31

13 1 0
                                    

~MAROON 5 - MEMORIES~

Orang tua adalah segalanya. Tanpanya, kita tidak akan menjadi apa-apa. Melainkan seorang manusia yang tak berdaya

•••

Hari demi hari silih berganti, tibalah saatnya kami kembali ke Kota Surabaya. Melepas rindu dan mengucapkan sampai jumpa kepada tanah Raja Ampat dengan kedua mata yang menitikkan air mata, sebelum berangkat menuju bandara. Menunggu jadwal keberangkatan untuk menuju ke Kota Surabaya. 'Tuk kembali menjalani rutinitas sehari-hari kami.

"Ah, rasanya gue gak tega deh ninggalin ini pulau," keluh Jessi sembari menunduk. Meresapi setiap detik perpisahan yang akan datang kepadanya. Aku tersenyum sembari mengelus-elus punggungnya. Lantas merangkul pundaknya dan memberikan pelukan hangat.

"Iya nih, sama. Gue juga masih gak rela pergi dari sini. Jarang-jarang gue bisa lihat panorama super ajib, keren, dan ... Terbaiklah pokoknya."

Pletak

"Lebay, kemarin katanya gak mau ke sini. Eh, sekarang malah gak mau pulang. Plin plan banget jadi orang!" nyinyir Joy pedas setelah memberikan jitakan manis di kening Ori. Ori mencebikkan bibir sembari menggoyang-goyangkan tubuh. Mengundang suara bel yang tercipta dari tas punggungnya.

"Itu kan kemarin, sekarang gue gak mau pulang. Mau nginep di sini."

"Ya udah sana nginep! Tapi, sendiri. Gitu aja repot," cerca Rivo sembari terus mengamati tingkah kedua sahabatnya. Sedangkan Oqi tampak sibuk berbicara dengan seorang ground staff perempuan.

For information, aku bukanlah perempuan tipe pecemburu akut layaknya Oqi. Aku selalu memakluminya dan tidak menganggapnya aneh atau buruk. Tapi, aku justru menganggap itu adalah sebuah perkembangan ketika Oqi berani mengobrol dengan orang lain. Setelah kebisuan dan wajah flat yang selalu ia perlihatkan ke khalayak publik, setidaknya ia sudah bisa menaikkan sedikit senyuman di depan muka umum. Dan ya, itulah yang terjadi saat ini.

Oqi merubah raut wajahnya cepat dan berjalan menghampiri kami. Memberikan tiket kami masing-masing dan menyuruh kami untuk check in. Mengingat pesawat yang membawa kami akan lepas landas sepuluh menit lagi. Aku bergegas bangkit dan meraih koperku. Menariknya menuju suatu tempat. Dan kali ini, Oqi tampak membiarkanku 'tuk menarik koperku sendiri. Setelah penolakan dan perjanjian panjang yang telah kami buat.

Setibanya di pesawat, aku menjelajahi setiap inci dalam pesawat. Meneliti setiap kursi dan duduk di salah satu kursi yang tersedia setelah menemukan tempatku duduk. Aku menoleh ke arah kanan. Tepat saat itu juga, Oqi dengan jaket tebalnya duduk tepat di sebelahku. Huh, biarkan sajalah dia. Terserah dia mau bertindak apa! Aku tidak peduli. Mengacuhkan Oqi dan mulai sibuk memainkan ponsel. Sebelum suara seorang pramugara mengusik pemdengaranku. Menyuruhku untuk tidak memainkan perangkat elektronik apapun. Hingga tak lama, mataku terpejam ketika rasa kantuk tiba-tiba saja menyerang kedua mataku. Menelungsupkan tangan ke lengan Oqi dan bersender di bahunya. Menikmati hari kami berdua sembari menjemput alam mimpi. Ah, bahaginya diriku! Aku bersumpah tidak akan melupakan kenangan indah ini. Sampai kapanpun.

•••

Kini, langit senja berubah menggelap. Matahari pun tenggalam dan meninggalkan muaranya. Muara yang digantikan oleh sebuah bulan dan gemerlap bintang. Petanda malam baru saja tiba. Setelah kami menginjakkan kaki di Bandara Internasional Juanda. Kami pun, saling melempar lambaian tangan dan masuk ke mobil masing-masing. Terkecuali aku yang disuruh Oqi untuk pulang bersamanya. Dan ya, aku menerimanya saja setelah ia beralibi "Aku sudah berjanji dengan Bang Tyo, dan aku akan menepatinya!"

HINDER (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang