Part 6

321 28 47
                                    

Tatapannya setengah kosong. Hanya embusan napas sengal yang terdengar lirih. Pria itu kemudian beranjak dan bercermin mengamati bentuk wajah. Merapatkan bibir dan memiringkannya sembari mengusap dagu yang sedikit ditumbuhi bulu.

"Tampan," ucapnya narsis. "Tubuhku juga berotot." Taehyung mengangkat satu tangan dan menggenggam jari sekuat mungkin. Hingga otot di sekitar lengan hampir menyembul.

Tak lama setelah itu, dia bergerak mundur dan duduk di kursi dengan menyangga dagu di atas meja. Melirik atap dan lantai. Wajahnya tampak datar. Senyumannya mendadak hilang.

Menyadari bahwa wajah tampan dan kemapanan saja tidak cukup untuk meraih hati seseorang. Ia berpikir, mungkin lebih baik menjadi biasa saja, tetapi mudah untuk mengejar Xia.

Dasar cinta letaknya di mata kemudian turun ke hati dan terbentuklah sebuah perasaan yang menggebu.

Dering ponsel ia abaikan. Namun, tidak dengan panggilan sang ibu. Taehyung merajuk ketika Nyonya Chain Bae masuk tanpa mengetuk pintu.

"Yak, Ibu, cobalah untuk mengetuk pintu dahulu." Taehyung sedikit kesal.

Chain Bae tersenyum. Duduk berdiri di belakang putra sulungnya sambil mengusap rambut halus itu.

"Maaf, ya." Taehyung mengangguk.

Chain mengedarkan pandangan ke segala sudut. Cukup berantakan dan buku yang tercecer di sembarang tempat. Belum lagi, kaleng bir yang menumpuk di meja.

"Kenapa tidak turun? Ayah dan Adikmu sudah menunggu sejak tadi," ucapnya cukup lembut. "Apa kau sedang tidak enak badan?"

Taehyung menggeleng. Menatap manja sang ibu. "Ibu," lirihnya. Spontan Chain menoleh. "Bagaimana pertemuanmu dengan ayah waktu itu?"

Chain kembali tersenyum. Duduk di ranjang Taehyung lalu menepuknya. Sang putra tampak paham, lalu mengikutinya.

"Eumm, tidak terlalu manis juga tidak buruk. Ayahmu cukup kaku," ungkapnya.

"Apakah Ayah yang mengejar atau Ibu yang mendekatinya?" Taehyung meletakkan kepala dipangkuan ibu.

Chain senang Taehyung terbuka padanya. Ia mengusap surai hitam di sana. Menyalurkan kehangatan sebagai ibu yang selalu mengerti kegelisahannya.

"Ayah dan Ibu dijodohkan saat itu," Chain menghela napas. "Meskipun begitu, kami jarang berselisih," jelasnya.

"Wahh." Taehyung beranjak menatap Chain. Matanya seolah berbicara tentang kebenaran. "Jadi Ibu tidak mencintai ayah waktu itu?" Ia penasaran.

Chain terkekeh. "Ayahmu cukup bertanggung jawab. Jadi tidak masalah tentang itu."

"Bagaimana kalian bersatu sedangkan cinta itu tidak tumbuh?" tanyanya lagi.

Chain menatap Taehyung. Menggeleng samar. Ia baru tahu, jika putranya secerewet ini. "Cinta tumbuh karena terbiasa. Makan, berbicara dan tidur bersama," jelasnya.

"Benarkah?" Taehyung tidak yakin. "Bagaimana jika saat itu ada orang lain di antara hati ibu, siapa yang akan ibu pilih?"

Chain menarik napas berat. Memandangi sang anak yang penasaran dengan jawabannya. Ia mengulas senyuman tipis.

"Cinta kadang salah memilih. Namun, hati akan menunjukannya." Ia berdiri dan menepuk pundak Taehyung. "Ayo makan. Kasihan cacing dalam perutmu, pasti mereka sudah berteriak kelaparan."

Pria itu tersenyum tipis, lebih ke cengiran. Menampilkan bibir kotak yang menggemaskan.

***

Sudah dua hari berlalu. Angela mengurung diri di kamar. Ia hanya keluar saat makan dan buang air saja.

Zero O'clock Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang