Hampir saja Zia ingin mengutuk dan memenggal kepala Edwin. Lelaki itu sengaja mematikan lampu dalam Vila hingga membuatnya takut. Edwin menutup kedua matanya, dia memimpin jalan menuju suatu tempat.
Zia kira lelaki itu mendadak bangkrut, sehingga tidak sanggup membeli token listrik.
Mata Zia terbelalak ketika melihat betapa indahnya kebun di belakang Vila Edwin ketika malam hari. Di sekitar kebun itu terdapat lampu-lampu kecil yang membantu menerangi kegelapan malam ini. Tidak hanya itu, danau yang berada disisi sebelah kanan kebun milik Edwin terlihat sangat memukau dengan taburan bunga mawar berbentuk love di tengah-tengahnya. Pantulan sinar rembulan membuat mata Zia seakan enggan berkedip.
Edwin menuntun Zia untuk duduk di kursi yang sudah dia siapkan. Di atas meja sudah ada berbagai makanan dan minuman.
"Apa ini kamu yang nyiapin semuanya?" Tanya Zia, heran. Kapan lelaki itu menyiapkan semuanya?
"Hem, aku rasa kamu memerlukan suasana romantis untuk mencairkan emosimu. Ketika kamu tertidur tadi, aku membuat ini semua sendiri. Aku memetik bunga mawar di samping Vila ini, lalu aku rangkai hingga membentuk love di tengah-tengah danau." Jelas Edwin. Dia tidak berbohong, memang semuanya dia yang menyiapkan sendiri. Dia naik ke atas perahu yang terdapat di pinggir danau. Perlu kalian tahu, danau ini adalah danau buatan. Jadi tidak terlalu luas dan dalam.
"Termasuk membuat semua makanan ini?" Tunjuk Zia, lewat isyarat matanya. Jujur, air liur Zia sudah hampir menetes dikala melihat makanan di meja yang terlihat sangat lezat.
"Tentu." Jawab Edwin, bangga.
"Ck, mulai deh sombongnya." Decak Zia. Dia akui, masakan Edwin lebih enak darinya. Entah itu kebetulan atau memang lelaki itu pintar memasak, Zia tidak tahu.
Menjadi duda satu anak mungkin membuat Edwin harus terbiasa memasak untuk putranya. Namun bukankah dia memiliki pembantu untuk mengurus dirinya dan putranya?
"Silahkan di makan tuan putri." Edwin tersenyum manis kepada Zia. Dia mempersilahkan calon istrinya itu mencicipi masakannya.
"Enak." Gumam Zia, ketika memakan sup jagung buatan Edwin.
Edwin merasa senang jika Zia menyukai masakannya. Dia juga ikut makan malam bersama Zia.
Suasana romantis seperti ini sudah lama tidak Zia rasakan. Terakhir kali sewaktu 2 tahun lalu. Sewaktu Bayu membawanya muncak, dan membuat dirinya senang dengan bernyanyi di depannya, serta memasak khusus untuknya.
Zia menggelengkan kepalanya pelan, dia tidak mau berfikir tentang masa lalunya bersama Bayu lagi. Laki-laki itu sudah menyakiti hatinya.
"Besok ketika kita pulang, aku ingin membicarakan tentang pernikahan kita kepada kedua orang tuamu." Ucap Edwin tiba-tiba. Zia menganga, matanya mengerjap, tolong beri tahu dirinya bila telinganya bermasalah.
"Hah?" Beo Zia, sambil menggigit ujung sendoknya.
Edwin tersenyum, dia mencubit kedua pipi Zia, pelan. "Kenapa perempuan kalau diajak nikah sama laki-laki selalu menampilkan wajah terkejut?"
Zia mendengus, lalu menatap wajah Edwin dengan ekspresi serius. "Semua perempuan? Apa kamu juga berlaku seperti ini kepada mantan istrimu? Maksudnya kamu berbuat romantis seperti ini saat mengajaknya menikah?"
Jujur saja, Zia dulu pernah bermimpi ingin di perlakukan romantis oleh calon suaminya. Tentunya dia ingin suaminya berlaku romantis hanya kepadanya ketika mengajaknya menikah. Zia ingin bahagia, tapi dia sadar, dia itu hanya yang kedua. Sebelumnya pasti Edwin juga melakukan hal romantis seperti ini kepada istrinya. Zia ingin bangga karena di perlakukan romantis oleh calon suaminya, namun kebahagiaan itu sirna ketika otaknya berfikir bahwa dulu saja Edwin bisa meninggalkan istrinya, padahal dia sudah memiliki anak, Miko. Bisa jadi Edwin besok meninggalkan dirinya ketika dia sudah mempunyai anak. Buat apa di perlakukan romantis, kalau ujung-ujungnya di tinggalkan.
"Kamu yang pertama." Edwin menjawabnya dengan datar. "Tentunya yang terakhir."
Zia mengerutkan keningnya, "Yang pertama? Yakin? Terus mantan istri kamu?"
Edwin terlihat santai, dia tersenyum sambil berjongkok di depan Zia. Edwin meraih kedua tangan Zia, lalu menggegamnya erat.
"Aku berlaku romantis seperti ini hanya dengan kamu. Percayalah." Edwin menatap kedua manik mata Zia dengan bibir tersenyum lembut.
"Bagaimana aku bisa percaya dengan perkataannya? Kalau dia saja tidak mau berbagi tentang masa lalunya kepadaku. Aku hanya ingin tahu siapa istrinya? Namun dia seakan merahasiakannya." Batin Zia, ingin berteriak.
"Aku percaya." Zia tidak mau memperumit semuanya. Dia lebih memilih mengalah dan mencoba percaya dengan ucapan calon suaminya. Bukankah hubungan bisa terjalin harmonis karena sebuah kepercayaan? Zia mau dia menjadi calon istri yang baik dengan mencoba percaya dengan ucapan calon suaminya.
Selesai makan, Zia dan Edwin naik ke atas perahu. Zia duduk di depan dengan Edwin di belakang.
"Mas, serius dong dayungnya. Nanti kalau kita jatuh bagaimana?" Zia memegang lengan Edwin, takut. Ketika perahu yang mereka berdua tumpangi tiba-tiba bergoyang.
"Bagaimana aku mau serius dayung kalau lengan aku kamu pegang?" Edwin menggelengkan kepalanya pelan ketika melihat tingkah lucu calon istrinya.
"Heee...," Cengir Zia, malu.
Mereka berdua menikmati keindahan danau di malam hari dengan hati senang. Lampu yang temaram, pancaran sinar bulan, serta dinginnya suasana malam ini, membuat suasana romantis antara mereka berdua semakin tercipta.
Zia membungkam mulutnya dikala dia melihat betapa indahnya taburan bunga mawar yang Edwin buat. Dia pikir hanya kelopak bunga mawar yang Edwin bentuk love, ternyata tebakannya itu salah. Di tengah-tengah danau, tepatnya di tengah-tengah love terdapat ukiran nama mereka berdua. Edwin & Zia.
"Itu namanya dibuat dari lilin kecil? Kok gak kelihatan dari darat?" Tanya Zia, sambil menunjuk ukiran namanya dan Edwin yang berada diatas air.
"Kalau kelihatan dari darat ya gak suprise." Jawab Edwin, sambil terkekeh pelan.
"Suka?" Tanya Edwin, yang di balas anggukan kepala oleh Zia.
"Makasih." Sangking senangnya Zia ingin meluk Edwin, perahu yang mereka berdua tumpangi sampai goyang-goyang.
"Zi, Jangan gerak." Suruh Edwin, Zia yang terlanjur panik malah semakin bergerak resah.
"Zi..." Sangking paniknya, Edwin langsung memeluk Zia dari belakang. Dia mengunci gerakan tubuh Zia. Edwin meletakkan kepalanya di pundak Zia.
Zia hampir tidak bisa nafas karena hembusan nafas Edwin yang menerpa wajahnya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Sadar dia hanya di kerjai oleh Edwin, Zia langsung memukul pundak Edwin.
"Dasar kamu, suka curi-curi kesempatan dalam kesempitan." Zia mencubit lengan Edwin, bukannya marah, Edwin malah tertawa keras.
Zia sempat tidak berkedip ketika melihat ekspresi wajah Edwin yang sedang tertawa. Dia mendongakkan kepalanya, menatap ciptaan Tuhan yang hampir di kategorikan sebagai orang sempurna. Tidak akan ada habisnya jika Zia di suruh menceritakan bagaimana fisik Edwin? Lelaki itu terlalu tampan menurutnya.
Rahang Edwin tegas, bibirnya penuh dan sexsy, matanya tajam, dadanya bidang, dan tentunya perutnya six pack. Bagaimana? Apa kalian bisa membayangkan diri Edwin sekarang?
"Terpesona, Hem?" Zia terkesiap ketika mendengar suara berat milik laki-laki di depannya. Pipinya memerah, dia malu karena ketahuan mengaguminya.
"Apaansih?!" Bibir boleh berkata bohong, tapi tatapan mata Zia mampu memperjelas semuanya.
"Kamu tidak perlu mengatakan bahwa kamu mencintaiku. Cukup lewat tatapan kedua matamu ketika menatapku, aku cukup tahu bahwa kamu sebenarnya mencintaiku." Edwin mencium pipi Zia dari samping. Dia ingin memperlihatkan kepada semesta bahwa dia bahagia memiliki Zia. Biarkan rembulan melihatnya, hewan memperhatikannya, dan air danau yang menjadi saksi cintanya. Edwin memejamkan kedua matanya, dia berdoa kepada sang pecipta bahwa dia tidak mau di pisahkan dari calon istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT DADDY 1 (TAMAT)
RomansaWARNING!! 21+ "Besok umur mu sudah 6 tahun, sayang. Apa yang kamu inginkan dari Daddy?" Edwin berjongkok di depan putra kebanggaannya. Miko, anak laki-laki itu menatap Daddy nya malas. Dia meletakkan heandpone mahal yang Daddy nya belikan sewaktu di...