🌸 CHAPTER 58 🌸

100 31 84
                                    

58. Penyesalan

"Banyak sudah yang terjadi, banyak sudah yang menjadi saksi. Kini yang bisa dikenang adalah bagaimana menyaksikan orang-orang pergi, lalu menyesal karena gagal melindungi."

Tidak ada yang pernah tahu akan seperti apa kehidupan kita selanjutnya, akan seperti apa kedepannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak ada yang pernah tahu akan seperti apa kehidupan kita selanjutnya, akan seperti apa kedepannya. Semua hal yang terjadi memang bukanlah perkara yang mudah untuk dijalani. Setiap orang punya masanya, setiap orang punya jalan masing-masing untuk bisa kembali pada kata pulang. Entah mau lewat jalur yang mana bukan Kita yang menentukan, karena yang bisa kita lakukan adalah menerima dan menjalankan. Ingin menolak semua takdir yang diberikan pun percuma saja karena kita hanya bisa merencanakan, sementara takdir punya kenyataan.

Berat rasanya jika lagi-lagi harus ditinggal pergi. Meski bukan yang pertama kali, tapi semua berharap bahwa tidak akan ada lagi. Bukankah akan lebih baik untuk terus bersama, menikmati momen yang ada. Tapi, meski begitu Tuhan punya jalan tersendiri untuk menciptakan rasa bahagia. Meski sudah tidak bisa lagi merasakan semua hal bersama-sama, akan tiba saatnya kita akan merasakan bahagia. Lebih besar dari yang kita harapkan di kepala. Kita layak untuk kecewa, kita boleh marah. Lantas apakah kita bisa terus membenci dunia?

Seperti yang dilakukan Rescha sekarang, dengan noda darah dimana-mana ia duduk sembari bersandar meruntuki diri yang masih gagal menjaga seseorang yang amat ia sayang. Setelah insiden penembakan, Rescha kalut seolah dunia berhenti berputar. Bahkan ketika ia datang mendekati tubuh Nana yang sudah tidak sadar. Lalu bagaimana dengan Arka dan Febryan? Rescha bahkan tidak memperhatikan ketika polisi datang dan menyeret Arka untuk pergi dari sana. Sementara Febryan kini tengah berdiri tidak jauh dari tempatnya sembari memperhatikan.

Rescha tidak peduli dengan keberadaan lelaki itu, karena sekarang yang ada dipikiran hanya Nana seorang. Rescha sudah menghubungi orang tua Nana dan mengatakan akan segera datang, serta menghubungi beberapa teman-teman. Meski situasinya sedang sulit sekarang, Rescha tidak bisa menyembunyikan semua ini sendirian. Setidaknya ia butuh seseorang untuk memberikan kekuatan. Meski ia berusaha meyakinkan diri bahwa Nana akan baik-baik saja.

Tidak lama terdengar suara berisik dari lorong rumah sakit yang menarik perhatian banyak orang. Di sana sudah berlari keempat teman-teman dan juga orang tua Febryan. Bukan Rescha yang memanggil mereka, melainkan Febryan. Ia tidak paham kenapa Febryan melakukan hal demikian. Namun lagi-lagi ia tidak peduli dan kembali menundukkan kepala dalam-dalam. Melihat ke arah noda darah yang sudah hampir mengering di telapak tangan.

"Bagaimana kondisi, Nana?"

Rescha kembali melemparkan atensi ke arah pria paruh baya yang masih asing di indra penglihatan. Lantas Febryan, bersuara menjelaskan kebingungan. "Dia bokap gue ... sekaligus bokapnya, Nana." Rescha lantas mengernyit kebingungan, ia kemudian berdiri menatap Febryan dalam-dalam. Sedangkan sang empu langsung mengalihkan perhatian, dan menatap sang Ayah yang kini tengah panik bukan kepalang. "Nana lagi diperiksa di dalam, Papa nggak usah khawatir Nana bakal baik-baik aja, percaya sama Febryan." Pria paruh baya itu kemudian berjalan mendekati pintu ruangan dengan tatapan nanar, lagi lagi ia merasa menjadi orang tua yang gagal.

Different FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang