39

19 1 0
                                    

~ STEPHANIE POETRI - I LOVE YOU 3000 ~

Perpisahan bukanlah akhir dari segalanya. Bisa jadi, itu adalah awal dari babak baru yang membawa kita kepada jalan kebaikan. Yang dimana, jalan itulah yang menjadi pilihan terbaik kita dibandingkan jalan yang kita lewati sebelumnya

•••

Tanpa diminta, senin pun datang. Menyapa makhluk bumi untuk segera bangkit dari ranjang dan menjalankan aktivitas. Selayaknya hari-hari pada umumnya. Terkecuali bagi anak siswa atau siswi, yang diharuskan untuk datang lebih cepat dibanding hari lainnya. Memakai atribut dan perlengkapan lengkap. Dan tak terlmbat maupun bolos.

Itulah yang dilakukan olehku. Menganyuh sepedaku secepat kilat. Dengan tangan yang masih diperban rapi. Sesekali menghapus peluh yang tanpa diminta menetes dan membasahi kemeja. Aku pun acuh dan terus menganyuh. Sesekali meringis ketika lenganku bergesekan dengan perban. Memberikan rasa aneh tersendiri.

Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit, aku pun sampai di sekolah. Menatap lekat-lekat gerbang di depanku dan masuk ke dalam. Menyalimi tangan guru-guru dan melesat ke parkiran sepeda.

Sesaat, aku merindukan satu sosok. Yang selama ini menghilang tak menampakkan batang hidungnya di sekolah. Ia justru harus terbaring lemah di kasur rumah sakit selama seminggu full. Meninggalkan kenangan tersendiri untukku. Teriakannya, mobilnya, kelembutannya, tatapannya, ah semuanya. Sulit rasanya hidup tanpa Oqi.

Tapi, mau bagaimana lagi? Sudah takdir-Nya. Memisahkan kami untuk sementara waktu. Sebelum akhirnya benar-benar terpisah. Terpisah di dua negara yang berbeda dengan jangka waktu yang tidak diketahui. Berharap suatu hari nanti Oqi akan kembali dan menepati janji. Janji untuk menikah dan hidup semati. Selamanya.

"Hei, kok nglamun?" Aku menoleh dan menemukan Rivo tengah tersenyum dengan bahu kanan bertengger tas.

"Kok lo udah dateng? Biasanya kan juga belum," heranku.

"Enak aja! Itu kan ... Oqi. Bu—Bukan gue." Rivo memelankan suaranya setelah nama Oqi terucap. Ia menunduk lesu dengan raut murung. Aku yang paham akan hal itu pun tersenyum dan mengajak Rivo masuk.

Belum sempat kami melangkah, seseorang telah lebih dulu mengklakson kami bersamaan sebuah Marcedes Benz C Class melintasi kami. Mobil hitam itu terparkir. Hingga seseorang keluar dari sana. Namun tak lama, suara deru motor sport pun terdengar. Hendak menabrak si pengendara mobil, yang tak lain adalah Ori.

"Shit! Main nabrak aja lo!" sewot Ori berkacak pinggang. Aku menepuk keningku. Yah, mulai deh berantemnya. Benar-benar sohib recok mereka. Tidak pernah absen untuk sekadar adu mulut. Selalu ... Saja ada yang mereka perdebatkan. Benar-benar makhluk somplak!

"Minggir! Gue mau parkir!"

"Enak aja gue yang minggir. Lo aja kalik!"

"Minggir atau gue tabrak!" Ori mendesah jengkel. Memilih mengalah dan melangkah ke kanan. Mempersilakan sang pengendara motor untuk memarkirkan motor sport-nya di sana. Membuka helm full face-nya dan turun dari motor.

Sontak, Rivo dan Ori melongo. Setelah mengetahui siapakah pengendara motor tersebut. Sudah aku duga, pasti dia orangnya.

"Bukannya Kak Nendra udah nglarang lo, ya? Masih aja ngotot. Main bawa si Selly. Gak takut kena omel?" tanyaku kepada sosok tersebut. Jessi—si pengendara—menyibakkan surai hitamnya dan tersenyum.

"Nggak kok, dia ngizinin gue. Gegara dia gak bisa nganter gue ke sekolah. Ya udah, gue ngotot ke dia. Minta dibolehin bawa si Selly."

For information, Selly adalah nama kesayangan motor sport milik Jessi. Motor dengan merk BMW K 1200 S. Luar biasa bukan? Tidak kalah dengan koleksi-koleksi motor sport milik Mak Lorenz. Alias Mama Ori. Benar-benar sekumpulan wanita absurd!

HINDER (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang