Luo Yunxi dapat mendengar suara deru mobil Wu Yifan dari lantai bawah. Ia bermaksud ingin memanggil Xiao Zhan masuk ke kamar tapi suara langkah sang ayah sudah terlebih dahulu terdengar memasuki rumah. Jadi supaya tidak membuang-buang waktu, Luo Yunxi mengurungkan niat dan memilih untuk mempercepat gerak tangannya.
Dengan cekatan ia menurunkan secara acak baju-baju dari lemari dan memasukkannya ke tas sementara suara Wu Yifan mengobrol dengan Xiao Zhan mulai terdengar samar-samar dari ruang tengah.
Hatinya makin resah. Ia menambah kecepatan tangannya dan menarik dengan kasar buku-buku yang tertinggal di rak lalu menjejalkan ke dalam tas besarnya yang sudah begitu kacau. Setelah yakin semua yang dibutuhkannya sudah aman di sana, ia bergegas keluar kamar.
Melihat sosok sang ayah, selalu berhasil membuat bulu kuduk Luo Yunxi meremang. Sosok Wu Yifan selalu mengerikan untuknya. Pria itu itu seperti sosok manis yang selalu bersembunyi di balik senyum sinisnya.
Wu Yifan duduk dengan sikap terhormat dan berbicara dengan nada formal pada Xiao Zhan. Wajahnya terlihat arogan, khas Wu Yifan. Tubuhnya besar berbalut setelan jas, kameja, dan celana yang serba putih. Syal hitam menggantung di lehernya yang jenjang, sepatu hitamnya mengilat dan terlihat mantap di kakinya yang panjang. Rambutnya yang kini sudah ditumbuhi sedikit uban disisir ke belakang dan terlihat licin. Wajahnya putih pucat dengan kulit yang tak lagi kencang. Matanya cokelat dan tajam.
Penampilan itu seharusnya terdengar luar biasa. Tapi tidak bagi Luo Yunxi.
"Ehem!" Luo Yunxi berdeham, membuat Xiao Zhan dan Wu Yifan menoleh.
Xiao Zhan langsung bernapas lega, sementara senyum di wajah Wu Yifan seketika menghilang.
Dengan susah payah Luo Yunxi menarik kopernya sambil bergumam, "Aku pergi dulu." Ia menggerakkan tangan, isyarat untuk Xiao Zhan supaya cepat berdiri dan bersama-sama dengannya meninggalkan rumah itu.
"Sopan santun, Leo. Tunjukkan sopan santun kamu," ujar Wu Yifan dengan nada datar sebelum kedua pemuda itu sempat melangkah ke luar.
Langkah Luo Yunxi terhenti. Begitu juga Xiao Zhan. Luo Yunxi mengembuskan napas keras-keras, tanda kesal dan tak sabar. Sesungguhnya ia tidak mengerti sopan santun seperti apa yang diinginkan ayahnya. Apakah ia harus mencium tangan ayahnya? Atau mencium pipinya? Haruskah ia mengatakan, "Aku pergi dulu, Pa. Aku tidak akan pulang malam. Aku sayang Papa"?
Ritual sopan santun yang dikenal Luo Yunxi adalah pertemuan singkat, sapaan singkat, telepon sangat singkat, obrolan-obrolan profesional kerja, dan table manner sempurna ketika ia harus makan bersama ayah serta kolega-koleganya.
Jadi untuk saat ini, sopan santun seperti apa yang diinginkan Wu Yifan? Luo Yunxi memutar otak. Pada akhirnya ia tetap tak menemukan jawabannya. Maka, ia mengatakan sekali lagi kalimat pendek yang telah diucapkannya tadi. Kali ini dengan nada lebih lembut, "Aku pergi dulu, Pa. Sampai ketemu lagi."
Wu Yifan tak menjawab dan hanya mengeluarkan gumaman berat. Ia bahkan tak menoleh.
"Papa gue nanya apa saja tadi?" Selidik Luo Yunxi ketika mereka sudah di mobil, berkendara ke apartemen Luo Yunxi.
"Nggak banyak karena untungnya lo cepat datang." Xiao Zhan menghadap wajahnya keluar. "Dia cuma nanya kabar gue, sedang apa gue di rumah lo, dan kabar Yibo."
Luo Yunxi tersenyum sinis. "Dia sama sekali nggak nanyain gue."
"Ya, lagi-lagi begitu, Leo." Sahut Xiao Zhan.
Luo Yunxi menepuk-nepuk dadanya. Seharusnya ia sudah terbiasa dengan keadaan ini. Ayahnya hanya akan bertanya soalnya jika perlu. Misalnya ketika ada kontrak yang harus didapatkan. Hal-hal semacam itu. Tapi setelah seumur hidup mengalami hal yang sama, dada Luo Yunxi tetap sakit tiap kali hal seperti ini terjadi. Hatinya sakit.
"Ya, mau berharap apa dengan hubungan lo yang seperti itu, Leo?" Lanjut Xiao Zhan. "Nggak mau coba tinggal sama Papa lo lagi? Siapa tahu keadaan akan membaik."
"Gue sudah tinggal sama Papa lebih dari dua puluh tahun. Dan keadaan nggak pernah membaik. Percayalah, tinggal dengan orang yang nggak pernah peduli denganmu rasanya lebih buruk dibandingkan tinggal sendirian."
"Ya, gue tahu," sahut Xiao Zhan. "Tapi gue kebalikan dari lo. Gue lebih baik melihat Yibo di depan mata daripada pergi ninggalin dia. Sikap nggak pedulinya adalah salah satu hal yang paling bisa gue tolerir."
"Oke, pembicaraan selesai," Luo Yunxi berdecak keras. "Gue nggak paham lagi sama lo."
"Lo paham. Jangan bohong."
Luo Yunxi spontan menoleh, namun Xiao Zhan masih sibuk memperhatikan ke luar jendela. Luo Yunxi tahu bahwa ia paham. Ia hanya benci diingatkan akan fakta itu. Fakta bahwa ia tidak bisa membenci ayahnya, fakta bahwa ia masih ingin tinggal serumah dengan ayahnya, fakta bahwa kasih sayang Luo Yunxi tidak bisa dihentikan hingga saat ini. Ia tahu, ia paham, bahwa sikap dinginnya selama ini hanya salah satu upaya untuk berhenti menyayangi ayahnya yang jahat.
Mereka lalu tenggelam dalam keheningan. Keduanya tengah merindukan "sosok yang tak pernah peduli"-nya masing-masing.
Mereka tiba di apartemen kecil Luo Yunxi yang terletak di lantai enam sebuah gedung apartemen tua. Tempat itu dijejali beratus-ratus buku yang tertumpuk berantakan, puntung-puntung rokok di asbak, dan pakaian-pakaian kotor yang bertebaran di mana-mana. Satu-satunya yang terbaik dari tempat itu adalah jendela besar setinggi pintu di sisi ruangan yang menghadap langsung ke jalan.
Xiao Zhan membuka jendela tersebut. "Sering-sering dibuka. Asap rokok lo bikin pengap," katanya. Lalu ia akan duduk di dekat jendela.
"How's Owen?" Tanya Luo Yunxi sambil membuang isi asbaknya ke tong sampah.
"Baik. Kemarin gue sama dia makan McD sama-sama di mobilnya."
"Oh, ya?"
"Harusnya lo nggak kenalin dia ke gue, Le," ujar Xiao Zhan. Luo Yunxi tahu ini adalah pertanda bahwa Xiao Zhan tertarik pada Song Weilong.
"Lo harus coba untuk lepas dari Yibo," sahutnya.
"Apa bedanya Yibo sama Owen?"
"Jelas beda. Yang satu memperlakukan lo seperti manusia. Sedangkan yang satu lagi bahkan kayaknya nggak sadar kalau lo itu ada dan hidup. Ngerti bedanya?"
"Itu bukan jaminan," bantah Xiao Zhan.
"Bukan jaminan apa? Lo mikir nggak usah terlalu jauh dulu. Gue nggak suruh lo nikah sama Owen. Tapi paling nggak lo harus berpikiran rasional. Pacaran sama orang. Jangan sama batu."
Xiao Zhan tertawa sinis. "Lo harusnya omong itu ke diri lo sendiri."
"Oh, nggak. Beda kasusnya. Papa gue cuma satu. Gue nggak punya pilihan untuk menyayangi Papa yang lain. Tapi lo beda. Alpha di dunia ini bukan cuma Yibo. Lo bisa jatuh cinta sama cowok lain. Jadi jangan sama-samain gue lagi sama lo."
Xiao Zhan tak menjawab. Luo Yunxi menggaruk kepalanya dengan kesal dan mulai mengisap batang demi batang rokok mint-nya. Sedangkan Xiao Zhan hanya duduk diam memandang ke luar. Luo Yunxi tahu, ia memang tidak akan bisa mengerti cinta Xiao Zhan pada Wang Yibo.
.
.
.
To be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
FOREVER MONDAY [Completed]
FanfictionXiao Zhan akhirnya mendapatkan hari Senin untuk menjadi pacar Wang Yibo, playboy yang punya begitu banyak pacar, satu orang untuk satu hari. Sampai Xiao Zhan bertemu Song Weilong, playboy lainnya yang berparas tampan. Song Weilong mengubah hidup...