Prolog

4.2K 309 23
                                    

   Xiao Zhan berbaring di atas rumput pekarangan belakang rumahnya, menatap ke atas, memandangi payung-payung bening transparan yang digantung rendah terbalik di jajaran besi-besi putih. Di dalam masing-masing payung yang terlihat seperti huruf U itu, terdapat satu ikan kecil warna oranye yang berenang dengan riang.

   "Xian, masuk, sayang. Gerimis. Nanti sakit," suara Bian Buoxian—ibunya—memanggil lembut dirinya dari teras belakang. Namun Xiao Zhan bergeming. Ia terlalu dalam tenggelam dalam imajinasinya hingga tak memedulikan rintik hujan yang mulai membasahi tubuhnya.

   "Ayo dong, Xian! Hujannya makin deras," Bian Buoxian memanggil sekali lagi.

   Bian Buoxian akan melangkah menjemput Xiao Zhan ketika dari belakangnya muncul seorang anak laki-laki dengan ekspresi dingin tanpa senyum. Baju sekolah anak itu terlihat lusuh, tasnya pun begitu, hanya payungnya yang terlihat mencolok. Anak itu telah mendahului langkah Bian Buoxian.

   Dengan wajah tenang ia melangkah ke arah Xiao Zhan, tanpa bicara ia menapaki pekarangan hijau yang tak terlampau luas. Membawa payung kuningnya melintas di bawah hamparan payung-payung putih transparan, jadi satu warna mencolok di antara kehampaan putih yang dicintai Xiao Zhan.

   Ia sampai di samping Xiao Zhan. Kakinya berada dekat dengan kepala Xiao Zhan yang masih berbaring di rumput. Xiao Zhan melirik cepat, menyadari ada satu dunia berbeda menyenggol dunianya. Ia langsung duduk dan waspada. Tak lama kemudian ia mulai menangis.

   "Papa..." Tanpa aba-aba Xiao Zhan sudah berseru memanggil ibunya.

   "Kok nangis, sih? Yibo kan cuma bawain payung. Nanti kamu sakit kehujanan." Anak laki-laki itu langsung panik melihat Xiao Zhan menangis. Ia takut dimarahi.

   "Papa!" Kini Xiao Zhan berteriak memanggil ibunya. Tangisnya semakin menjadi.

   Bian Buoxian yang sedari tadi terlalu sibuk memperhatikan langkah Wang Yibo, langsung berlari ke arah putranya. "Kok Xian nangis?" Bian Buoxian memeluk tubuh Xiao Zhan yang mungil. "Yibo kan cuma jemput Xian pake payung. Biar Xian nggak kehujanan. Iya kan, Yibo?"

   Wang Yibo yang masih tak mengerti hanya mengangguk kecil. Tapi Xiao Zhan terus menangis dan tak mendengarkan penjelasan apa pun. Bian Buoxian berdiri sambil menggendong Xiao Zhan. Wang Yibo mengikuti langkah Bian Buoxian dari belakang, menggenggam payung kuningnya yang telah terkatup. Dengan canggung Wang Yibo mendongak sedikit dan menatap wajah Xiao Zhan yang menghadap padanya dari balik bahu Bian Buoxian. Xiao Zhan menatapnya dengan penuh kesal sambil sesenggukan.

   "Sudah ya, Xian jangan menangis lagi. Justru harusnya bilang terima kasih sama Yibo." Bian Buoxian menurunkan Xiao Zhan di teras belakang. Mendengar apa yang dikatakan ibunya, Xiao Zhan kembali menangis.

   "Nggak mau, Papa! Xian nggak suka sama dia. Payung dia jelek."

   "Eh, Xian nggak boleh ngomong begitu," bujuk Bian Buoxian lembut sambil menghapus air mata di wajah Xiao Zhan. Wang Yibo berdiri terpaku dengan wajah memelas. Matanya tak sanggup berpaling dari mata besar Xiao Zhan. Wang Yibo tahu Xiao Zhan tidak sungguh-sungguh menangis. Xiao Zhan hanya berpura-pura supaya Wang Yibo pergi dari situ.

   "Sini!" Xi Luhan—ibu Wang Yibo—tiba-tiba muncul dari dalam rumah dan menarik Wang Yibo dengan kasar sampai payung kuning yang dipegangnya terlepas dari genggaman. Bian Buoxian terkesiap, sementara Xiao Zhan langsung berhenti menangis.

   "Pembohong kamu," Xi Luhan membisikkan kata-kata sinis itu pada Bian Buoxian, tak peduli ada dua anak kecil di samping mereka. "Kamu bilang mau bantu aku, tapi kamu nggak mau ambil Yibo."

   "Bukan begitu, Lu. Aku nggak mau kamu menyesal. Dia anakmu. Bagaimana bisa kamu kasih dia ke orang lain," Bian Buoxian berbisik karena takut Wang Yibo mendengar kata-katanya. Sayang sekali usahanya sia-sia. Wang Yibo yang saat itu berumur sepuluh tahun mengerti benar apa yang sedang dibicarakan kedua pria di sampingnya itu.

   "Nggak usah sok bijaksana. Memang dari dulu kamu pembohong besar. Pura-pura jadi sahabat, pura-pura baik, persetan semuanya!"

   Bian Buoxian mengatupkan kedua tangannya untuk menutup telinga Xiao Zhan. Ia tak mau ada kalimat makian terekam di memori putranya yang baru berumur enam tahun. Sedangkan Xi Luhan tak merasa harus repot-repot melakukan hal yang sama pada Wang Yibo. Ia justru mempererat cengkeramannya pada lengan Wang Yibo untuk melampiaskan kekesalannya. Ia tak sadar anaknya itu sudah meringis kesakitan.

   "Lu..." Mohon Bian Buoxian, menyadari perubahan wajah Wang Yibo yang menahan sakit. Bian Buoxian merasa sangat kasihan tapi ia sungguh tidak bisa mengambil anak itu. Bukan karena Bian Buoxian tidak mau, tapi ia tahu itu bukan perbuatan benar. Sahabat yang baik tidak akan membiarkan sahabatnya melakukan suatu kesalahan besar. Dan itulah yang sedang coba dilakukan Bian Buoxian pada Xi Luhan.

   "Ayo!" Xi Luhan menarik tangan Wang Yibo dengan kasar. Langkah kakinya terdengar terburu meninggalkan rumah putih itu. Wang Yibo berlari kecil untuk menyeimbangi langkah ibunya.

   "Yibo pergi gara-gara Xian ya, Pa?" tanya Xiao Zhan ketika Wang Yibo bersama ibunya sudah lenyap dari pandangan. Xiao Zhan menangis lagi.

   Bian Buoxian menghapus air matanya yang tadi sempat bergulir mengiringi kepergian Xi Luhan. Piao Canlie—suaminya—hanya menatap dari ruang tamu dengan Jin Taiheng yang tertidur di gendongannya.

   "Bukan kok, Xian. Yibo katanya mau ngerjain PR terus besok ada ulangan dan belum belajar. Jadi harus buru-buru pulang, deh." jawab Bian Buoxian.

   Namun tampaknya Xiao Zhan tidak betul-betul mendengarkan apa yang dikatakan ibunya. "Nggak, pasti gara-gara Xian tadi bilang nggak suka sama dia." Xiao Zhan menangis semakin keras hingga jeritannya membuat adiknya terbangun dan kini juga ikut menangis.

   Bian Buoxian memeluk Xiao Zhan dengan erat. Ia dan putranya sama-sama menangis untuk kehilangan yang teramat sangat. Hatinya terluka mencari-cari suara derap langkah kembalinya Xi Luhan. Tapi suara itu tetap tak terdengar.

   Yang tertinggal hanya payung kuning yang terkatup, terbaring tak berdaya di atas lantai kayu yang dingin.

   "Xian mau Yibo balik ke sini, Papa..."

.

.

.

To be continued.

FOREVER MONDAY [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang