24

18 2 0
                                    

~AFGAN & RAISA - PERCAYALAH~

Keabadian hubungan terletak pada kepercayaan. Semakin mereka saling percaya satu sama lain, maka hubungan pun akan terus terjalin hingga maut memisahkan. Walau diterpa badai sekalipun, mereka akan bangkit dan terus mempertahankannya

•••

"Oh my God! Gila! Kemarin lo keren banget, Qi," pekik Ori yang duduk di depanku. Dengan cepat, aku merebut ponselnya. Dikarenakan kepo akut. Aku membulatkan mata selebar mungkin dengan tangan berkeringat dan bergetar. Setelah melihat fenomena di dalam iphone itu. Ih, berani-beraninya dia! Cih, tidak terbayang bagaimana reaksi kaum hawa di sana. Pasti mereka ....

"Ya Allah! Itu—" pekik Jessi sembari memandangi iphone Ori. Aku mendengus dan menjauhkannya dari mata suci nan tak normal milik Jessi.

"Sstt ...." Aku meletakkan telunjukku di depan mulut. Menyuruhnya untuk diam. Tak ingin membahas video itu lebih lama lagi. Sebetulnya, aku masih ingin membahas video itu lebih jauh lagi. Membahas tentang bagaimana reaksi kaum hawa di sana dan seperti apakah rasanya menjadi sorotan kaum khalayak ketika sang pacar tampak tak rela dengan kelakuannya.

"Gila! Oqi lagi pull up lo rekam?" decak Joy tak percaya. Membuatku terkejut dengan tangan masih bergetar. Aku kembali menyantap semangkok bakso di hadapanku tanpa minat. Menusuk-nusuk dan memotongnya kecil-kecil. Seakan-akan aku sedang mengilustrasikan tentang keadaan hatiku sekarang.

"Emangnya kenapa?" polos Ori sembari menatap Joy sepenuhnya. Joy menggelengkan kepala dan menepuk jidatnya.

"Lo suka sama Oqi, Ri? Sampe-sampe, lo ngiler kemarin lihat tubuh berotot Oqi," celetuk Rivo menggoda Ori.

"Fitnah aja sih lo! Masa iya gue gay," gerutu Ori dengan dengusan yang keras. Oqi pun tampak mengacuhkan ketiga sahabatnya. Mengambil iphone milik Ori dari tanganku dan mengembalikannya. Memandangiku dengan tampang dingin dan datar. Aku berusaha untuk mengalihkan pandanganku. Merogoh saku dan-

"Habisin!" perintahnya sembari menatapku terus menerus. Pastinya dengan nada dingin dan datar yang bertahan.

Aku terkejut dan segera meminum minumanku. Menghabiskan seluruh makan dan minumku dengan patuh. Tak ingin berdebat dengannya. Jika ia sudah dalam mode itu. Rasanya sangat menyeramkan mendengar nada-nada sedingin dan sebeku es itu. Seakan tahu aku sudah selesai dengan kegiatanku, Oqi segera menarikku berdiri. Mengajakku untuk berjalan ke luar kantin. Mengundang tanda tanya dari ketiga sahabatnya. Aku hanya bisa menundukkan kepala. Menyembunyikan wajah manisku agar tak terus menerus dipandang oleh orang-orang sekitar. Sebelum akhirnya seseorang berdiri tepat di depan Oqi. Menghadang Oqi agar tidak pergi.

"Ah ... Bebepku. Mau kemana? Kok gandeng-gandeng anak kampungan sih." Aku semakin menundukkan kepalaku. Tak ingin menjawab dan menatapnya lebih lama lagi. Atau hatiku akan semakin teriris. Aku berusaha untuk melepaskan genggaman kami. Namun, kekuatan Oqi lebih besar dariku. Ia justru lebih mempererat dan mencengkeram tanganku. Aku mendesis tertahan.

Oqi kembali melanjutkan langkahnya setelah mendorong kasar gadis dengan nama Willy itu. Aku terkejut bukan main dan hendak meminta maaf kepadanya. Lagi dan lagi, Oqi menarik tanganku dan membawaku menaiki tangga. Menuju sebuah tempat yang begitu asing bagiku. Karena aku tak pernah berani untuk menginjakkan kaki di sana. Dikarenakan rasa ketakutanku ketika melihat ke lantai bawah. Apakah aku fobia? Aku pikir tidak juga. Karena aku berani memanjat pohon. Walau ujung-ujungnya aku ketakutan ketika melihat ke bawah. Yah, bagaimana lagi?

Cklek

Pintu terbuka. Menampilkan sebuah sofa usang yang menghadap ke arah pemandangan kota. Terasa sejuk dan asri. Aku sendiri tak merasakan polusi apapun di sini. Hanya merasakan terpaan angin kencang dan burung-burung berkicau. Benar-benar suasana yang menenangkan. Sangat cocok untuk meredakan pikiran seseorang yang menggunung. Contohnya aku. Atau, mungkin Oqi juga.

HINDER (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang