22

19 2 0
                                    

~CAN'T TAKE MY EYES OF YOU - JOSEPH VINCENT~

Apapun yang kamu mau, aku pasti akan memberikannya untukmu. Sekalipun itu adalah organ tubuhku. Aku rela memberikannya kepadamu. Sebagai bukti cintaku padamu

•••

Aku memakai parfum favoritku dan segera beranjak keluar dari kamar. Menghampiri 2 lelaki jangkung yang tengah berbincang ria di meja makan. Melupakan keberadaan diriku. Tak mau mengubrisnya lebih lanjut, aku pun meraih 2 helai roti dan mengoles selai cokelat di dalamnya.

Hum ... Rasanya enak. Aku pun bersiap memasukkan roti itu ke dalam mulutku. Akan tetapi, sebuah tangan memberhentikan pergerakanku. Aku merutuk kesal dan menoleh. Menemukan Oqi yang tengah merebut roti itu dari genggamanku dan mendorong sepiring nasi beserta lauk pauk di sana. Mulai dari sayur, ayam, dan semangkok potongan buah-buahan yang baru saja disodorkan olehnya. Aku mencebikkan bibir kesal dan menoleh. Menatapnya setajam mata elang.

"Oqi ... Gue kan maunya makan roti. Gak mau makan ini," kesalku sembari mendorong semua makanan itu.

"Ekhem, Abang duluan, ya. Jaga diri baik-baik," pamit Abang sembari mengecup keningku sekelas dan berlalu keluar begitu saja. Meninggalkan diriku bersama Oqi. Huh, dasar Abang! Di saat aku mau mengadu kepadanya, ia justru pergi begitu saja dari hadapanku. Benar-benar mengesalkan!

"Oqi ...," rajukku lagi ketika ia tak menyuarakan suaranya. Oqi justru melahap roti kesukaanku dan menatapku sinis.

"Makan!" perintahnya sembari menujuk seluruh makanan yang ada di hadapanku.

"Gak mau!" tolakku lagi. Aku yang hendam meraih sebungkus roti tawar pun lagi-lagi harus menangkap angin saja. Kenapa tidak? Oqi sudah terlebih dulu meraih bungkusan itu dan meletakkannga jauh-jauh dari jangkauanku. Layaknya orang tua dan anak saja.

"Oh, ayolah Oqi .... Gue mau—"

"Aku-kamu! Gak usah manggil itu lagi. Aku gak suka. Kecuali kita ada di area sekolah. Aku gak masalah," terang Oqi pamjang lebar. Aku mendengus dan bersedekap. Tak kupedulikan lagi keberadaanya di sana. Bagiku, ia hanyalah angin lalu.

"Ayolah, Moon. Ini demi kebaikanmu juga. Aku tahu kamu punya mag."

"Dari Bang Tyo?" Oqi terdiam dan mengerutkan kening. Tak paham dengan pertanyaanku.

"Ck, lo. Eh, kamu tahu aku punya penyakit itu dari Bang Tyo?" ucapku menjelaskan. Seakan-akan sedang mengajari anak berumur balita.

"Menurutmu, aku mengetahui itu dari siapa lagi?" Aku memberengut dan menatapnya malas. Menarik piring yang ada di hadapanku dan mulai menikmatinya.

Hum ... Rasanya sangat nikmat. Apakah ini masakan Bang Tyo? Tapi, bukankan persediaan daging di kulkas sudah habis sejak sepekan lalu? Lalu, masakan siapa ini?

"Gak usah mikir aneh-aneh. Cepat habiskan!" perintah Oqi sembari meraih sendok dari tanganku. Mengisinya dan mengarahkannya ke arahku. Aku terdiam sebelum akhirnya melahapnya. Mengunyahnya perlahan dan menelannya. Sembari berpikir apakah Oqi telah sarapan atau belum. Selain memakan roti buatanku.

"Kamu udah makan?" tanyaku dengan nada kikuk. Oqi mengulas senyum dan tak merespon ucapanku. Ia kembali fokus dengan piring yang ada di hadapannya dan kembali menyuapiku. Namun, aku mencegahnya dan mengambil alih sendok itu.

"Hei, kamu kan belum—"

"Bagaimana dengan dirimu sendiri? Kamu bahkan gak peduli dengan kesehatanmu sendiri. Sedangkan ada seseorang yang amat mengkhawatirkanmu dan tak ingin kamu kenapa-kenapa nantinya."

HINDER (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang