. Miko mengangguk, sambil tersenyum. "Sayang banget."
Hesti menyentuh rambut putranya, dia beralih menatap Zia. Zia yang paham dengan tatapan Hesti, melangkah mendekati mantan istri suaminya.
"Zi..." Hesti memanggil nama Zia dengan begitu pelan. "Uhuk..., Uhuk..." Hesti terbatuk, lemah.
"Aku titip Miko sama kamu, tolong jaga Miko seperti kamu menjaga anakmu sendiri. Ak_aku sudah gak kuat..." Hesti menyentuh dadanya dengan ringisan yang ketara di wajahnya.
"Pasti Mbak, pasti aku akan menjaga Miko seperti anakku sendiri." Zia meneteskan air matanya. Dia menatap wajah suaminya yang sedang mendongak keatas. Edwin mencoba menghalau air matanya yang siap keluar.
"Mas...." Hesti memanggil Edwin dengan begitu lemas. Edwin mendekat, dia menggegam jemari mantan istrinya.
"Maaf, maaf sudah meninggalkan kamu. Ter_terimakasih sudah membesarkan anak kita sen_sendiri. Ak_aku pergi." Setelah mengatakan itu, Hesti menuntup matanya. Miko yang melihat mata mamanya terpejam menjerit dengan sangat keras. Apa mamanya akan pergi seperti mama temannya? Apa mamanya akan meninggalkan dirinya? Apa mamanya tidak mau merawatnya? Entahlah..., Yang Miko fikirkan adalah bagaimana mata mamanya bisa terbuka lagi dan menatapnya dengan sayang?
"Dokter...., Dokter..." Teriak Edwin, dari luar ruang UGD. Dokter yang menangani Hesti segera masuk kedalam ruang UGD berserta asistennya. Dia mengecek denyut nadi dan bawah hidup Hesti, apakah dia masih bernafas atau tidak?
"Bagaimana, dok?" Tanya asisten Dokter tersebut. Sang dokter menghela nafas pelan, kemudian dia menggelengkan kepalanya.
"Maaf, kami dari tim dokter sudah berusaha sebaik mungkin. Pasien yang bernama Hesti Herlina Dewi meninggal pukul 21.34 Wib." Jelas dokter tersebut. Miko yang mendengar kata Meninggal dari dokter yang menangani mamanya menangis kencang. Dia tidak bodoh, dia tahu bahwa mamanya sudah pergi dari dunia ini. Mamanya sudah pergi meninggalkannya.
"Kata mama Zia, kalau kita berdoa sama allah sambil menangis, doa kita akan terkabul. Sekarang aku berdoa, tolong bangunkan mama Miko, Yaallah. Miko gak apa-apa gak punya mainan banyak, gak punya teman, di bilang anak haram, tapi tolong kembalikan mama Miko. Miko baru bertemu mama malam ini, apa sekarang Miko harus mengikhlaskan dia? Bahkan Miko belum pernah mencuci kaki mama. Seperti apa yang di bilang Mama Zia, surga ada di telapak kaki ibu, lalu kenapa kau mengambil ibuku?" Miko mengguncang tubuh mamanya. Semuanya begitu memuakkan. Usianya memang masih kecil, tapi keadaan membuat dia menjadi dewasa.
"Miko anak haram."
"Miko gak punya mama."
"Jangan temenan sama Miko, nanti kita ikutan gak punya mama kayak dia."
"Miko jangan main sama kita, kita semua punya mama, kamu enggak."
"Miko, kita itu beda."
Miko bisa bersikap dewasa karena ucapan teman-temannya dulu. Dia berusaha mengerti kesibukan Daddy-nya, kesendiriannya, hingga arti kematian. Dia pikir mamanya meninggal setelah melahirkan dirinya seperti film yang pernah dia tonton. Tapi nyatanya apa? Mamanya masih hidup dan sekarang baru diambil tuhan.
"Bi, bedanya anak haram sama anak-anak lainnya itu kenapa?"
"Kenapa Mas Miko nanya gitu?"
"Gak ada, cuma pengen tahu."
"Gak ada yang beda, mereka sama-sama di lahirankan dari rahim seorang ibu. Sekarang Mas Miko tidur, suatu saat Mas Miko pasti akan bertemu dengan Mama Mas Miko."
"Apa ini yang di sebut bertemu?" Gumam Miko, lirih.
Zia menangis sambil menunduk di samping brankar Hesti. Dia tidak pernah berfikir bahwa anaknya akan bertemu dengan ibu kandungnya dalam keadaan seperti ini. Kenapa anaknya yang masih kecil bisa mengalami musibah seberat ini? Zia menatap Miko yang sedang mencium kening mama kandungnya dengan dada sesak. Bukan, bukan dia cemburu karena Miko mencium mama kandungnya. Hatinya hanya tidak percaya bahwa anaknya harus merasakan sakit yang tidak semua orang bisa terima.
"Yang pergi itu raganya, kasih sayangnya masih utuh untukmu." Edwin mencium pucuk kepala anaknya. Dia menatap mata sang anak begitu dalam. Edwin mencoba menyelami mata anaknya. Yang dia dapatkan dari tatapan itu hanyalah luka dan penderitaan.
Dokter dan asistennya yang melihat tangis keluarga kecil itu menunduk dan memilih keluar. Dia sudah mencoba sebaik mungkin untuk menyelamatkan pasiennya, tapi Allah yang menentukan semuanya. Usahanya hanya bisa sampai sini, mungkin Allah lebih sayang kepada pasiennya itu.
Ruang UGD menjadi saksi bisu tangis air mata keluarga kecil di dalamnya. Terutama Miko, anak itu menjadikan rumah sakit menjadi tempat terburuknya. Tempat yang sudah mengambil orang tersayang yang sedari dulu dia ingin temui. Ruang UGD menjadi saksi bisu pertemuan dan akhir dari semuanya.
"Maaf yaallah, aku sudah pernah cemburu kepada hamba yang baru saja kau ambil nyamannya." Gumam Zia, sambil menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya.
Kalian ingin tahu tentang apa yang lebih pedih dari kematian? Saat kita baru menemukan kebahagiaan, lalu tuhan mengambilnya kembali. Itu adalah luka sayatan yang di tambah dengan tusukan duri tajam.
®®®
HALLO KAKAK-KAKAK SEMUANYA, JANGAN LUPA UNTUK VOTE DAN COMMEN. TERIMAKASIH 🙂
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT DADDY 1 (TAMAT)
RomanceWARNING!! 21+ "Besok umur mu sudah 6 tahun, sayang. Apa yang kamu inginkan dari Daddy?" Edwin berjongkok di depan putra kebanggaannya. Miko, anak laki-laki itu menatap Daddy nya malas. Dia meletakkan heandpone mahal yang Daddy nya belikan sewaktu di...