37

19 1 0
                                    

~ ACHA SEPTRIASA FEAT IRWANSYAH - MY HEART ~

Aku percaya padamu. Dan aku berharap kamu juga mempercayaiku. Tanpa adanya kepercayaan, cinta kita bukanlah apa-apa. Melainkan sebuah kata yang tak akan pernah ada artinya

•••

"Ternyata, nyali lo besar juga ya. Kalah sama nyali gadis gila tadi. Siapa namanya ... Ah, iya. Willy. Bener-bener gadis idaman banget. Kalo gitu, mau gak jadi pacar gue. Daripada sama Oqi, mending juga gue." Gentor meraih daguku. Menarikku ke atas hingga kakiku kembali menyentuh lantai. Ia pun tersenyum nakal dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dan ....

Plak

"Argh."

"Berani sekali lo nampar gue!" berang Gentor tatkala aku berhasil menampar keras pipi kanannya. Tamparan yang sangat menguras tenaga. Tapi, apa yang aku dapatkan. Aku justru mendapatkan goresan dalam di tangan kiriku. Menyusul tangan kananku tadi.

"Gimana? Sakit?" Aku meringis kesakitan dan terduduk. Tak sanggup untuk bangkit berdiri. Cukup meringis di tempat.

Plak

Plak

"Dasar cewek gak tahu diri! Sok suci lagi," sembur Gentor setelah menampar kedua pipiku. Memberikan jejak kemerahan di sana. Bekas dari tangan kotor Gentor. Aku pun mendongak dan menatap nyalang Gentor. Berusaha bangkit berdiri. Namun, lagi-lagi aku terjatuh dan terduduk. Tak memikiki tenaga sama sekali.

"Nyali aja digedein, tenaga kosong. Cih." Gentor meludah ke arahku. Tepat di samping wajahku. Benar-benar keterlaluan! Aku tidak bisa membiarkan ini.

"Argh."

"Mau apa lo! Tangan sakit-sakitan gitu aja mau digunain. Sini, gue potong aja sekalian." Aku menggeleng cepat dan berusaha melepaskannya. Dan ....

Tubuh Gentor terlempar keras ke dinding. Mengeluarkan darah segar dari kening dan lubang hidungnya. Aku terpengarah dan menoleh. Menemukan sesosok lelaki jangkung tengah berdiri tegak di hadapanku.

Apakah dia Oqi? tebakku di dalam hati. Sosok itu pun berbalik dan segera memelukku. Aku menunduk dan membalasnya tak kalah erat. Ah, iya, benar. Ini memang dia. Pangeranku.

"Mana lukamu?" Oqi menarik kedua tanganku dan merobek kemeja sekolahnya. Aku pun mencegahnya. Namun, dia tak mengubrisnya. Ia tetap merobek kemeja sekolahnya yang kusut dan mengikatnya di kedua lenganku secara terpisah.

"Kamu gak papa? Apakah ada yang teruka lagi? Tunggu, rambutmu ...." Oqi menyentuh surai pirangku. Merapikan anak rambutku dan menangkap kedua pipiku. Menatapku dengan mata yang sorot akan kekhawatiran. Aku menitikkan air mata dan menggeleng. Tak percaya jika sosok di hadapanku ini adalah Oqi. Oqi pun kembali merengkuhku erat. Tak membiarkan udara menembus pelukan kami.

"Maafin aku, aku gak bermaksud—Argh!"

"Oqi!" pekikku ketika Oqi jatuh tersungkur di tanah tak sadarkan diri. Tatkala seseorang telah lebih dulu memukul kepalanya. Aku menggeram kesal dan mencari barang di sekitarku. Ah, ketemu. Aku pun mengambil sebuah batu bata yang tak jauh dariku dan melemparkannya ke arah sosok pembawa kayu tadi.

Sial! Dia berhasil menampik seranganku. Membuat batu bata itu hancur berkeping-keping. Aku semakin ketakutan dan berjalan menghampiri Oqi. Berusaha untuk menyadarkan lelaki tersebut.

"Oqi, bangun! Ayolah," ucapku diiringi isakan tangis. Menepuk-nepuk keras pipi kanan Oqi. Berharap agar ia segera bangun dan menghajar Gentor.

"Gak usah berharap lebih. Dia sudah mati."

HINDER (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang