1. Xiao Zhan

2.9K 247 13
                                    

   Xiao Zhan memutuskan sambungan telepon dan meletakkan ponselnya di atas meja rias.

   "Kenapa? Nggak jadi makan malam di luar?" Meng Ziyi memandanginya lewat bayangan di cermin.

   "Iya. Tapi dia bilang mau pulang ke rumah malam ini," jawab Xiao Zhan.

   "Oh. Nanti Tante siapin makan malam buat dia deh kalau begitu," sahut Meng Ziyi sambil memaksakan senyum.

   Xiao Zhan mengacak-acak rambut hitamnya asal-asalan lalu menghapus lipbalm warna soft pink yang tadinya sudah terpoles di bibirnya. Setelah itu ia beranjak menuju walking closet super besar. Di sana ia menanggalkan jaket kulit hitam dan menggantungnya kembali di tempat semula. Mata Xiao Zhan menyusuri jejeran baju-baju bermerek terkenal yang tergantung di sampingnya; Gucci, Louis Vuitton, Chanel, Burberry, Dior, dan segala yang sejenis.

   "Besok isi lemari kamu Tante ganti semua dengan model terbaru." Meng Ziyi mendekat, mengambil sweater putih polos dari tumpukan baju dan menyodorkannya pada Xiao Zhan. Sebelah tangannya yang lain mengusap punggung pemuda itu dengan lembut. Mungkin coba menghibur.

   "Ya, terserah Tante saja," jawab Xiao Zhan datar.

   "Mau Tante buatin teh?"

   "Boleh. Taruh di beranda ruang tamu saja. Nanti aku ke situ habis ganti baju. Makasih, Tan." Xiao Zhan menurunkan ritsleting celananya, membuat Meng Ziyi segera memohon diri.

   Setelah Meng Ziyi keluar dari sana, Xiao Zhan melemaskan otot-otot wajah yang ia paksakan untuk tersenyum sedari tadi. Sekali lagi ia memandangi lemarinya. Baju-baju yang bertengger mewah di sana seakan sedang mengejek. Seketika, mereka membuat Xiao Zhan marah.

   Xiao Zhan menyambar benda-benda mati itu lalu melemparkannya ke lantai, mengacak-acak, menendangi, memecahkan. Lemari besar itu dalam sekejap telah menjadi berantakan luar biasa. Namun Xiao Zhan tak peduli. Barang-barang mahal menjijikan itu harus diberi pelajaran. Supaya mereka tidak menertawakannya lagi.

   Napas Xiao Zhan tersengal-sengal dan perasaan kesal yang mendidih tadi kini mulai menguap dari ubun-ubun, meninggalkan jiwanya dalam kehampaan. Sambil menunggu jantungnya berdetak normal, Xiao Zhan melepaskan celananya yang telah merosot dan menggantikannya dengan sweater putih yang tadi Meng Ziyi berikan.

   Sambil mengenakan jeans selutut berwarna hitam yang harus ditahan dengan ikat pinggang agar tidak merosot karena sudah terlalu longgar, Xiao Zhan berjalan menuju perpustakaan mininya yang ada di samping lemari. Dari sela-sela jejeran buku Xiao Zhan menarik beberapa batang rokok mentol yang selalu ia sembunyikan di sana. Ia lalu duduk di pojokan dan mulai menyalakan sebatang, menghirup asapnya dalam-dalam.

   Kini ia merasa tenang.

   Rasa kesal yang tadi disimpannya sudah berubah menjadi kebahagiaan. Dalam damai ia menunggu Wang Yibo pulang setelah dua minggu tak terdengar kabarnya.

   Xiao Zhan telah menyukai pria itu selama empat tahun belakangan. Dan hari Senin dua minggu yang lalu Xiao Zhan memutuskan untuk mengatakan satu kalimat sederhana padanya, "Bisa tidak aku jadi pacar kamu?" Masih Xiao Zhan ingat dengan jelas bagaimana lirikan Wang Yibo padanya saat itu. Wang Yibo menelanjanginya dengan sorot mata sinis yang seakan berkata, "Kamu pikir kamu siapa?"

   Mengingat siapa Wang Yibo, seperti apa tampan wajahnya, seberapa banyak pacarnya, seberapa tinggi tingkat kepopulerannya, Xiao Zhan tak tersinggung diperlakukan seperti itu. Pemuda kurus yang memiliki kecantikan biasa-biasa saja—yang mungkin juga dimiliki banyak pemuda atau gadis omega lainnya; rambut hitam sedikit panjang yang tebal dan berkilau, tubuh kurus yang terlihat bagus dengan pakaian-pakaian modis, kulit putih, bibir tipis, mata besar dan hitam—seperti Xiao Zhan jelas hampir tidak masuk hitungan Wang Yibo. Tapi Xiao Zhan mau mencoba peruntungannya.

   Ketika Wang Yibo mengatakan "Oke" alih-alih "Oke, bolehlah sekali-sekali pacaran dengan cowok biasa kayak kamu", Xiao Zhan langsung bersukacita. Dari tujuh hari dalam seminggu Wang Yibo bersedia memberikan salah satu harinya, yaitu hari Senin.

   Hari ini hari Senin. Tadinya Wang Yibo sudah setuju untuk makan malam di luar bersama Xiao Zhan. Sampai beberapa menit yang lalu—saat Xiao Zhan sudah siap dengan baju terbaik dan riasan tipisnya—Wang Yibo menelepon dan mengatakan bahwa ia terlalu capek untuk pergi keluar. Terlalu capek. Bahkan Wang Yibo tak merasa perlu repot-repot mencari alasan yang lebih manusiawi. Lalu tanpa sepatah kata maaf, pria itu memutuskan hubungan telepon.

   Xiao Zhan mencoba mengerti. Bagi Wang Yibo—pemilik Panah Nusantara, kerajaan bisnis di Indonesia yang menggerakkan beberapa hotel, restoran, dan departement store di berbagai kota bahkan sampai ke luar negeri—merasa capek adalah hal lumrah. Bagi Wang Yibo—laki-laki berparas tampan, bertubuh langsing dan tinggi, otak brilian, dan harta yang bergelimang—jadi dingin pada pemuda biasa seperti Xiao Zhan, juga adalah hal lumrah.

   Hanya saja, walaupun mengerti, patah hati itu sulit Xiao Zhan hindari apalagi tolak. Besar ia menggantungkan harapan pada makan malam ini. Setelah empat tahun tinggal bersama, seharusnya makan malam tadi akan jadi yang pertama untuk mereka berdua. Tapi mungkin, Xiao Zhan menggantung harapannya terlalu tinggi. Itu masalahnya.

   "Kenapa nggak masuk, Tan?" Setelah selesai dengan beberapa batang rokok, Xiao Zhan memergoki Meng Ziyi sedang termenung di depan pintu kamarnya.

   "Ini baru mau ketuk pintu," jawab Meng Ziyi segera. Xiao Zhan tahu itu bohong.

   "Tadi aku sudah turunin baju-baju yang nggak aku suka, jadi besok Tante bisa ganti dengan yang baru," Xiao Zhan balik berbohong.

   "Oke. Tehnya Tante taruh di beranda seperti permintaan kamu tadi."

   "Thank you, Tan." Meng Ziyi lalu masuk ke kamar Xiao Zhan. Tak terdengar suara ribut-ribut atau ia yang tiba-tiba keluar menanyakan mengapa lemari Xiao Zhan bisa porak-poranda seperti itu. Mereka... diam.

.

.

.

To be continued.

FOREVER MONDAY [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang