36. Wang Yibo

1K 111 1
                                    

5 April, 20xx.
Liburan pertama dengan Xiao Zhan.

   "Tunggu, aku ambil payung dulu di bagasi." Tahan Wang Yibo sebelum Xiao Zhan sempat keluar dari mobil dan menerobos hujan. Dengan cepat ia turun dari mobil dan berlari ke belakang, mengambil payungnya yang sudah sekian lama tak terpakai. Payung kuningnya.

   Payung itu agak macet ketika ia hendak membukanya. Begitu berhasil terbentang, dan ketika matanya menatap ke rumah lama yang sudah bertahun-tahun tak ditempati itu, Wang Yibo kembali ke masa lalu.


   Payung kuning Xi Luhan terbentang di atas kepalanya dan Wang Yibo. Ia tak menggenggam tangan anaknya, seperti biasa. Warna kuning payung Xi Luhan begitu menyilaukan di tengah suasana mendung Kota Bandung.

   Gemericik air hujan yang menepuk-nepuk tanah telah mengotori sepatu Wang Yibo. Ia setengah berlari, supaya bisa menjajari langkah sang ibu. Mereka sampai di depan rumah kayu yang semuanya berwarna putih. Rumah itu tampak pucat dari luar. Sangat berbeda dengan warna payung Xi Luhan.

   "Ayah, kita ngapain ke sini?" Wang Yibo menatap heran ibunya. "Ini rumah siapa? Atau rumah baru kita?"

   "Jangan mimpi kamu. Uang dari mana buat beli rumah sebagus itu! Ini rumah teman Ayah. Ayah mau kasih kamu ke mereka."

   Wang Yibo mundur selangkah. "Kok Ayah mau kasih Yibo ke mereka? Yibo nggak mau. Yibo maunya sama Ayah."

   Xi Luhan menoleh kasar dan menatap tajam anaknya. "Tapi Ayah nggak mau sama kamu. Jadi kamu diam, dan turutin kata Ayah." Kata Xi Luhan, menggenggam tangan anaknya dengan kasar.

   "Tapi Yibo nggak mau, Ayah. Yibo maunya sama Ayah." Wang Yibo menarik tangannya.

   "Tapi Ayah nggak mau sama kamu, ngerti nggak sih?!" Xi Luhan memukul punggung Wang Yibo dengan keras. "Katanya sayang sama Ayah, nurut dong. Diam kamu sekarang ya. Jangan ngomong apa-apa nanti di dalam. Nurut!" Sekali lagi, dengan kasar, Xi Luhan meraih tangan anaknya ke dalam genggaman.


   Wang Yibo kembali ke masa kini. Baru sadar bahwa dulu satu-satunya alasannya menutup mulut adalah karena kata-kata ibunya, katanya sayang Ayah, nurut dong. Wang Yibo tersenyum sedih, sadar lagi, kasih sayangnya waktu itu telah diperalat oleh ibunya sendiri. Hatinya patah lagi, bersatu dengan bekas-bekasnya yang tertinggal dari enam belas tahun lalu, telat di tempatnya berdiri saat ini.

   "Yibo?"

   Wang Yibo langsung berlari-lari kecil waktu melihat kepala Xiao Zhan terjulur dari dalam mobil. Titik-titik hujan membasahi poninya. Xiao Zhan menatap payung Wang Yibo.
  
   "Hai, Yibo." Xiao Zhan mendongakkan kepala, menatap Wang Yibo yang kini berdiri menjulang di hadapannya sambil tersenyum.

   Wang Yibo mengeryitkan dahi. Setelah beberapa saat mencoba mencerna barulah ia mengerti. Yang pulang keenam belas tahun lalu bukan hanya dirinya. Tapi juga Xiao Zhan. Payung kuning yang terlalu menyilaukan warnanya itu telah membangkitkan begitu banyak memori di antara mereka. Memori sedih dan bahagia.

   Wang Yibo membukakan pintu Xiao Zhan. Pemuda omega itu meraih tangannya dan mereka pun masuk. Mereka menoleh sebelum melewati ambang pintu rumah, sekali lagi menatap payung kuning yang terparkir manis di dekat tangga beranda.

   "Jelek banget. Aku serius. Sampai sekarang aku masih menganggap payung kamu sangat jelek. Warnanya kuning ngejreng." Tatapan Xiao Zhan terus tertuju pada payung Wang Yibo.

   "Itu bukan payung saya. Itu payung ayah saya. Seleranya memang norak."

   Xiao Zhan tertawa. "Kamu ini, ngatain ibumu terus."

FOREVER MONDAY [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang