Zia duduk di luar Minimarket dengan bibir manyun. Dia sedang meratapi nasibnya dikala melihat beberapa anak muda berjalan masuk kedalam minimarket dengan bergandeng tangan. Bahkan di berada fecbook miliknya, anak kelas 4 SD sudah memanggil pacarnya dengan sebutan Ayah, bunda. Lalu dirinya kapan? Rasanya Zia ingin menangis sekarang ini.
"Udah tua, di selingkuhi, gak cantik-cantik amat." Desah Zia kecewa. Andaikan dia itu adalah pemeran di sebuah novel, pasti dia akan menjadi sosok jomblo yang kaya raya, cantik, tinggi, meski tua rebutan para lelaki. Tapi Zia masih sadar, bahwa ini cerita nyata. Keluarganya memang tidak kekurangan apapun, tapi dia tidak seperti keluarga Edwin yang memiliki segalanya.
"Ah, apaansih. Aku kok malah mikirin Pak Edwin." Zia menggelengkan kepalanya pelan, dia membuang kotak es krimnya di tempat sampah. Kemudian dia melajukan motornya menuju rumahnya. Zia melirik jam tangannya, matanya terbelalak ketika dia melihat bahwa sekarang sudah pukul 20.00 WIB.
"Waduh, entar mama khawatir lagi aku jam segini belum pulang ke rumah. Mana heandponku mati." Zia meringis pelan. Dia menambah kecepatan laju motornya.
***
Zia melepas helmnya, keningnya berkerut dikala dia melihat mobil bosnya beserta mobil kekasih Dara berada di halaman rumahnya. Iya, Zia hafal betul kedua mobil itu, itu mobil yang sering di bawa oleh kekasih Dara dan bosnya.
Rasa penasaran Zia semakin berada di ubun-ubun dikala melihat sahabatnya menghampiri dirinya dengan langkah terburu-buru.
"Ya Tuhan, ngapain kamu bengong di luar seperti itu? Ayo masuk, tetanggaku yang gantengnya masyaallah itu mau ngelamar kamu." Dara menghampiri Zia dengan langkah terburu-buru. Kepala Zia bleng. Lamaran? Maksudnya?
"Maksudnya?" Zia benar-benar tidak mengerti dengan ucapan sahabatnya. Apa sahabatnya itu sedang bercanda? Apa dia mimpi? Tapi dia tidak tidur.
"Eh bloon, Duda ganteng samping rumahku itu hari ini berniat ngelamar kamu. Dia sedang berada di dalam rumahmu. Aku dan kedua orang tuamu sudah meneleponmu sedari tadi, tapi kamu sok ngartis sampai mematikan heandponen milikmu." Oceh Dara. Zia mendengus, mana ada dia mematikan heandponenya. Heandpon miliknya tadi baterainya habis dan tiba-tiba mati sendiri.
Zia mengacak-acak rambutnya sendiri. Kenapa harus mendadak sih? Lihat penampilannya? Ya Tuhan....
Zia menggigit ujung bawah bibirnya. Dia melihat penampilannya dari bawah sampai atas. Dia mencium bajunya yang bau terkena keringat, rambut lepek, dan...
Jika benar bosnya itu melamarnya malam ini, maka Zia menobatkan hari ini adalah sebagai lamaran tergila di dunia. Dia baru pulang kerja, belum mandi, dan sedang acak-acakan masa iya mau nerima lamaran?
Fokus Zia dan Dara terbagi dikala mereka berdua melihat Luwis keluar dari mobilnya sambil menata jasnya.
"Gila, ganteng banget." Dara menggigit ujung kukunya ketika melihat Luwis keluar dari mobilnya.
"Woy Zi, ngapain kamu masih ada disini? Gila memang Edwin, aku sampai hampir nabrak orang gara-gara dia. Lamaran kok dadakan." Luwis menggeram kesal. Malam ini dia ingin menghabiskan waktunya untuk pergi ke club' malam. Tapi sahabat sekaligus atasannya itu meneleponnya dan mengatakan bahwa dia akan melamar seorang perempuan. Betapa terkejutnya Luwis ketika Edwin mengatakan perempuan yang akan dia lamar adalah Zia, Sekretaris lelaki itu sendiri. Luwis kira kedekatan mereka berdua itu hanya kedekatan biasa. Namun....
Edwin mengancam dia, jika sampai dia tidak datang dalam waktu 35 menit, maka Edwin akan melakukan hal gila. Edwin akan memberi tahu kedua orang tuanya tentang kelakuan brengseknya terhadap beberapa perempuan. Dan tentu saja, dia akan di coret dari hak waris keluarganya. Dirinya sering kali melecehkan perempuan, padahal keluarganya adalah keluarga terhormat. Edwin menshare lock lokasi rumah Zia, dia menyuruhnya datang dalam waktu 35 menit.
"Dasar gila." Zia melangkahkan kakinya masuk kedalam rumahnya. Dia sudah menyiapkan hatinya untuk menanggung malu. Di depan semua orang masa iya dia berpenampilan seperti ini?
"Assalamualaikum." Zia bersalam kepada kedua orang tuanya. Dia menatap mamanya dengan garang.
"Kenapa Mama tidak mengatakan bahwa Pak Edwin akan melamarku malam ini? Kalau mama mengatakannya mungkin aku akan izin tidak berangkat kerja." Bisik Zia, kesal.
Nia meringis pelan. "Mama juga tidak tahu kalau malam ini Nak Edwin mau ngelamar kamu."
Zia menatap mereka semua yang duduk di ruang tamu dengan senyuman kikuk. Dia ingin melangkah pergi ke kamarnya, namun suara bariton milik papanya menghentikan langkahnya.
"Mau kemana, Zi?" Tanya Panji kepada putri satu-satunya itu.
"Ke kamar, Pa. Mandi bentar." Jawab Zia, pelan.
"Duduk, kasihan Nak Edwin udah nunggu lama." Suruh papanya. Ya iyalah lama, tadikan Zia meratapi nasibnya dulu di depan minimarket. Zia menghela nafas kasar, dia duduk di tengah-tengah kedua orang tuanya.
"Berhubung Zia sudah ada disini, saya ingin mengutarakan kedatangan saya dan keluarga saya kesini. Sebelumnya saya mohon maaf kepada Bapak dan ibu sekeluarga karena hari ini saya tidak membawa kedua orang tua saya ikut serta datang ke rumah bapak dan ibu. Karena kedua orang tua saya sudah meninggal beberapa tahun lalu." Edwin menjeda kalimatnya. Terdengar kalimat inalillahi wainailaihi rojiun dari semua orang disitu.
"Malam ini saya berniat melamar putri bapak untuk saya sendiri. Saya ingin menjadikan dia sebagai istri dan ibu dari anak-anak saya." Edwin melanjutkan ucapannya. Dia menatap Zia dengan bibir tersenyum manis. Rasanya Zia ingin pingsan karena tidak tahan diberi senyuman oleh lelaki tampan di depannya. Ingat lelaki tampan, sedangkan dia perempuan buruk rupa yang belum mandi padahal sedang di lamar orang.
"Saya serahkan kepada putri saya. Bagaimana Zi, apa kamu mau menerima lamaran Nak Edwin?" Tanya Panji, sambil mengusap lembut rambut anaknya. Zia menghela nafas pelan, dia menatap mata Mama dan papanya bergantian. Kedua orang tuanya tersenyum kepadanya, dari tatapan mereka berdua, mereka seakan menyerahkan semuanya kepada dirinya.
"Elah lama banget. Tinggal bilang iya gitu aja repot." Seru Luwis yang duduk lesehan bersama dengan Miko, Jeo, dan juga Kevin.
"Wis.." Kevin melotot kearah Luwis. Sedangkan Luwis yang di tatap Kevin hanya nyengir saja.
Jantung Edwin rasanya ingin loncat dari tempatnya dikala dia tidak kunjung mendengar jawaban dari Zia. Apa perempuan itu akan menolaknya?
"Kak, bagaimana kalau kakak di tolak?" Bisik Ema, pelan. Edwin hanya diam tidak menjawab pertanyaan dari adiknya.
"Masih untung aku dulu jawab lamaran kamu dengan cepat." Dara memeluk lengan lelaki yang seminggu lagi akan sah menjadi suaminya.
"Iya, kelihatan kalau udah ngebet minta di lamar." Jawaban yang calon suaminya itu beri membuat Dara memanyunkan bibirnya.
"Kenapa semuanya diam?" Miko membuka suara. Zia tersenyum kepada Miko, lalu dia merentangkan kedua tangannya kepada anak kecil itu. Miko berlari dan menghambur kedalam pelukan Zia.
"Saya menerima lamaran Pak Edwin, saya mau menjadi ibu sambung dari Miko." Jawab Zia sambil mencium pipi gembul Miko. Dia memeluk Miko dengan sangat erat. Semua orang berucap syukur, setelah dibuat menunggu, akhirnya jawaban yang Zia berikan tidak mengecewakan.
"Masa manggil calon suaminya, Pak. Kesannya tua amat." Protes Dara. Zia meringis pelan ketika mendengar protes dari sahabatnya.
"Maksudnya mas." Koreksi Zia. Sontak hal itu membuat semua orang yang berada disitu tertawa.
Panji dan Nia beranjak pergi dari tempat duduknya dikala melihat Edwin berjalan menghampiri Miko dan Zia. Edwin dan Zia kompak mencium pipi Miko.
"Apa aku sudah seperti Jeo, yang mempunyai kedua orang tua lengkap?" Tanya Miko, dengan polos. Zia mengangguk, dia memeluk Miko semakin erat.
"Tante Zia sayang banget sama kamu." Ucap Zia, gemas.
"Miko juga sayang Tante." Balas Miko.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT DADDY 1 (TAMAT)
RomanceWARNING!! 21+ "Besok umur mu sudah 6 tahun, sayang. Apa yang kamu inginkan dari Daddy?" Edwin berjongkok di depan putra kebanggaannya. Miko, anak laki-laki itu menatap Daddy nya malas. Dia meletakkan heandpone mahal yang Daddy nya belikan sewaktu di...