13

31 5 3
                                    

VOTE AND KOMEN YANG BANYAK🔥

HAPPY READING

~POTRET - BAGAIKAN LANGIT~

Senyummu mendamaikan diriku dari kegundahan hati dan kekacauan dunia. Mengalihkan atensi dan menjeratku ke dalam pesonamu. Sangat teduh

•••

"Alo, Tante," sapa Alven tatkala aku tiba di dekat mereka.

"Alo, Sayang," jawabku sembari mencium kedua pipi gembul Alven.

Alven pun tersenyum senang sembari mengayun-ayunkan kedua kakinya. Sementara Oqi tampak acuh tak acuh dengan kedatanganku dan memilih untuk memainkan iPhone. Aku mencebikkan bibir kesal dan memilih untuk duduk di sebelah Alven.

"Permisi, Mas. Ini gulalinya."

Aku mendongak dan menatap wajah sang pedagang. Huh, kukira Bapaknya masih muda. Ternyata sudah berkepala 3.

Oqi mengulurkan selembar uang bewarna orange, membayar pesanannya. Namun, aku masih terus memandangi penjual gulali tersebut tanpa berniat untuk mengalihkannya. Toh, itu lebih baik dari pada harus memandangi wajah arogan Oqi. Sudah keren, ganteng, ramah lagi. Tidak kayak Oqi, tukang nyebelin bin sombong!

"Gak usah dilihatin muluk. Gue udah laper," sindir Oqi pedas. Membuatku menoleh dengan wajah polos.

"Hah? Maksudnya apa?" selorohku pura-pura tak mengerti. Sengaja menjebaknya.

Namun, bukannya menjawab, Oqi justru menggandeng tangan Alven dan meninggalkanku begitu saja. Huh, ditinggalin lagi. Sabar-sabar. Tak mau berlama-lama lagi, aku pun segera menyusulnya dan masuk ke dalam warung makan dengan bertendakan biru itu.

"Wah, Alven dapat apa? Banyak banget," ucap Bu Yun dengan nada gembira. Aku yang mendengarnya pun terharu.

Ternyata, membahagiakan orang tidaklah sulit. Cukup membahagiakan sosok yang ia cintai, maka ia sendiri akan turut senang dalam kebahagiannya. Jadi, seperti itukah yang dirasakan kedua orang tuaku dan Bang Tyo ketika aku tertawa senang atas pemberian mereka. Ya Allah, aku merasa bersalah. Karena tidak bisa membuat mereka bangga dan bahagia tanpa harus memberikanku sesuatu.

Aku merasa gagal menjadi seorang anak dan adik dari keluarga ini. Tidak ada badai, tidak ada hujan, air mataku kembali luruh diiringi dengan isak tangis. Dengan cepat, aku memalingkan wajahku dan segera duduk di kursi. Tak aku hiraukan lagi tatapan dari para pengunjung warung. Aku menghela napas dan menunduk. Menyembunyikan wajah sembabku. Hingga keningku merasakan sesuatu yang keras. Aku yang hendak mendongak pun ditahan.

"Sstt ... Sudah, lo cukup nenangin diri aja. Gak usah peduliin bahu gue."

Jadi, aku sedang bersandar di bahu Oqi? Ta—Tapi ... Tidak! Untuk saat ini, aku manfaatkan dulu kebaikannya. Dan memang itulah yang aku perlukan sekarang. Aku pun tersenyum dan memeluknya erat. Mencari kehangatan dan kenyamanan dari tubuh hangatnya. Setelah dirasa tenang, aku pun melepaskannya dan menghapus jejak-jejak air mataku.

"Terima kasih," ucapku parau. Aku mengedip-ngedipkan mataku. Berusaha menyingkirkan air mata yang masih menempel di kedua mataku.

"Gak usah sedih, gue selalu ada di sisi lo."

Deg

Apa? Aku mendongak dan menatap dalam iris hitamnya. Mencari ketulusan di dalam sana. Dengan cepat, aku pun mengalihkan pandanganku. Ketika merasakan jantungku bertalu lebih cepat dari biasanya.

HINDER (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang