38

18 1 0
                                    

~ ISYANA SARASWATI - TETAP DALAM JIWA~

Pertemanan tak harus terpacu pada nama kelompok. Melainkan kekeluargaanlah yang lebih penting. Dengam nama keluarga, kita akan lebih nyaman dan luwes dalam berteman. Sehingga, tidak menimbulkan perpisahan. Sekalipun itu disebabkan oleh maut

•••

Suara langkah kaki terdengar memenuhi lorong rumah sakit. Menampakkan dua orang lelaki tinggi dengan raut pucat pasi. Menahan gurat kesedihan.

"Gimana keadaan Oqi? Apa kata dokter?" tanya Rivo beruntun sembari terengah-engah. Joy menggelengkan kepala lesu. Petanda jika belum ada kabar apapun dari dokter.

Ya, sedari tadi kami sudah menunggu sangat ... Lama di bangku rumah sakit ini. Namun, dokter tak kunjung keluar dari sana dan mengabari kami seputar keadaan Oqi. Bahkan, lampu operasi itu masih menyala hingga sekarang. Tak ada tanda-tanda untuk mati. Aku memejamkan mataku. Merasa bersalah atas nasib yang ditimpa oleh Oqi. Andai saja aku bisa menjaga diriku dan tidak lalai dalam membawa dompet, yang kebetulan tertinggal di rumah. Pasti, aku dan Oqi sudah dalam keadaan yang baik-baik saja. Pulang dengan selamat menggunakan taxi online dan mengerjakkan PR dengan tenang di rumah. Ditemani Bang Tyo yang sibuk akan pekerjaannya. Omong-omong soal Bang Tyo, apakah Bang Tyo sudah ....

"Fey! Kamu gak papa? Ada apa dengan tanganmu? Kok diperban begini. Terus, gimana dengan keadaan Oqi? Dia baik-baik saja kan?" tanya Bang Tyo beruntun. Aku sendiri tidak menyadari keberadaan Bang Tyo. Kenapa Bang Tyo ada di sini? Siapa yang mengabarkannya?

"Hei, jawab dong. Jangan malah bengong. Abang khawatir sama kamu. Kamu baik-baik saja kan?"

"Iya, Abang. Fey baik, cuman luka-luka dikit aja."

"Luka dikit gimana? Udah jelas diperban gini, masih dibilang kecil."

Plak

"Argh, sakit Abang!" teriakku tatkala Bang Tyo justru memukul tanganku yang diperban. Bukan pukulan keras, namun pelan.

"Tuh kan, apa yang Abang bilang. Pasti bukan luka kecil. Udah deh, gak usah nutupin lagi."

"Um ... Silakan Bang, duduk dulu," ucap Joy mempersilakan Bang Tyo duduk di sebelahku. Tepat dimana Joy duduk.

"Oh, iya. Kamu saja yang duduk," ucap Bang Tyo sungkan.

"Eh, jangan .... Abang aja. Saya berdiri aja." Bang Tyo mengangguk dan duduk di sebelahku. Sedangkan Joy memilih berdiri di dekat kedua sahabatnya yang sedari tadi duduk di seberangku. Ah, baik sekali Joy. Beruntung saja aku bisa memilikinya dan berteman dengannya.

Aku menoleh ketika pintu terbuka. Memunculkan seorang pria dengan jas putihnya. Kami pun bangkit berdiri dan segera menghampirinya.

"Dok, bagaimana keadaan Oqi?"

"Maaf, Mbak. Ini keadaan darurat. Mbak tolong duduk dan biarkan saya bekerja selayaknya seorang dokter." Dokter pun menenangkanku dan menunjuk ke arah bangku. Menyuruhku duduk di sana.

"Oh, Suster! Ambilkan kantong darah untuk golongan A," teriak dokter tersebut sebelum masuk ke dalam ruang operasi. Lagi! Aku menunduk lesu. Berjalan ke arah bangku dengan dibopong Bang Tyo.

"Abang, kalo Oqi kenapa-napa gimana?"

"Sstt ... Jangan berpikiran negatif gitu. Oqi pasti baik-baik saja," tenang Bang Tyo sembari memeluk dan mengelus suraiku. Mengusap-ngusapkannya lembut. Hingga tak sadar aku terlelap menahan kantuk.

•••

"Oqi! Oqi! Hiks hiks hiks." Aku terbangun dan menemukan Bunda tengah menangis di bangku depanku. Meregangkan tubuhku dan mengucek-ngucak kedua mataku. Menemukan Bang Tyo yang masih setia duduk di sebelahku.

HINDER (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang