2. Dekat dengan Febryan
"Emang ya, paling nggak enak itu kalau kagum sama orang diam-diam. Dia ngasih perhatian, kita makin berharap. Dia nggak nyapa sehari di kira ada masalah. Emang udah paling bener kalau kagumnya sama diri sendiri."
Detik waktu pun tergantikan, detak jantung yang sebelumnya menjadi irama yang menarik perhatian sampai saat ini belum dapat dihilangkan. Nana terkejut bukan main, kala melihat Febryan berjalan ke arahnya dengan langkah pelan. Waktu seolah melambat, ketika langkah itu semakin mendekat.
Hingga sampailah Nana di tempat ini, di ruangan dengan ukuran 8,5×3,5 meter itu ia berdiri. Memperhatikan Febryan yang sibuk dengan beberapa buku besar di tangannya. Nana hanya memaku, melangkah untuk mendekat saja ia rasa sudah tidak mampu.
Atensinya tak kunjung ia bawa menghilang, dalam diam ia mengagumi sosok itu semakin dalam. Bahkan degup jantung yang sedari tadi menjadi irama konstan membuatnya gugup untuk sekedar membuka pertanyaan.
Namun, ketika netra legam yang menghanyutkan itu balas menatap. Dengan cepat atensinya ia bawa pergi jauh melayang. Nana hanya mampu menunduk, memperhatikan sepasang sepatu yang kini lebih menarik perhatian. Sesekali ia meneguk selivanya sendiri, berharap dapat mengurangi rasa gugupnya yang kini sedang melanda diri.
"Lo kenapa? Sakit?"
Refleks Nana mendongakkan kepala, memandang sosok di hadapan yang sekarang tengah memperhatikan. "G-gue, nggak papa kok, kak." Nana tersenyum kikuk setelahnya, berharap Febryan percaya bahwa ia sedang baik-baik saja.
Febryan justru mengernyitkan kening binggung, ia kembali menatap Nana dengan intens. "Lo, beneran nggak papa 'kan?" Lantas Febryan terkekeh setelahnya, sembari mengusap kepala Nana dengan acak. "Muka lo, merah tuh." Tidak sampai di situ lelaki di hadapannya sekarang justru mencubit Pipi kanannya dengan gemas. Lalu kembali fokus menatap beberapa buku besar di tangannya.
Mendapat perlakuan mendadak seperti itu, membuat Nana kembali memaku. Jantungnya kembali berdegup dengan irama tak menentu. Mendapatkan perlakuan tak terduga seperti ini masih sulit Nana percayai. Untuk meyakini bahwa yang ia rasakan saat ini bukan mimpi, tanpa sepengetahuan Febryan, ia mencubit tangannya sendiri. Seketika dirinya terkejut bukan main, ketika rasa sakit itu dapat ia rasakan. Nana terkekeh pelan, bahagia ketika insan yang selama ini ia kagumi tengah berdiri nyata dihadapan.
"Jadi gini, gue tadi habis ketemu sama Pak Rusdi. Beliau ngasih tau, katanya ada beberapa koreografi yang harus diubah, dan ada beberapa gerakan yang menurut beliau nggak sesuai sama ketentuan. Jadi, gue mau ngasih ini sama lo, di situ ada beberapa gerakan yang udah gue lingkarin. Ya, lumayan banyak sih. Tapi gue yakin, lo sama anak-anak yang lain pasti bisa, kok." Febryan menyerahkan beberapa buku besar itu kepadanya, sembari tersenyum menyemangati.
Nana menerima buku itu sambil membalas senyum. Setelahnya, ia menghela napas pelan. Sejauh ini, menjadi seorang leader dance di ekskulnya tidak membuat ia merasa terbebani. Tapi, akhir-akhir ini ia merasa kurang maksimal menggarap ekskulnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Different Feelings
Teen Fiction[Revisi setelah tamat] ATTENTION!! Don't Plagiat! No Plagiat! Cerita ini hanya berada diakun milik @karyaudaa_. Tidak ada unsur mengcopy cerita milik orang lain. Bagi Nana, semesta itu jahat. Tidak indah dan sangat tidak menyenangkan. Bagi Rescha, d...