Demi Kebahagiaan Alden

359 25 0
                                    

Sebelum baca, alangkah baiknya berikan dukungan kamu terlebih dahulu. klik bintang dan jangan lupa comment juga ya, happy reading!❤❤❤😘

.
.
.
.

"Ada gue disini, jangan takut" kata Alden menarik Olif kedalam pelukannya.

"Kita selesaikan sekarang!" ucapnya kepada Bayu dan berusaha berdiri dalam posisi berpelukan.

"Seharusnya dari tadi"

"Ini urusan kita, jangan bawa-bawa Olif!" Bentaknya.

"Jika kamu tak melawan saya, mungkin semua akan lancar tanpa ada yang terluka. Lagian apa susahnya bertemu ibumu sendiri"

Perkataan Bayu tak di ubris sama sekali, dia berjalan melewati Bayu keluar dari markas terkutuk itu. Jelas Alden sudah mengetahui arah tujuannya, menyelesaikan segalanya agar tidak lagi menjadi mimpi buruk.

Olif selalu berada di samping Alden saat pergi dan tibanya di rumah sakit yang dikunjunginya waktu lusa.

Sesampainya di depan ruangan pasien Bayu langsung membukakan pintu dan menarik tangan Olif agar tidak mengikuti Alden.

"Masuklah" ucapnya tanpa melirik Alden.

Sebelum membuka pintu mata Alden monoleh sekilas ke arah Olif yang terdiam dengan mata berkaca-kaca, kepala Olif mengangguk mengisyaratkan semua akan baik-baik saja.

"Jangan macam-macam ke dia" kata Alden penuh penekanan.

Bayu tak membalas justru matanya mengarah kepintu menyuruh Alden agar bergegas.

Secara perlahan tangannya membuka pintu, sebelumnya dia mengatur pernapasan biar stabil dan tidak struk mendadak. Untuk pertama setelah sekian lama, sudut bibirnya terangkat bukan karena bahagia tapi senyuman kecut yang mengartikan kemirisan.

Aroma yang sama seperti sebelumnya, obat-obatan bercampur lavender. Sejak kapan ibunya menyukai bunga lavender? Satau Alden dahulu ibunya menyukai wangi melati. Alden menggelengkan kepalanya dengan cepat "Gue harus sadar, semua sudah berbeda!". 

"Ka-.... Kamu Alden?"

Dia tersadar ketika suara lembut dengan serak khas orang sakit menyebut namanya. Alden tertegun, siapa saja tidak akan munafik! Jujur Alden ingin menangis detik itu juga ketika melihat wanita terbaring lemah dengan bantuan alat pernasan berusaha berbicara padanya. Alden melangkahkan kakinya mendekati ranjang itu, dulu ibunya masih terlihat muda dan cantik tapi kini wajahnya berubah drastis. Kulit yang dulu putih berseri kini tampak pucat seperti tak pernah terkena sinar marahari.

"Alden....." Panggilnya dengan linangan air mata.

Mirna berusaha duduk sekuat tenaganya, namun dengan cepat Alden mencegah dan mengarahkan agar ibunya kembali berbaring.

Tangan yang terasa dingin menggenggam erat tangan Alden, suara tangis Mirna terdengar di penjuru ruangan.

"Sayang, mama rindu sama kamu,...." ucapnya tersendu-sendu.

Mirna meraba-raba lengan Alden yang mulai kekar seperti bintang Bollywood.

"Sekarang kamu udah besar, Al"

Mirna sangat merasa bersalah meninggalkan putra kecilnya, mengapa dia tidak bisa mempertahankannya demi anak. Pasti selama ini Alden sangat membutuhkan sosok ibu, jadi selama ini siapa yang menemani Alden tidur ketika mati lampu. Mirna sangat ingat saat Alden menangis ditengah malam dan mengetuk pintu kamarnya, bocah kecil yang pobia kegelapan itu sudah tumbuh besar.

Mungkin karena tak kunjung mendapat respon dari Alden yang sedari tadi diam tak berkutik membuat Mirna tak kuasa kembali menangis, walaupun dadanya sudah sangat sesak karena penyakit yang di deritanya beberapa bulan terakhir.

30 Hari Bersama Alden [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang