8

37 7 0
                                    

~JAZ - KASMARAN~

Memang ya, orang yang kasmaran sama nggak tuh beda. Yang satu senyum-senyum sendiri. Eh, satunya lagi justru terabaikan. Dan ya, itu memang nasib. Tidak ada yang tahu selain Allah Swt. So, serahkan saja semua urusanmu kepada-Nya. Insyaallah, Allah akan memberikan yang terbaik untuk kita ke depannya. Aamiin

•••

Paginya, di jam pelajaran pertama, aku disuruh Bu Andin untuk mengambil buku tulis Biologi kelasku di Ruang Guru. Tentu saja, hari ini aku tidak terlambat sekolah. Karena setelah melaksanakan Sholat Subuh, aku tidak kembali tidur. Justru, aku memilih untuk mandi dan belajar memasak.

Yah, bisa dibilang kalau aku tidak pandai memasak. Ingat, ya! Tidak pandai. Bukan berarti tidak bisa. Aku bisa kok masak makanan. Seperti, telur rebus, mie instan, spageti bumbu jadi, dan sarden. Walaupun gerakanku tak setelaten Bang Tyo ketika terjun ke dunia permasakan.

Jika kalian membandingkan kehebatanku dengan Bang Tyo, kalian pasti mengira jika kami memiliki perbadingan 9:10. Tapi, kalian salah besar! Kehebatankau dengan Bang Tyo itu memiliki perbandingan 9:100. Kenapa aku berpikir seperti itu? Karena memang kehebatan Bang Tyo itu tidak ada tandingannya. Ia bahkan bisa memasak masakan Jepang, Italia, Inggris, dan berbagai masakan luar negeri dengan sangat sempurna. Itu terbukti dengan lidahku sendiri.

Aku pun juga pernah memberi Bang Tyo saran agar dia mendaftarkan diri sebagai seorang koki terkenal. Namun, apa yang aku terima? Penolakan. Ya, dia menolak saranku dan lebih memilih untuk mendaftarkan diri sebagai pekerja kantoran. Ia tak ingin jika waktunya bersamaku nanti berkurang dan berakhir dengan mengacuhkanku.

Aku yang mendengarnya pun terharu dan merasa bersalah. Merasakan jika aku adalah penghambat impian Abangku, yang tercipta sejak masa TK itu. Namun, aku bisa apa? Itu sudah keputusannya dan aku tidak bisa menolaknya. Dia kepala keluarga sekarang. Dan sebagai anggotanya, hanya bisa mematuhinya.

Aku keluar dari Ruang Guru sembari membawa buku tulis. Berjalan dengan santai, hingga menemukan seorang cowok tengah hormat bendera sembari menaikkan kakinya. Anehnya, di atas pahanya itu diletakkan sebuah ember berisikan air. Tidak banyak sih, tapi cukup berat. Aku pun berjalan tepat di hadapannya. Ingin sekali menertawakannya tapi aku harus menahannya.

Seakan sadar akan keberadaanku, ia menoleh dengan mata tajam. Menatap sadis ke arahku seakan-akan ia siap untuk menerkamku. Aku menyengir dan melambaikan tangan bak model sedang fashion show. Melenggang pergi sembari terus menggodanya. Ia mendesis kesal dan meletakkan kakinya begitu saja. Membuat ember berisi air penuh itu terjatuh di tanah.

"Oqi! Naikkan lagi kakimu!" Terdengar suara melengking dari lantai 2.

Aku mendongak dan menemukan seorang wanita paruh baya sedang membawa kerikil dan tongkat besi di tangannya. Ia pun melemparkan kerikil di tangannya ke kening Oqi membuat ia meringis sakit.

"Cepat! Kembali ke hukumanmu!" perintahnya dan kembali bersiap untuk melemparkan kerikil itu lagi. Tatkala Oqi tak kunjung mematuhinya.

Dengan cepat, Oqi menaikkan kakinya dan kembali hormat. Kali ini, tanpa menggunakan ember. Toh, embernya saja sudah kosong melompong tak berisi. Masa iya, mau dipake? Kan tidak berpengaruh.

Kali ini, aku tersenyum senang dengan raut wajah penuh kemenangan. Tentu saja, ia tak terima dan memberikanku tatapan mengancam. Aku menaikkan bahu tak peduli dan mulai menaiki tangga menuju lantai 2.

Sesampainya di atas, aku segera berbelok ke arah kiri dan masuk ke dalam kelas 12 IPA 1. Meletakkan buku-buku tulis itu di atas meja guru dan duduk di kursiku.

HINDER (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang