Malam ini Edwin kesulitan untuk membujuk putranya itu pulang. Dia selalu menempel pada Zia, kemanapun perempuan itu pergi, Miko akan selalu mengikutinya.
Lihatlah anak itu sekarang, dia sedang duduk disamping Zia yang sedang menonton televisi di ruang keluarga. Anak itu sangat anteng dengan puding susu di tangannya.
"Kasihan anak kamu, Ed. Dia tidak mau berpisah dengan Zia. Untuk malam ini, biarkan anak kamu tidur disini." Panji dan Nia tiba-tiba muncul disamping Edwin. Mereka juga mengamati kedekatan antara Zia dan Miko.
"Lagi pula saya senang jika Miko berada disini. Rumah seakan hidup kembali. Rumah ini sangat sepi semenjak Zia udah besar. Tidak ada tangisan atau tawa anak kecil lagi." Nia menatap Edwin dengan bibir tersenyum.
"Iya, Bu. Saya samperin Miko sebentar ya? Permisi." Edwin menghampiri putranya yang sedang tertawa ketika melihat senema Upin-ipin mulai tayang.
"Mik, Daddy pulang dulu ya? Kamu jangan nakal disini." Edwin berjongkok di depan putra satu-satunya yang dia miliki.
"Kenapa Daddy tidak tidur disini sekalian? Kita bisa tidur bareng-bareng. Daddy, aku, dan Tante Zia." Zia yang mendengar ucapan polos anak bos-nya hampir mati tersedak keripik kentang.
Mata Edwin dan Zia bertemu. Edwin terlihat tenang ketika mendengar ucapan polos anaknya. Sedangkan Zia, dia bergerak salah tingkah.
"Mungkin lain kali Daddy akan tidur bersama kalian. Tapi untuk sekarang tidak bisa, Daddy harus pulang untuk menyelesaikan pekerjaan Deddy yang menumpuk itu." Edwin mencium kening putranya.
"Baiklah, Dad." Zia merasa kasihan ketika mendengar suara lemas Miko.
"Saya titip anak saya malam ini, Zi." Edwin tersenyum lembut kepada Zia.
"Iy_iya." Zia merasa dirinya sudah tidak waras. Mengapa jantungnya berdetak cepat ketika bosnya itu tersenyum kepadanya?
"Apa aku mempunyai penyakit jantung? Kalau iya, kenapa jantungku berdetak lebih cepat ketika berada di samping Pak Edwin saja?" Batin Zia, bingung.
Selepas Edwin pergi, Zia langsung menatap anak kecil laki-laki di sampingnya.
"Miko, tidur yuk? Tante udah ngantuk nih." Zia mengusap rambut Miko penuh sayang. Miko mengangguk, lalu dia merentangkan kedua tangannya di depan Zia. Bibir Zia tersenyum, dia tahu betul apa maksut Miko. Dengan senang hati, Zia menggendong Miko menuju kamarnya.
"Jika tidak karena nyaman dan cinta, putri kita tidak akan mau menyayangi anak bosnya sampai seperti itu." Nia tersenyum samar ketika melihat punggung anaknya yang kian menjauh.
"Biar waktu yang menjawab, Ma." Balas Panji, santai.
***
Zia masuk kedalam ruangan kerjanya yang juga ruangan kerja Edwin dengan langkah terburu-buru.
"Maaf, Pak. Saya telat 10 menit. Tadi pagi Miko tiba-tiba rewel minta saya buatin ayam goreng." Zia berdiri di depan meja Edwin dengan nafas terengah. Dia tahu, dia salah karena sudah berangkat telat. Namun ini juga tidak sepenuhnya salahnya, jika anak bosnya itu mau makan ayam goreng masakan mamanya, mungkin dirinya tidak telat.
"Saya paham. Oh ya Zi, Siang ini kamu harus ikut saya rapat diluar." Edwin terlihat tidak marah, hal itu membuat Zia sedikit bisa bernafas lega.
"Bapak gak marah karena saya berangkat telat?" Tanya Zia, dengan mata berbinar.
"Kamu sudah menjaga anak saya kemarin seharian, lalu kenapa saya marah kepada kamu hanya karena kamu datang telat ke kantor?" Edwin menatap Zia dengan senyuman yang tidak lepas dari bibirnya.
"Benar bapak tidak marah kepada saya?" Zia benar-benar takut jika dirinya di pecat.
"Tidak, Zia." Edwin tertawa kecil ketika melihat ekspresi senang Zia.
"Kirain hari ini terakhir saya kerja disini gara-gara bapak pecat karena saya datang telat." Zia berjalan kemeja kerjanya. Dia duduk di kursinya dengan bibir tersenyum.
"Bagaimana aku bisa memecatmu? Jika kamu berhasil merebut hatiku dan anakku." Batin Edwin, sambil menghela nafas pelan.
"Oh ya Zi, aku fikir kamu tidak berangkat kerja hari ini. Kalau kamu berangkat kerja, terus Miko di rumah sama siapa?" Tanya Edwin yang baru ingat kepada anaknya.
"Oh Miko, bapak tenang saja. Dia ikut mama saya arisan kok." Cengir Zia.
****
"Yaampun jeng Nia, anak siapa ini? Tampan sekali." Miko yang sedang memakan Arum manis merasa tidak suka kepada ibu-ibu itu. Mereka mencubit pipinya, sehingga membuat pipinya sakit.
"Seperti keturunan bule ya jeng Ratna?" Timpal salah satu ibu-ibu itu.
"Iya, matanya bagus sekali." Puji mereka.
"Haaa.., dia anak bosnya Zia." Nia membawa Miko keatas pangkuannya.
"Lah kok bisa sama ibu?" Tanya ibu-ibu itu penasaran.
"Semalam dia tidur di rumah saya." Mendengar jawaban Nia, kabar tentang Zia yang perebut suami orang, perempuan penggoda, perempuan tidak benar, sampai penculik mulai terdengar berisik dibicarakan.
"Maaf ya ibu-ibu, anak saya tidak seperti itu. Permisi." Baru saja Nia ingin pergi bersama Miko, dia langsung bertatapan langsung dengan Zia dan Edwin.
"Yang kalian bicarakan itu salah, Zia bukan wanita seperti itu." Edwin menggendong putranya. Dia merasa kesal kepada ucapan ibu-ibu itu.
"Berhenti membicarakan hal yang tidak-tidak tentang calon istri saya, atau kalian akan tahu sendiri akibatnya." Ancam Edwin, marah.
Edwin pergi dari hadapan ibu-ibu itu bersama anaknya, Nia, dan tentu Zia. Dia menelepon orang kepercayaannya untuk menggantikan dirinya rapat.
"Maaf Ed, Zi, mama harus pulang. Tadi papamu telepon, katanya dia akan pulang dari kantor siang hari. Mama harus segera memasak untuk dia." Ucap Nia, sopan.
"Oh iya, Bu. Salah buat Pak Panji." Edwin tersenyum kepada Nia.
Selepas Nia pergi, Edwin menggegam tangan Zia.
"Selagi ada aku, tidak ada seorangpun yang bisa menyakitimu." Ucap Edwin, sambil tersenyum.
Zia mengangguk, lalu dia terlihat panik ketika mengingat sesuatu. "Ya Tuhan, bapak kesinikan mau rapat. Terus kenapa bapak malah berada di luar?"
"Soal itu tidak penting. Sekarang kita cari makan selain di restoran ini." Zia bingung, tapi dia juga mengikuti langkah Edwin yang masuk kedalam mobilnya.
"Miko tidak suka dengan ibu-ibu tadi, dia mencubit pipiku hingga merah dan sakit." Miko terlihat cemberut sambil memakan Arum manis di tangannya.
"Oh ya? Apa mereka menyakitimu?" Zia menyondongkan badannya untuk mencium pipi Miko yang berada di pangkuan Edwin.
Karena badan Zia yang terlalu condong, Edwin bisa mencium jelas wangi rambut Zia. Hal itu membuat bibirnya tersenyum senang.
"Tidak, hanya saja aku tidak menyukainya." Jawab Miko, lesu.
"Baiklah, jangan ngambek oke? Sekarang mereka tidak lagi bisa mencubitmu." Zia mengacak-acak rambut Miko dengan bibir tertawa kecil.
"Mungkin aku terlalu tampan, makanya mereka gemas melihatku." Kali ini ucapan Miko berhasil membuat Zia dan Edwin tertawa lepas. Tingkat kepercayaan diri Miko hampir sama dengan Edwin, Daddy-nya.
"Itu karena Gen dariku, bocah." Edwin ikut mengacak-acak rambut putranya dengan gemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT DADDY 1 (TAMAT)
RomanceWARNING!! 21+ "Besok umur mu sudah 6 tahun, sayang. Apa yang kamu inginkan dari Daddy?" Edwin berjongkok di depan putra kebanggaannya. Miko, anak laki-laki itu menatap Daddy nya malas. Dia meletakkan heandpone mahal yang Daddy nya belikan sewaktu di...