Tak sama

417 32 4
                                    

Semua tak sama, tak akan pernah sama. Kini sudah berbeda, Chika bukanlah kekasih Alden. Dia tidak bisa marah, protes maupun melarang Chika dekat siapa saja karena statusnya mantan. Chika bebas memilih siapa saja, dan itu cukup membuat Alden sadar diri. Sudah jelas malu yang di dapat di tanggung sendiri, malu kalau Chika jauh lebih memilih musuhnya. Semua temannya merasa tidak menyangka dengan Chika. Banyak yang mengiring opini mengatakan bahwa selama ini Chika hanya berpura-pura untuk mencari informasi tentang Alden, Imbra menyuruhnya mempermainkan Alden. Ini bukan salah gadis itu, ini salah Alden sendiri, melepas Chika demi Olif. Tapi Alden penasaran, apa Chika benar sedang menjalin hubungan atau ada unsur lain. Ingin bertanya ngengsi, tidak bertanya ya beginilah.

Alden berjalan gontai di koridor sekolah, hari ini dia terlambat masuk. Pak Muluk tidak memberi belas kasihan sama sekali, dia memberikan hukuman menyirami bunga yang ada di kelas sebelas. Padahal tangan Alden  belum pulih, susah payah dia menyiram bunga hanya menggunakan satu tangan.

"Butuh bantuan?" kata seorang wanita kepada Alden, dia menoleh ke arah si empu. Chika? Wanita cantik memberikan senyuman termanis, Alden mematung di posisi, apalah ini mimpi?

"Chika?" kata Alden memastikan siapa yang di hadapanya saat ini, wanita yang dirindukan.

"Sini, Chika bantu" katanya menarik gembor siraman bunga dari tangan Alden. Pandangan Alden kepada Chika tidak putus sedari tadi, entah apa yang dia rasakan saat ini. Seperti bunga yang baru mekar.

Tangan itu mahir menyirami tanaman, tidak seperti Alden yang banyakan tumpah keluar pot dibandingkan di dalam.

"Selesai" katanya.

Alden tersadar, bola mata mereka bertemu. Namun hanya beberapa detik Chika langsung mengalihkan pandangan, mengisyaratkan dia tidak sanggup memandang.

"Chika ke kelas dulu, Al" katanya menepuk lengan kanan Alden, sekilas matanya melirik gips.

"Ci, makasih untuk semuanya dan soal kak Feby, dia minta maaf" katanya.

"Dan semoga lu bahagia, sama pilihan lu sekarang! Gue gak rela, Ci! Tapi gue cukup tau diri" sambungnya, kehilangan kata-kata bagi Chika ketika mendengar kalimat itu. Berat rasanya untuk bicara, yang dia tau sekarang dia ingin menangis. Dia melirik Alden yang diam menunduk, Chika tersenyum. Kemudian Chika benar-benar pergi meninggalkan Alden di koridor sekolah. Bagi Alden kini, Chika? Udah berubah? Gak seperti Chika yang dulu.

Dia berusaha sekuat tenaga tegar dan tidak bersedih lagi untuk laki-laki itu, dia yang sedang berlari menuju toilet sekolah, disana dirinya menangis sekuat tenaganya berharap tidak satupun mendengar. Sebelumnya Chika permisi untuk ke toilet, tetapi saat melihat Alden kesusahan menyirami bunga membuat hatinya merasa sakit dan iba. Cukup lama dia berfikir sampai akhirnya memberanikan diri menawar bantuan, Chika lemah bertemu pria itu. Apalagi tatapan sendunya, semakin membuat Chika hancur. Ingin rasanya memeluk Alden, tapi sudah tidak mungkin lagi. Dia tidak tahan, tidak mau menangis dihadapannya. Menghilang atau berlari detik itu juga adalah pilihan terbaik.

***
"Kapan lu bisa lepas sih!" katanya menggerutu ke gipsnya sendiri. Keadaan seperti ini membuatnya terlihat lemah dan Alden tidak menyukai itu.

"Udahlah, sini ngerokok dulu" ucap Didot menawarkan rokok mahalnya.

Tidak peduli sama sekali, Alden memilih memakan gorengan yang ada di depannya.

"Bagi, Al" kata Jack meminta gorengan Alden.

"Miskin lu!" ledeknya.

30 Hari Bersama Alden [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang