27. Restu.

23.1K 1.7K 43
                                    

Edwin menghela nafas pelan. Dia melirik Zia yang duduk di sampingnya dengan bibir tersenyum. Di tengah-tengah mereka berdua ada Miko yang sedang memakan donat. Entah berapa kue donat yang habis di makan oleh bocah itu, Edwin tidak tahu. Yang jelas sekarang area bibir anaknya sudah kotor terkena coklat dan beberapa keju, toping dari kue donat tersebut.

"Pa, Bu, seperti keinginan para pasangan lainnya, mereka ingin terus melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih jauh. Begitupun dengan saya dan Zia. Saya ingin mengenal putri ibu lebih jauh lagi. Bukan hanya sekedar mengenal, saya juga ingin membimbing dan mengambil alih tugas Bapak untuk menjaga Zia. Saya ingin meminta restu ibu dan bapak untuk membawa Zia kepelaminan. Saya ingin menikahi dia, mempersunting dia menjadi istri saya, dan menjadikan dia sebagai ibu dari Miko dan anak-anak saya nanti. Apa ibu dan bapak memberikan restu kepada saya untuk menikahi Zia?"

Edwin mengambil oksigen dengan rakus. Rasanya dia sekarang ini memperlukan banyak oksigen dan air untuk membantu dia bernafas. Dia optimis kedua orang tua Zia menerimanya sebagai menantu. Karena dari sikap kedua orang tua Zia yang baik terhadap dirinya dan juga putranya. Tapi ketakutan tetap ada di setiap laki-laki yang meminta izin untuk menikahi putri dari anak mereka. Begitupun dengan Edwin.

"Ya pasti di restuilah, Nak. Kapan? Kapan kalian nikah, hah?" Tanya Nia, terlalu bersemangat. Zia meringis pelan ketika Edwin menatapnya. Mamanya itu benar-benar membuat harga dirinya jatuh.

"Ma.." Tegur Panji, sambil melototkan kedua matanya.

"Heee..." Cengir Nia, salah tingkah.

"Bagaimana kalau Minggu depan kalian menikah?" Baru saja Panji ingin membuka mulutnya, Nia sudah kembali berbicara.

"Ma..." Sentak, Panji. Nia memanyunkan bibirnya sambil meringis pelan.

Panji menatap Edwin dan Zia secara bergantian. Terdengar helaan nafas kasar yang keluar dari bibirnya. Zia tahu, papanya itu sedang menatapnya sendu. Walau posisi Zia sedang menunduk, dia tahu persis bahwa papanya tengah memperhatikannya.

"Saya hanya seorang ayah yang menginginkan kebahagiaan untuk putrinya. Zia adalah putri satu-satunya yang kami miliki. Tentu, saya menginginkan pendamping yang bisa membuatnya bahagia. Sedari kecil dia selalu kami berdua manja. Setelah dewasa, kami harus merelakan dia dimiliki oleh orang lain. Saya tidak minta apa-apa dari kamu, bahkan harta kamu sedikitpun saya tidak menginginkannya. Tapi berjanjilah, Nak. Kamu akan menjaga Zia, seperti kami menjaga dia." Zia terenyuh dengan perkataan papanya. Dia tidak menyangka di balik wajah tegas sang papa, dia akan mengatakan kalimat seperti itu kepada calon suaminya.

Panji tidak mau mengungkit masa lalu Edwin yang notebenya adalah seorang duda anak satu. Tapi dia mempunyai keinginan yang pasti semua orang tua inginkan. Dia ingin melihat putrinya bahagia bersama lelaki pilihannya. Sekarang Zia sudah memilih Edwin menjadi pendampingnya, tugasnya hanya memberi restu. Namun Panji ingin mendengar janji Edwin, bahwa dia tidak akan menyakiti putrinya, dan dia akan membahagiakan Zia.

Di lihat dari masa lalu Edwin yang pernah bercerai dengan istrinya, Panji tidak mau hal itu terjadi kepada putrinya. Akan sangat menyakitkan untuknya jika melihat air mata penderitaan menetes di kedua pelupuk mata anaknya. Seorang ayah akan merasa gagal jika melihat masa depan suram anaknya. Selama ini Panji sudah berusaha menjadi ayah yang baik. Dia tidak mabuk, tidak kasar, dan tidak menorehkan luka di hati anaknya. Karena dia tahu, cinta pertama anaknya adalah dirinya, sang ayah. Panji ingin menjadi sosok laki-laki yang baik di mata sang putri.

Edwin menganggukkan kepalanya, pelan. "Saya berjanji akan membahagiakan dia, Pak. Mohon doa restunya."

"Baiklah, saya restui kalian. Kapan kalian berencana ingin menikah?" Tanya Panji, lembut.

Edwin dan Zia saling pandang, mereka saling melempar senyum. "Bukankah ibu ingin melihat kami berdua menikah cepat? Beliau menginginkan Minggu depan, bukan? Saya maupun Zia juga menginginkan pernikahan kita di langsungkan secepatnya. Berhubung ini lagi covid, kita undang sanak keluarga saja." Ucap Edwin.

"Kenapa tidak meriah?" Tanya Nia, kecewa. Zia adalah putri satu-satunya yang dia miliki. Apa salah jika dia menginginkan pesta besar yang di hadiri oleh banyak tamu di pernikahan putrinya?

"Ma, keadaannya sekarang berbeda. Sekarang sedang masa Covid-19. Jadi kita harus jaga-jaga. Bagaimana kalau misal tamu kita ada yang terpapar penyakit Corona? Mama mau kita semua kena imbasnya?" Tanya Zia, hati-hati.

Nia masih diam sambil menekuk wajahnya. "Yang pentingkan Sah." Timpal Panji.

"Yaudah, yang penting kalian berdua nikah." Jawab Nia sambil memasang senyum manis.

***

Suara ramai terdengar di dalam rumah minimalis bergaya Eropa modern milik keluarga Zia. Edwin, Nia, Miko, Panji, dan  Zia sedang makan malam bersama di meja makan.

Edwin menyenggol lengan Zia, sambil berbisik. "Apa presiden Jokowi beserta wakilnya akan datang kesini?" Tanya Edwin, lirih.

Zia meringis sambil menggigit ujung sendoknya. Alisnya terangkat satu, pertanda dia tidak mengerti dengan pertanyaan yang keluar dari bibir Edwin.

"Makanan sebanyak ini untuk apa?" Edwin mengulang pertanyaannya dengan lebih jelas.

"Untuk calon menantu kesayangan mama." Jawab Zia, malas.

"Siapa?"

"Duda anak satu yang dari tadi cerewet nanya ini itu." Zia menyumpal mulut Edwin dengan menggunakan ayam goreng di depannya.

"Kenapa Daddy di suapin Tante ayam goreng? Daddy 'kan udah gede, dia udah bisa makan sendiri." Protes Miko, yang sedang memakan bolu kukus. Pantas saja pipi bocah itu chabby, orang dia dari tadi makan kue mulu.

Zia tersenyum kikuk di depan calon putra angkatnya. Sedangkan Edwin sedang menatap Zia penuh arti.

"Jaga sikap kalian di depan cucu papa." Tegur Panji, yang di balas ringisan oleh Zia. Sedangkan Edwin malah terlihat biasa saja.

***

Hari ini adalah hari minggu. Zia baru saja selesai berolahraga berkeliling komplek. Dan lihatlah mamanya, dia sedang merumpi di depan rumahnya. Zia menggelengkan kepalanya pelan ketika melihat bibir mamanya yang terus mengoceh. Zia tidak yakin bahwa mamanya itu sudah memasak untuk menu sarapan dia dan papanya.

"Dasar emak-emak." Cibir Zia. Dia menghela nafas kasar ketika melihat mamanya itu mengangkat dasternya ke atas, serta menggoyangkan kepalanya yang di Gelung kesana-kemari.

"Kalian lihat tidak? Calon menantu saya yang keren, yang kemarin baru keluar dari mobil mewah? Wah, cakepnya keterlaluan. Calon suami anak saya itu." Zia mengamati gerak-gerik mamanya yang awalnya berdiri jadi duduk.

"Calon mantu ibu bule ya?" Tanya salah satu ibu itu.

"Emmm..., Ya atau tidak ya...."

"Zi...., Calon mantu mama bule atau tidak?" Teriak Nia, saat melihat Zia hendak masuk kedalam halaman rumahnya.

Zia mendengus, dia pura-pura menulikan telinganya. Mamanya itu benar-benar membuat dirinya malu dengan berteriak seperti tadi.

"Zi, itu mama kamu seret bawa pulang. Dari abis sholat subuh sampai pagi ngerumpi di rumah orang. Itu bibir atau kereta balap? Gak ada capeknya sama sekali. Papa dengerin sambil nyuci mobil, mama kamu dari tadi ngomongin Edwin terus." Ucap Panji, sambil mematikan selang airnya.

"Papa kayak gak tahu Mama aja." Baru aja Zia ingin melangkah masuk kedalam rumahnya. Suara melengking mamanya sudah kembali terdengar di telinganya.

"Zi, calon mantu mama kelahiran tahun berapa?" Tanya Nia, keras. Zia mendengus, mamanya itu pasti akan mengomongkan Edwin dengan mengatakan duda anak satu, wajah terlihat seperti perjaka ting-ting. Umur boleh tua, tapi wajah harus tetap tampan.




***

Seorang penulis tidak ada apa-apanya tanpa seorang READERS ( pembaca) seorang penulis juga tidak akan pernah maju tanpa tahu kesalahannya. Jangan lupa vote and commen.....🤗

HOT DADDY 1 (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang