Zia hanya diam dengan masih masih terpejam. Telinganya mendengar jelas pertengkaran antara Ema dan Edwin. Pintu kamar yang tidak di tutup rapat membuat Zia mendengar semua percakapan mereka berdua. Bahkan Zia mendengar gersak-gursuk ketiga pembantunya yang takut di pecat gara-gara dirinya pingsan. Padahal itu semua tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.
"Apa otakmu itu sudah tersumbat, hah? Apa tidak bisa mikir sedikit saja? Dia itu sudah meninggalkan kamu dan Miko, kak!" Bentak Ema, sambil mencengkram pembatas lantai dua. Dia melirik Edwin dengan tatapan sengit.
"Tapi dia memiliki alasan untuk itu, Em." Edwin membuka suaranya yang sedari tadi dia pendam. Adiknya itu terus mengoceh.
"Alasan kakak bilang? Dia itu wanita iblis, wanita tidak punya otak, dia itu...."
"Yang kamu sebut wanita iblis, wanita tidak punya otak itu juga ibu dari keponakanmu." Potong Edwin, mulai terpancing emosi. Ema bersedakep dada, dia menatap wajah kakaknya dengan berani.
"Ibu kau bilang? Jika dia menganggap Miko itu anaknya, sudah pasti dia tidak akan meninggalkan kalian." Ema tidak habis fikir dengan cara pikir kakaknya. Kakak laki-lakinya seakan tidak rela mantan istrinya dia jelek-jelekin. Tapi nyatanya memang begitukan? Hesti meninggalkan Miko dan kakaknya dengan seenaknya.
"Ema, Hesti seperti itu karena...."
"Hiks..., Hiks..." Zia tidak kuat menahan isakannya. Air matanya luluh membasahi kedua pipinya. Dia meremas seprai tempat tidurnya sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Ma...." Zia memanggil mamanya dengan suara pelan. Tubuhnya bergetar dengan sendirinya. Terlihat jelas jika suaminya membela mantan istrinya dengan begitu besar.
Edwin segera masuk kedalam kamarnya dan Zia, saat Ema juga ingin ikut masuk, tangannya langsung di tarik oleh Kevin yang semula berada di kamar Miko untuk menidurkan keponakannya itu.
"Kamu mau ngapain? Biarin mereka berdua menyelesaikan masalah mereka sendiri. Kamu gak usah ikut-ikutan. Ini masalah rumah tangga mereka." Kevin menatap tajam kedua mata istrinya dikala Ema ingin membuka suara. Ema menggeram kesal, matanya menatap pintu kamar kakaknya.
"Pulang, kasihan Jeo kamu titipkan ke rumah tetangga. Dan untuk Mbok Jum sama kalian berdua langsung tidur saja. Jangan lupa tutup semua pintu rumah, saya dan Ema permisi." Kevin menarik tangan istrinya untuk pergi dari rumah Edwin. Sedangkan ketiga pembantu Edwin berjalan untuk mengecek semua pintu rumah ini, apakah sudah di kunci atau belum.
Didalam kamar Edwin menatap wajah istrinya yang masih terpejam, tapi mengeluarkan air mata. Dia mengusap pipi tirus itu dengan gerakan lembut. Edwin menggegam jemari tangan sang istri. Dia merasa senang mengetahui bahwa istrinya hamil dari mulut adik cerewetnya, namun dia juga sedih karena tidak bisa menjadi suami yang baik.
"Aku tahu kamu sudah sadar, mau minum, Hem?" Tanya Edwin, lembut. Perlahan Zia membuka matanya, dia menatap wajah suaminya itu dengan tatapan kosong.
"Kenapa tidak tidur di rumah sakit sekalian? Masih ada Mbok Jum sama yang lainnya kok yang bisa nemenin aku disini." Ucap Zia, ketus. Dia mendorong pelan dada bidang suaminya yang sedang memeluknya dari samping.
"Zi..."
"Apa kamu tidak khawatir dengan keadaan mantan istri kamu? Mungkin dia lebih butuh kamu dari pada aku." Zia berkata dengan sangat dingin. Entah dimana sikap lembutnya itu.
"Sayang...."
"Masih ingat jalan rumah? Aku kirain....., Emppp..." Edwin yang tidak tahan dengan ucapan ketus istrinya langsung membungkam mulut suaminya dengan ciuman. Zia memberontak sambil memukul brutal dada bidang sang suami.
"Dia tertabrak mobil, hingga tubuhnya terlempar jauh kedepan kaca mobilku. Apa aku harus diam saja?" Edwin menyingkirkan Surai rambut sang istri. Edwin meletakkan kepala Zia kelengannya.
"Apa aku harus percaya dengan ucapanmu? Apa kamu tidak bisa menelponku dulu untuk memberikan kabar bahwa kamu sedang berada di rumah sakit bersama mantan istrimu karena kamu ingin menolongnya? Aku cemas, aku takut, aku..."
"Tenanglah, sayang." Edwin memeluk istrinya dengan begitu erat. Membelai rambut sang istri dengan penuh sayang.
"Kamu ingin tahukan kenapa aku dan dia bisa bercerai?" Tanya Edwin dengan masih memeluk istrinya. Zia hanya mengangguk di dalam pelukan nyaman suaminya.
"Keluarga Hesti adalah pemilik butik terkenal di Jogja. Dulu mamaku sering beli disana. Dia tertarik kepada Hesti karena Hesti pintar masak. Kedua orang tua Hesti menyetujui perjodohan ini karena dia melihatku sebagai lelaki yang mapan. Padahal Hesti terang-terangan menolakku. Aku sebenarnya juga ingin menolak Hesti, karena aku ingin fokus dulu dengan pekerjaanku. Tapi Mama dan papaku mengancam akan mencorek namaku di daftar Kartu keluarga kalau aku menolak perjodohan ini. Mama dan papa ingin segera punya cucu. Aku menikah dengan Hesti karena terpaksa, bahkan aku menyentuhnya ketika aku sedang mabuk, hingga jadilah Miko. Itu semua aku lakukan tanpa sadar. Sampai pada akhirnya waktu 7 bulan kehamilannya, keluargaku mengadakan syukuran yang sangat mewah, tapi dia hanya mengundang kologan kerja yang dekat dengan keluarga kami saja. Tanpa disangka Hesti bertemu dengan mantan pacarnya, mereka putus karena perjodohan kami. Hingga tanpa sepengetahuanku dan semua orang, Hesti selingkuh dengan mantannya itu. Ibunya yang mengetahui itu shock dan meninggal, setelah baru 3 bulan ibunya meninggal, usaha butik keluarganya bangkrut, hingga papa Hesti terkena serangan jantung dan meninggal. Hesti terpukul, selepas dia melahirkan Miko, dia langsung meminta cerai dariku." Edwin menjeda kalimatnya, dia melirik istrinya yang sedang menatapnya, istrinya terlihat seakan belum puas dengan penjelasannya.
"Apa kamu langsung menuruti permintaannya untuk bercerai denganmu?" Tanya Zia, ragu.
"Tidak, aku bertanya sekali lagi apakah dia serius atau tidak meminta cerai dariku? Dan dia menjawab iya dengan lantang. Akhirnya kita berpisah dengan syarat jangan sampai Miko tahu bahwa dia adalah ibunya."
"Kenapa?" Sahut Zia, cepat.
Edwin tersenyum miris, "Dia ingin hidup tenang bersama mantan pacarnya dulu tanpa gangguan Miko. Tapi setelah mereka menikah hampir 1 tahun, mereka tidak di karuniai anak. Mungkin itu yang disebut karma, karena Hesti menelantarkan Miko begitu saja ketika dia baru lahir. Kata orang kalau kita belum dikaruniai anak, kita harus mengadopsi atau mungkin merawat anak orang lain dulu supaya tuhan cepat memberi kita keturunan. Hesti melakukan itu, dia datang setiap hari ke rumah ini dengan mengatakan bahwa dia adalah saudara jauhku. Tapi semua usahanya sia-sia, dia tetap belum di kasih keturunan. Hingga dia mengajukan surat hak asuh anak, kita berperang di pengadilan hingga aku menjadi pemenangnya. Setelah itu dia tidak lagi datang ke rumah ini, aku sampai kebingungan karena Miko terus menanyakan dia. Hingga aku mengantarkan Miko ke rumah mantan pacar Hesti yang sudah menjadi suaminya itu, dia adalah rekan kerjaku. Tapi kata tetangganya, Hesti sudah digugat cerai suaminya gara-gara tidak bisa memberi keturunan. Sedangkan suaminya sudah menikah lagi di beberapa Minggu lalu dengan anak kolega bisnisnya. Semenjak Hesti tidak pernah lagi memperlihatkan batang hidungnya, Miko sering sekali menangis, hingga kamu hadir di kehidupan kami." Edwin mencium kening istrinya dengan penuh sayang.
"Tapi bagaimana bisa Mbak Hesti kecelakaan?" Tanya Zia, penasaran.
"Gak tahu, itu bukan urusan kita. Aku hanya menolong dia, selebihnya itu urusan dia sendiri." Edwin mempererat pelukannya pada tubuh sang istri.
"Oh ya, kenapa Ema terlihat sangat membenci Mbak Hesti?" Lagi-lagi Zia bertanya kepada Edwin yang baru saja ingin memejamkan matanya. Edwin terkekeh, dia mencubit gemas hidung istrinya.
"Besok lagi ya sayang ceritanya, aku ngantuk." Edwin menarik selimutnya untuk menutupi tubuhnya dan tubuh Zia.
"Gak mandi?" Tanya Zia, sambil memukul pelan tangan suaminya.
"Aku gak mandi juga dari tadi kamu mau aku peluk." Jawaban Edwin membuat Zia mendengus pelan.
®®®
Hari ini cerita HOT DADDY ubdate ya kak...., Jangan lupa vote dan commen. Tinggalkan jejak kalian, sehingga author jadi semangat nulis. Terimakasih🙏🙂
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT DADDY 1 (TAMAT)
RomanceWARNING!! 21+ "Besok umur mu sudah 6 tahun, sayang. Apa yang kamu inginkan dari Daddy?" Edwin berjongkok di depan putra kebanggaannya. Miko, anak laki-laki itu menatap Daddy nya malas. Dia meletakkan heandpone mahal yang Daddy nya belikan sewaktu di...