"La, lagi ngapain? Serius amat," tanya Sheira di dekat pintu kamar Arla seraya mengemut es krim rasa cokelatnya. Saking gabutnya dia malam ini sampai jalan-jalan gak jelas di rumahnya, dan lewat ke kamar Arla deh.
"Lagi belajar lah, kak. Gak kayak kakak yang kerjaannya pacaran teross," jawab Arla tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun pada kakaknya itu. Dia masih terfokus pada kegiatan belajarnya.
Sheira hanya melongo sambil menggelengkan kepala. Bisa-bisanya ya adiknya itu sok iye. Padahal dia punya pacar juga biasa-biasa aja, nggak kayak orang lain yang kalo punya pacar tuh lebay, nggak dikasih kabar sedetik aja ngamuk tuh, bukan Sheira banget.
"Ye dasar! Sirik kamu ya? Haha.. Sabar, kamu masih bocah, La."
Arla mendongakkan kepalanya, lantas dia pun mengangkat sekantong keresek makanan penuh yang ia dapatkan dari Delvin sore tadi, memamerkannya pada Sheira, "Sedikitpun nggak sirik, Kak. Malah bersyukur bisa dikasih pajak sama kak Delvin tiap dateng ke sini."
"Bukannya makasih malah julid terus. Dasar ya, punya adik kok gak tau diri," sindir Sheira mendelikkan matanya pada Arla.
"Aku udah bilang makasih loh sama kak Delvin karena dia udah naksir kakak. Aku rasa baru kali ini loh kakak ada yang naksir, udah ganteng, sultan pula." Jujur sekali adiknya Sheira satu-satunya ini. Dia menjulurkan lidahnya meledek pada Sheira. "Ya kali aku bilang makasih sama kakak? Makasih buat apa?"
Tidak hanya Delvin, terkadang adiknya ini juga tak kalah menyebalkan di mata Sheira. Hanya membuat Sheira naik pitam saja. Kalau bukan statusnya yang sebagai adiknya itu, mungkin sudah ia kasih jajan 2 milyar. Anjay mimpinya ketinggian, Shei.
"Iya, iya. Terserah kamu aja! Kamu tau gak mama di mana?" nyerah duluan sepertinya Sheira pada Arla. Tugas seorang kakak memang begitu, harus mau mengalah demi adiknya. Iya sih walaupun setengah kesal dan tidak rela, ya tetap harus ngalah.
Sheira menanyakan di mana Aqila pada Arla. Akhir-akhir ini dia merasa mamanya itu sedikit terlihat murung. Papanya juga yang sering lembur di kantor, sehingga jarang pulang ke rumah. Membuat suasana di rumah itu jadi terasa sepi dan membosankan.
"Di kamar kali, Kak. Tadi mama di sini ngajarin aku. Tapi cuma sebentar, abis itu keluar lagi dari kamar aku."
Sheira manggut-manggut menganggukkan kepalanya. Kemudian melangkahkan kedua kakinya menuju kamar Aqila, mamanya.
"Nggak kayak biasanya deh Mama cuma ngajarin Arla sebentar. Paling sebentar juga 1 jam sampe Arla tidur." Sheira membatin keheranan.
Gadis itu sangat merasakan perubahan yang terjadi di keluarganya. Ada apa sebenarnya?
***
Melihat pintu kamar mamanya yang sedikit terbuka itu, membuat Sheira berkeinginan masuk ke sana. Dia sungguh khawatir pada Aqila, takut terjadi apa-apa padanya.
"Ma, Shei masuk ya."
Belum Aqila mengiyakan pun, Sheira langsung masuk ketika melihat mamanya itu terbaring di kasur memunggungi Sheira.
Aqila yang asalnya terbaring, seketika langsung duduk mendengar suara Sheira. Dan terlihat mengusap matanya sebelum akhirnya Sheira datang menghampiri.
"Eh kamu belum tidur, Shei."
"Belum kok, Ma."
Sheira pun duduk di pinggir ranjang, tepat d samping Aqila.
"Mama kenapa? Kok keliatan murung gitu dari kemarin?" tanya Sheira penuh khawatir.
"Mama nggak papa kok. Emangnya ada yang salah ya?" jawab Aqila menggeleng seraya tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Girlfriend [END]
Roman pour Adolescents[FOLLOW SEBELUM MEMBACA^^] "Lo itu ibarat magnet, yang mau gak mau hati gue harus ketarik waktu pertama kali gue liat lo." -Delvin Archelaus Lazuardi. Di hari pertamanya sekolah di SMA Kartika ternyata tidak memberi kesan baik bagi Sheira Belvania...