21

23 3 0
                                    

~JEFF BERNAT - CALL YOU MINE~

Apa pun yang terjadi, aku akan selalu bersamamu dan menjadi tamengmu dimana pun kamu berada. Karena aku adalah belahan jiwamu

•••

"Soal pertunangan kita, aku janji kok bakalan nepatin itu. Tapi, Aku mohon, ketika saat itu benar-benar datang, kamu jangan tolak permintaanku. Karena entah apa jadinya aku nanti, jika kamu sampai menolakku. Mungkin aku akan sakit hati dan jatuh sakit nantinya," racaunya tanpa pikir panjang.

"Eh?" Aku terpengarah dengan wajah melongo. Drama apa lagi ini? Apakah pernyataanku tadi masih belum membuatnya puas dan senang? Aduh, ada-ada saja pacarku ini. Bikin gemas, aku tampol.

"Oh ayolah ... Jangan telmi napa? Jarang loh gue bersikap romantis kayak gini," ucap Oqi penuh dengan nada dan gambaran keputusasaan. Tak bisa menahan diri lebih lama lagi, akhirnya tawaku pun meledak. Membuatnya mendesis dan kesal bukan main. Oqi tampak mencebikkan bibirnya dan bersedekap. Berbalik dan mengabaikanku.

"Utututu ... Bebepku ngambek nih? Sini ... Aku elus-elus," manjaku sembari mengelus-elus pipinya. Oqi meraih kedua tanganku dengan air muka sama.

"Elus manja, ya?" pintanya dengan mata berkedip-kedip.

"Ih ... Lebay banget sih!" Aku menarik kedua tanganku dan memukul perutnya pelan.

"Btw, kok tumben pake kata aku. Acie ... Udah mulai taken nih hatinya ye. Udah gak sabar jadi istriku, ya?"

"Nggak kok!" tolakku dengan pipi bersemu merah.

"Sok-sokan banget sih. Gitu aja gak mau jujur," pancingnya lagi. Aku pun mengalihkan pandanganku. Tak berniat untuk memandanginya. Hingga-

Cup

"Cie ... Salting abis dicium," goda Oqi setelah berhasil mencium pipi kananku. Shit! Berani-beraninya dia menggodaku. Oh my God! Lama-lama, aku harus ke dokter nih. Memeriksakan detak jantungku. Apakah masih bekerja dengan baik atau tidak.

"Apaan sih? Udah deh! Aku pergi aja. Bye!" Aku melepas genggamanku dan berlari menjauh. Meninggalkan Oqi yang masih tertawa.

"Hei, jangan ngambek dong manis ...."

Terdengar suara gesekan sepatu dan aspal yang perlahan mendekat ke arahku. Bahkan, aku bisa merasakan jika gesekan itu sangat cepat. Mugkinkah Oqi sedang berlari? Aku menoleh dan menemukan Oqi yang sudah berada satu langkah lebih jauh dariku. Sebenarnya, dia burung unta atau apa sih? Cepat sekali larinya.

"Ih, gak usah manggil-manggil gitu!" kesalku ketika ia berhasil meraih tanganku dan memberhentikan langkahku.

"Terus, maunya dipanggil apa, Honey? Moon?" tawar Oqi dengan mata berkedip nakal.

"Oqi ...!" kesalku kembali. Kali ini dengan bentakan. Tak kupedulikan lagi rumah-rumah yang ada di sekitar kami tatkala mereka akan terganggu akan pertengkaran kami nanti. Oqi pun tersenyum dan mengeratkan genggaman kami. Kembali menautkan jemari kami dan memasukkannya ke dalam kantong celananya.

"Udah, biar begini aja. Kan udah cocok tangannya. Ngapain juga dipisah? Kasihan nanti."

"Kasihan gimana?" tanyaku kebingungan. Tidak paham dengan gombalan receh andalannya.

"Ya kasihan aja nanti kalo salah satunya sendirian. Ngjomlo! Nanti tahu-tahunya ada tangan berdosa yang gantiin. Mana ukurannya gak cocok lagi! Kan gak enak dipandang gitu," alibi Oqi menyangkal sebuah fakta jika ia tak ingin melepaskanku. Ah, sweet banget sih dia. Nggombal aja pakai alasan murahan begitu. Dasar cowok bergengsi tinggi!

HINDER (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang