Bella e Colorata Caffé
San Francisco
14.30 PM-II-
Wanita yang sudah menghabiskan hampir delapan jam-nya duduk diam di kursi cafe yang persis menghadap gagahnya jembatan Golden Gate itu mengukir sebuah senyuman kecil.
Ia menyatukan kedua tangan dan menaruh dagu di atasnya, bersamaan dengan mata yang kini beralih dari laptopnya yang masih menyala.
Cerita karangannya sendiri sangat mengharukan juga ternyata.
Mengangkat tangan kanannya pelan, wanita itu memanggil seorang pelayan cafe. Berniat menambah segelas cokelat panas lagi dan mungkin beberapa camilan untuk menemani waktu mengenang ini sendirian.
"Ada yang bisa saya bantu Mrs?"
"Terimakasih. Saya ingin segelas lagi cokelat panas dan panekuk dengan saus strawberry?"
"Mohon ditunggu Mrs, untuk pesanannya." Si pelayan tersenyum ramah, hendak berbalik ketika suara wanita itu menghentikannya.
"Cafe ini tutup jam berapa?"
"Jam sepuluh malam Mrs. Apakah ada lagi yang bisa saya bantu?"
"Tidak tapi bolehkah saya di sini lebih lama lagi? Maksut saya, saya sudah hampir delapan jam di sini apa tidak apa-apa?"
Pelayan itu tersenyum sopan, ia mengangguk sekilas dan menjawab pertanyaan wanita tersebut.
"Silahkan Mrs, kami dengan senang hati akan melayani anda. Lagipula maaf sebelumnya, anda terlihat sedih dan ingin menenangkan diri di cafe kami?"
"Eum apa sangat terlihat?" Wanita itu meringis pelan, apa suasana buruk dalam hatinya juga terpampang sangat jelas lewat wajahnya?
"He-em. Baiklah kalau tidak ada yang anda butuhkan lagi, saya permisi."
"Okay, thanks."
"Senang bisa membantu anda Mrs, nikmati waktumu." Pelayan laki-laki yang wanita itu tebak berusia sama seperti adiknya kini tersenyum lebar. Mengangguk sebelum kemudian mengangguk ingin pergi.
"That they have give up to find me?" Wanita itu menggeleng pelan dengan ekspresi menyendu. Jari lentiknya bergerak menekan tombol next di laptop.
Ia mendongak, memikirkan kepingan cerita karangannya sendiri ini. Kala itu semua memang terlihat sangat mudah, membahagiakan, dan manis. Tidak ada pertanda bahwa sebuah badai akan datang menghancurkan segalanya.
Dan dari halaman selanjutnya inilah semuanya berubah dan terkuak.
-||-
Zura berjalan riang menuju halaman sekolah, ia berangkat menebeng pada mobil Alvin tadi dan tersenyum riang ketika mendapati Najvadian Axeli Adriansyah juga sedang berjalan dari parkiran ke lobi.
"Dri tungguin gue!" Zura berlari menyusul lelaki yang kini membalikkan badan kaget itu, mungkin efek suara Zura yang tak tau malu berteriak keras di keadaan ramai seperti ini.
"Malu gue jadi temen lo." Adri mendengus samar namun tak ayal lelaki itu tetap melambatkan langkahnya mensejajari langkah kecil Zura.
"Hehehe maaf yah Bapak Ketua Kelasku sayaaang!"
Zura memang baru tau jika Adri adalah ketua kelasnya, ternyata juga Adri adalah teman sekelasnya semenjak kelas sepuluh. Benar, memang se-anti sosial itu dirinya sampai tidak mengenal siapa saja teman sekelas sendiri.
Namun tak bisa dipungkiri Zura mulai bisa berbaur dengan anak-anak SMAKUBA terkecuali Hazel karena mereka memang sudah bersahabat sedari kecil sejak ia mengenal Kevin Nicholas Alexander. Kevin mengajarinya banyak hal dan memperkenalkannya dengan banyak orang, terlebih Zura terlantik menjadi wakil kapten voli sekolah di kelas sebelas kemarin.
Ia jadi punya banyak teman semenjak kelas sebelas, yang hanya diawali dengan Febri, Leo, dan Adri si ketua kelas yang juga berjasa besar mengenalkannya satu-persatu pada anak kelas mereka.
Berkatnya Zura akhirnya diterima di lingkar pertemanan Nela, Debby, dan teman-teman perempuan di kelasnya yang lain.Percayalah menjadi pribadi kelewat cuek dan masa bodoh sangat tidak baik. Zura sudah merasakannya.
"Najis lo."
"Hehehe. Eh Leo!" Zura berjengit kaget ketika melihat Leo berjalan keluar dari ruang guru membawa setumpuk kertas di tangan. Lelaki itu hanya menoleh sekilas dan menaikkan satu alisnya bertanya.
"Sini deketan. Kalian berdua gue bisikin."
Leo mengangguk dan menurut untuk mendekat dengan berjalan di sisi kiri Zura dan Adri di sisi kanannya. Tak sadar Zura telah membuat hampir seluruh siswi di koridor kelas sepuluh menggigit jari iri melihat kedekatannya dengan dua cassanova sekolah sekaligus.
"Gue mau curhat sih sebenernya." Keceriaan Zura segera berganti dengan kesenduan. Matanya tampak sayu dan gadis itu tak nampak seceria tadi ketika menyapa Adri dan Leo.
"Udah mau masuk nanti aja." Leo berujar datar dengan tetap melihat ke arah depan.
"Masih sepuluh menit perasaan." Adri menimpali setelah melihat jam tangan hitam di pergelangan yangan kirinya.
"Gue ada ulangan mau belajar."
"Halah anak IPA 1 segala belajar." Zura berdecih sinis. Memang kelas IPA 1 di sekolahnya adalah kelas elit yang berisi siswa-siswi berprestasi se sekolah. Bisa dikatakan mereka adalah kelas unggulannya sekolah karena hanya berisi dua puluh anggota kelas dan semuanya memiliki kemampuan otak di atas rata-rata.
Nggak hanya otak sih, mereka juga multitalent semua.
Dan Leo, Hazel, juga Kevin adalah bagian dari mereka.
"Yaudah lo duluan aja." Zura akhirnya bersuara ketika mereka sudah sampai koridor kelas dua belas. Leo mengangguk kecil sebelum akhirnya memasuki kelasnya di deretan IPA. Adri dan Zura masih terus berjalan menuju ujung koridor tempat kelas mereka XII IPS 1
-II-
Jangan lupa vote sama komen yang banyak yah!
Love you all❤
More info
Instagram : raindaeyooSincerely
Kim Mingyu's❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Less Than Relationship (END)
Roman pour AdolescentsEND : 14-08-2020 Benar memang. Tidak akan pernah ada kata sahabat antara seorang lelaki dan perempuan. Gadis itu telah membuktikannya. Ezzura Nathania Avarell, gadis cantik anggota kelas XI IPS 1 yang terlampau cuek dan masa bodoh dengan lingkungan...