Check previous part jan lupppp
4 parts left
Gue membawa secangkir teh hangat ke ruang tengah di apartemen untuk Cio di malam hari. Dia sedang kelelahan akibat menemani Lala sepulang koas. Katanya menemani cek kandungan dan ke suatu tempat, entah di mana sampai larut malam.
Dia sehabis mandi langsung menggelepar di sofa sambil merengek-rengek seperti anak kecil. Ia mengeluh capek dan pegal di beberapa bagian tubuhnya. Tentunya gue masih punya belas kasihan padanya. Gue berinisiatif membuatkannya teh hangat dan memijat badannya.
Cio berbaring telentang di atas sofa saat gue sampai di sana. Gue meletakkan mug tadi di atas meja lalu duduk di ujung sofa. Dengan inisiatif sendiri, gue memijat betisnya yang tarasa keras. Akibat capek seharian beraktivitas sehingga kakinya keras begini.
"Mau aku beliin koyo juga gak?" tawar gue sambil memijat betisnya. Siapa tahu Cio suka pakai koyo. Seperti gue kalau sudah lelah mengerjakan tugas dan belajar.
Gue lebih suka koyo, sih, daripada balsem walau koyo dapat menimbulkan rasa cekat-cekit seperti melakukan waxing. Waxing skala kecil tapi.
"Ada di laci, kok. Di laci meja di kamar." jawabnya parau. Gue berdehem sebagai jawaban.
Masih memijat betisnya, gue tidak bertanya apapun padanya soal dari mana dia dan Lala atau bagaimana perubahan pernikahan mereka sebagai bahan obrolan. Gue merasa enggan satu sisi, dan di sisi lain gue tidak mau membuat lelaki ini tambah capek. Biarkan saja gue tidak tahu. Toh, gue tidak peduli dengan mereka. Gue lebih suka diam daripada membahas Cio-Lala.
"Bun, pakai koyo aja. Gak usah dipijat. Nanti kamu capek," kata Cio menginterupsi kegiatan gue.
"Ya, udah."
Gue berhenti memijat kakinya sesuai permintaannya. Gue pun bergerak ke dalam kamar, mencari keberadaan koyo di laci meja. Gue kaget saat melihat satu box koyo di sini. Setelah beberapa episode berlalu, gue baru menemukan satu kotak berisi koyo. Koyo premium lagi. Hm, orang kaya.
Seandainya gue tahu kalau Cio menyetok koyo sebanyak ini, gue bawa pulang saja beberapa. Mungkin gue gunakan untuk mencabut paksa bulu kaki atau genitalianya kalau dia berani macam-macam.
Seandainya.
Gue mengambil satu bungkus koyo dan gunting di atas meja, kemudian membawanya kembali ke sofa. Gue gunting beberapa koyo tersebut menjadi dua bagian, biar awet dan banyak begitu. Setelahnya, gue tempelkan ke betis dan pahanya yang terbalut celana kanvas pendek berwarna hitam.
"Pinggang, punggung sama bahu, ya, Bun. Pegel banget soalnya," ujarnya setengah merengek. Gue kembali memotong koyo tersebut dan menempelkannya di tempat yang diinginkan olehnya.
Saat hendak menaruh koyo di bahu kirinya, gue melihat tanda api milik Cio yang warnanya merah darah. Tato api itu sama seperti milik gue. Gue yang awam masalah begini, tidak berani menduga-duga. Gue berpikir saja kalau tanda api berwarna merah darah ini bukti sempurnanya ikatan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mizpah ✖ Kim Seungmin ✅
Fiksi PenggemarHubungan kita memang rumit, bahkan sejak kita pertama kali bertemu. Hubungan kita tidak semulus jalan tol. Parahnya, hubungan kita terlalu kusut layaknya benang kusut. Seratus tahun kumenunggu, rasanya sia-sia. Semibaku Alternative universe 17+