BMG 🌠 72

1.1K 105 47
                                    

"Perihal mengikhlaskan memang tidaklah mudah. Meski hati tak rela, semesta mengharuskannya. Ya, begitulah takdir."
________

Mendengar pernyataan dari dokter bahwa Alan meninggal dunia, membuat semuanya terpukul. Mereka tidak percaya dengan apa yang dikatakan dokter Yuda, tetapi itulah kenyataannya. Mau tidak mau, kita memang harus bisa mengikhlaskan yang telah pergi, bagaimana pun itu. Walau pahit rasanya.

Semua yang berada di ruangan serba putih itu menitikkan air matanya. Malam itu, Alan benar-benar telah pergi untuk selamanya. Ditatapnya wajah Alan yang terlelap dengan tenang itu lekat-lekat oleh mereka. Yang mungkin mulai besok sudah tidak bisa lagi mereka lihat.

Dengan air mata yang tak bisa berhenti mengalir, Vera pun beralih mengecup pelipis Alan dengan sepenuh hati untuk yang terakhir kalinya. "Terima kasih karena sudah pernah hadir dan menjadi penyempurna di hidup Mama. Mama akan sangat merindukanmu, Alan." sepertinya Vera akan sangat kehilangan Alan. Sangat. Karena selama ini Alan lah yang selalu bersamanya, suka dan duka pun ia lalui bersama Alan. Meskipun ia sendiri tahu bahwa orang tua kandungnya merasa sangat kehilangan saat ini. Kehilangan untuk yang kedua kalinya.

"Ma, Pa, kak Rey kenapa? Kok semuanya nangis?" Arla mengguncang tangan Arga dan Aqila meminta penjelasan, sembari sesekali mengusap pipinya yang basah karena air mata.

Tak kuasa menjawab, Aqila hanya bersimpuh di dekat Alan. Untuk yang terakhir kalinya, ia mendekap putranya yang terbaring itu dengan erat.

Merasa iba dengan Arla yang terus merengek, Arga pun berlutut dihadapan putri kecilnya itu. Diusapnya bergantian pipi temban Arla yang dibanjiri bulir bening air mata. "Arla istirahat aja yuk. Udah malem. Kak Rey cuma lagi bobo kok, sayang," kata Arga berbohong. Dia hanya tidak ingin membuat putrinya khawatir, dia tidak siap melihat Arla sedih karena kehilangan kakaknya, dan terpaksa berbohong. Apalagi jika Sheira tahu, Arga tidak bisa membayangkan bagaimana sedihnya dia.

Mendengar itu, lantas Arla menggeleng kuat. Ia memukul-mukul dada papanya itu kemudian. "Papa bohong! Kalo kak Rey cuma bobo, kenapa kalian nangis? Kata bu guru juga kalo bobo terus gabangun-bangun, tangan dingin, bibir pucet gitu ciri-ciri orang yang meninggal, Pa! Ka Rey meninggal kan? Jangan bohong, Pa!" serunya pada Arga di sela-sela tangisnya. Pasalnya tadi anak kecil itu memegang tangan Alan yang tetasa sangat dingin, padahal AC di ruangannya saja tidak terlalu dingin.

Arga bodoh jika masih menganggap Arla anak kecil yang belum tahu apa-apa, dia seharusnya tahu bahwa diusianya yang masih 6 tahun itu, Arla memang sangat pintar dan peka akan situasi. Lantas, Arga hanya memeluk putrinya itu kemudian. "Maaf papa udah bohong sama kamu."

Arla pun kembali menangis dipelukan Papanya.

***

Siang hari, sepulang dari proses pemakaman Alan, Arga dan Aqila langsung kembali ke rumah sakit untuk bertemu Sheira. Walau rasanya ingin sekali mereka lebih lama berada di pemakaman, mereka masih belum bisa merelakan kepergian Alan, sangat sulit. Tetapi, di sisi lain Sheira juga saat ini tentu sangat membutuhkan keduanya. Dia masih belum tahu perihal kepergian kakaknya.

Kini Arga dan Aqila sedang berjalan di koridor rumah sakit, keduanya melangkahkan kakinya berat menuju ruangan rawat Sheira. Mereka sengaja tidak membawa Arla karena mungkin anak itu kelelahan dan hanya dititipkan pada Leon--pamannya--.

"Jangan terlalu dipikirkan, kita harus bisa merelakan kepergian putra kita. Meskipun terasa sulit, dia harus pergi dengan tenang, Aqila," tutur Arga pada istrinya, sembari berjalan.

Dengan matanya yang sembab, Aqila hanya mengarahkan pandangannya ke depan dengan tatapan kosong. Dia benar-benar kacau saat ini.

"Aku gak tau harus gimana lagi, Ar. Aku kehilangan putraku untuk yang kedua kalinya," lirih Aqila.

Be My Girlfriend [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang