Edwin bersyukur, malam ini dia bisa menenangkan diri di rumah tanpa gangguan putranya. Dari pagi tadi Miko pergi bersama Ema. Kata adiknya, Miko mau di ajak liburan sekalian ke rumah kediaman orang tua suaminya.
Sepertinya Edwin benar-benar harus membangun rumah yang kedap suara. Dia menghela nafas kasar ketika mendengar suara gaduh di samping rumahnya. Rumah itu milik Dara, sahabat Zia yang sebentar lagi akan menikah.
"Mbok, orang di samping rumah kita kalau gak berisik gak bisa?" Tanya Edwin yang kepalanya mulai pening. Di rumah bukannya tenang malah pengang ngedenger suara berisik orang di samping rumahnya.
"Ah Pak Edwin itu bagaimana? Mbak Dara itukan mau nikah, ya wajar kalau ramai. Kayak Pak Edwin gak pernah nikah aja." Mendengar jawaban asisten rumah tangganya, Edwin langsung kembali menaiki tangga menuju kamarnya.
"Arggg..., Pusing." Edwin mengacak-acak rambutnya sendiri dengan rahut wajah marah.
***
Pagi ini Zia sedang berdebat dengan papanya. Dia ingin nebeng di mobil papanya, tapi papanya itu menyuruhnya memesan taxi saja.
"Aduh Pa, aku telat dong kalau nunggu Taxi datang ke rumah." Desah Zia. Ini semua salahnya yang tadi malam bergadang nonton Drakon hingga bangun kesiangan.
"Kalau papa nganter kamu ke kantor dulu, papa yang telat sayang. Udahlah, kamu naik TAXI aja. Papa berangkat dulu, assalamualaikum." Seru Panji, dia berjalan cepat, masuk kedalam mobilnya.
"Waalaikumsalam, papa ih." Zia menghentak-hentakan kakinya dengan kesal.
"Ma..." Zia menatap wajah mamanya dengan wajah memelas.
"Salah sendiri motor pakai di tinggal di kantor." Nia duduk di teras sambil meminum tehnya. Sontak hal itu membuat Zia kesal.
"Tapi Ma..."
"Nah, tuh mobil calon mantu mama. Sono gih, berangkat bareng dia." Suruh Nia ketika melihat mobil Edwin memasuki perkarangan rumahnya.
"Mending aku naik Taxi dari pada naik mobil dia." Zia bersalaman kepada mamanya, setelah itu dia berjalan cepat menuju gerbang rumahnya. Sebelum Zia benar-benar keluar dari perkarangan rumahnya, Edwin sudah lebih dulu menahan tangan Zia.
"Mau menghindar, Hem?" Tanya Edwin yang di balas helaan nafas kasar oleh Zia.
"Bu, berangkat dulu." Seru Edwin, Nia mengangguk dengan bibir tersenyum. Edwin memaksa Zia masuk kedalam mobilnya. Zia ingin memberontak, tapi tenaganya tidak sekuat tenaga Edwin.
Di dalam mobil tidak ada yang memulai pembicaraan. Ini lah yang membuat Zia malas berangkat ke kantor bareng calon suaminya ini.
Sejak kejadian kemarin, Edwin tidak lagi menghubunginya, bahkan di dalam mobil, lelaki itu terkesan cuek.
Lagi, lagi, dan lagi, Zia harus menghela nafas kasar karena sikap dingin calon suaminya itu. Zia tidak suka keheningan, namun dia juga malas membuka pembicaraan terlebih dahulu.
***
Zia tertawa ketika melihat postingan sahabatnya. Dara sedang memosting tangannya yang sedang di warnai hena, dengan caption, Demi tampil cantik rela gak pegang gelas, haus tahan dulu. Wkwk.
Zia menggelengkan kepalanya pelan, apa sebegitu ribetnya perempuan jika ingin menikah? Tangan pakai di kasih hena, itu tandanya kita kalau lapar harus di suapi, sampai hena di tangan kita kering? Oh may good.
Zia kembali bekerja, dia tersenyum senang dikala membayangkan betapa cantiknya sahabatnya besok ketika dia resmi akan menikah dengan Tirta.
"Aku kapan ya?" Gumam Zia, sambil memanyunkan bibirnya.
Mata Edwin tidak fokus bekerja ketika melihat Zia tersenyum sehabis melihat layar pipih di depannya. Setelah tersenyum, tiba-tiba Zia memanyunkan bibirnya.
"Kenapa bibir kamu manyun-manyun gitu?" Edwin menatap Zia dengan alis terangkat. Zia melirik Edwin sekilas, lalu dia kembali fokus kepada pekerjaannya.
Zia menghela nafas kasar ketika dia tiba-tiba tidak mengerti tentang jadwal meeting Edwin yang bertabrakan.
"Pak..." Zia melangkahkan kakinya menghampiri Edwin. Dia tetap profesional dalam bekerja. Jika di luar kantor dia akan memanggil Edwin dengan sebuah Mas, tapi jika di dalam kantor dia akan tetap memanggil Edwin dengan sebutan Pak, tentu seperti kariawan yang lainnya.
"Kenapa?" Tanya Edwin, lembut. Zia menyodorkan berkas yang dia pegang kepada Edwin. Tubuhnya yang terlalu condong menghadap Edwin, membuat laki-laki itu bisa menghirup parfum segar milik Zia.
"Ini kok jadwalnya bertubrukan? Maaf, saya main menyetujui pertemuan claen dengan bapak tanpa melihat dulu bahwa bapak sudah ada jadwal dengan clean lain. Sekali lagi saya mohon maaf." Zia benar-benar takut sekarang. Dia membuat kesalahan besar. Bagaimana jika Edwin di marahi claennya karena tiba-tiba harus mengundur atau memajukan hari temu mereka? Zia benar-benar tidak enak kepada lelaki itu.
Bibir Edwin terkantup rapat, lalu dia membawa kertas dokumen itu keluar ruangan.
"Mati aku!" Zia meruntuki kebodohannya sendiri.
***
"Gak bisa gitu dong, Ed. Aku kan ya..."
"Sibuk? Kau kan orang kepercayaanku, masa ngurus kayak gini aja gak bisa. Ini tuh tinggal di geser doang waktunya. Misal yang satu tetap, yang satu jam temunya di undur atau di majuin. Gitu aja gak bisa." Edwin duduk di depan Luwis yang sedang sibuk mengamati kertas dokumen yang baru saja Edwin berikan kepadanya.
"Yang salahkan Zia, lagi pula kenapa kamu tidak meminta tolong sekretaris kamu itu?!" Geram Luwis.
"Wis..."
"Udah, kau keluar saja. Nambah-nambahin kerjaan doang kesini. Nambahin gaji sih enak, kalau nambahin kerjaan buat apa?" Luwis mengusir Edwin dari ruangannya dengan wajah kesal.
"Gagal ngedate lagi." Desis Luwis, kesal.
***
Zia berdiri di depan resepsonis dengan ragu. Dia menggigit ujung bibirnya pelan. Zia meremas rok 'nya dengan gugup.
"Tolong bilangin ke Pak Edwin saya izin pulang." Suruh Zia kepada resepsonis di depannya. Sejak siang tadi Edwin sibuk dengan pekerjaannya, dan hal itu membuat Zia tidak enak jika meminta izin pulang secara langsung kepadanya.
"Oh iya mbak, nanti saya bilangin ke Pak Edwin." Resepsonis itu tersenyum kepada Zia. Setelah menganggukkan kepalanya, Zia berjalan keluar dari kantor. Zia melajukan motornya menyusuri jalan raya arah rumahnya. Hubungannya dengan Edwin sekarang sedang tidak baik. Dan itu cukup membuat konsentrasi kerja Zia menjadi terganggu. Dan asal kalian tahu, hari ini pekerjaan Zia tidak ada yang beres, di otaknya hanya ada Edwin, Edwin, Edwin, dan Edwin. Hanya nama cowok itu yang memenuhi kapasitas memory otaknya.
"Zi, Tadi ada paket datang. Tapi udah mama taruh ke kamar kamu." Seru Nia ketika melihat anaknya itu pulang dari kantor. Zia mengangguk, paling itu pesanan gaun miliknya yang akan dia kasih untuk Dara sebagai kado darinya.
"Lah tuh anak main nyelonong masuk kedalam rumah aja. Gak salaman dulu sama emaknya lagi." Nia menggelengkan kepalanya pelan. Dia kembali melanjutkan pekerjaannya, yaitu menyapu halaman rumahnya.
Di dalam kamar Zia langsung duduk di depan cermin besar miliknya. Dia duduk termenung disana sambil menatap cincin pertunangannya dengan Edwin. Entahlah, dia juga bingung dengan perasaannya ini. Apa dia benar-benar mencintai Edwin? Atau....,
Zia meraba dadanya sendiri. Ada getaran disana disaat dia kemarin di peluk oleh Bayu, mantan kekasihnya. Namun dia tidak mau menyimpulkan bahwa dia masih mencintai Bayu. Nyatanya lelaki itu pernah melukai dan menghianatinya. Zia tidak akan pernah lupa hal itu.
Satu yang Zia bingungkan, dia merasa nyaman bila di dekat Edwin. Dia merasa terlindungi ketika bersama lelaki itu. Apa dia benar-benar mencintai bosnya itu? Atau dia hanya menyukai anaknya?
Entahlah!! Yang pasti sekarang ini Zia tengah pusing memikirkan hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT DADDY 1 (TAMAT)
RomanceWARNING!! 21+ "Besok umur mu sudah 6 tahun, sayang. Apa yang kamu inginkan dari Daddy?" Edwin berjongkok di depan putra kebanggaannya. Miko, anak laki-laki itu menatap Daddy nya malas. Dia meletakkan heandpone mahal yang Daddy nya belikan sewaktu di...