"Apa dokumen ini sudah bisa di sah, kan?" Mina duduk di depan pengacara.
"Anda yakin, ini adalah tanda tangan serta stempel miliknya, Nona?" Wanita itu mengangguk menjawab. "Tapi Anda bilang, Tuan Kim bukan orang yang mudah diperdaya."
Sekilas senyum miring terlihat di bibir Mina. "Betul, tapi apa yang lebih diutamakan oleh seorang pria dari harga diri. Apalagi, aku dengar dia tengah kecewa berat pada seseorang di sana." Pengacara muda itu mengangguk sembari mencerna ucapan. "Kau tahu, dia itu lemah. Jadi, kupikir ini akan sangat membantu."
"Baiklah. Secepatnya akan segera kukabarkan." Pria itu berlalu.
Lewat kaca jendela kafe dan pemandangan di luar yang tak terlalu menarik, Mina menyeruput kopi hangatnya dengan perasaan senang luar biasa.
Setelah dua hari lalu, ia berhasil mendapatkan tanda tangan Taehyung untuk menandatangi dokumen pen ting perusahaan. Meski dengan sedikit tipuan yang hampir gagal sebab pria itu akan selalu waspada dalam keadaan apa pun. Tak peduli meski hatinya tengah merana sekali pun.
Kemenangan susah di tangan, pikirnya.
***
Keadaan tak lagi sama.
Menghidupi anak seorang diri tak mudah untuk seorang wanita. Apalagi, dirinya hanya tinggal seorang diri di tempat yang tak seharusnya. Meski, Korea adalah tempat lahir, tapi Inggris adalah kota yang membesarkannya.
Kemalangan sering terjadi, itu pun terasa tak terjeda. Terus berganti dengan baik perputaran jam dan siang malam. Begitu seterusnya.
Senyum lama kini mulai pupus.
Tinggal menunggu detik terakhir pertemuan dirinya dengan Jimmy. Pria itu masih terdiam terbujur kaku dalam peti dingin. Angela mulai terisak mengenang masa lalu yang sulit dikembalikan. Bagaimana, dirinya bisa menghianati orang sebaik Jimmy.
Andai, waktu mengembalikan satu detik saja. Andai Tuhan memberinya satu kesempatan untuk bertemu pria itu secara nyata saat ini. Isak mulai terdengar dan matanya beralih menatap hal lain untuk sekedar mengurangi sesak di dada.
Entah, secara kebetulan atau mungkin Tuhan sudah bosan mendengar doanya. Jelas dan dapat ia pastikan, seklibatan bayangan yang ia lihat di ujung pintu adalah Jimmy.
Angela tak berkedip. Jantungnya secara alami berdebar kencang. Bibirnya kelu. Jangan sampai waktu menghapus bayangan itu.
Apa dia nyata?
Tak lama terdengar suara wanita berdeham dan bersamaan dengan itu lenyap sudah bayangan Jimmy tadi. Spontan Angela menoleh sebab suara itu tak familiar dengannya.
Wanita dengan rambut tergerai dan balutan baju hitam menghampiri. Ia kemudian meletakan bunga di meja yang disediakan. Menunduk seolah sedang berdoa.
"Apa rencanamu ke depan, Angela?" tanya Xia sembari mengulas senyuman tanpa beban. Namun, sang lawan bicara justru diam menatapnya. "Ahh, lelah sekali bermain dengan orang bodoh sepertimu."
Wajah yang didominasi Inggris itu memandang kosong. Lalu Xia mengambil kursi dan duduk secara elegan sambil menyoroti seluruh ruangan. Sesekali melirik Angela yang membatu di depannya.
"Aish, jangan memasang wajah idiot seperti itu. Kaupikir aku akan merasa iba?" Xia terkekeh. "Dengar, ada dan tidak adanya kau di dunia ini, jam akan terus berputar dan waktu akan terus berganti."
Memainkan kuku cantik yang baru diberi warna beberapa hari yang lalu. Sungguh, Xia benar-benar tak menunjukan duka sedikit pun.
Ia kembali bermonolog. "Keadaan takkan membaik, jika kau hanya duduk menangisi takdirmu," senyumnya melirik Angela. "Ya-ya-ya, kuakui, kau memang kuat dalam menahan beban penderitaan, tetapi sangat bodoh dalam perasaan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Zero O'clock
Hayran KurguMenjadi pengusaha muda, kaya dan mapan tak lantas membuat pria tampan bernama Kim Taehyung berpuas diri. Dirinya yang selalu haus akan keserakahan dipertemukan dengan dua wanita yang mengubah cara pandang hidup. Mencintai dua wanita yang ternyata su...