Part 8

290 19 29
                                    

Sendu terisak tangis di balik pintu kamar mandi kantor. Angela melarikan diri setelah apa yang dilakukan padanya. Penghinaan, pelecehan serta tuduhannya tak beralasan membuat emosinya hampir meledak.

Suasana hati tak membaik meski, ia mencoba menumpahkan seluruh air mata. Menangis pilu meratapi kesialan haru ini. Padahal masih pagi, bagaimana jika menjelang sore nanti?

Di tengah kekecewaan dan sakit yang mendera, ia teringat akan pesan sang ibu. 'Jangan menangis untuk hal yang tak pantas ditangisi'

Entah sudah berapa menit lamanya, ia terseguk di dalam sana. Menyapu wajah perlahan. Angela beranjak keluar. Namun, baru menyentuh gagang pintu terdengar obrolan yang menyakitkan.

Angela mengurungkan niat. Bukan niat menguping pembicaran, tetapi ia telanjur mendengarnya. Dua wanita yang tengah asyik membicarakan dirinya di depan wastapel.

"Apa kau yakin dengan gosip yang beredar?"

"Tentang apa?" Dia memoles lipstik di bibir.

"Tentang anak baru yang rela menjual tubuh pada atasan."

"Siapa?" Dia melirik. "Angela?"

Seorang lainnya mengangguk. "Dia memanfaatkan wajahnya untuk menggoda para petinggi, bahkan wanita itu rela menjual harga diri untuk merebut hati presdir." Ia menyeringai. "Kau lihat wajahnya tadi? Aku bahkan hampir tersedak sandwich karena itu."

"Cukup menyedihkan sih, tetapi dia memang pantas mendapatkan itu."

"Lagipula wanita seperti dia memang pantas diperlakukan seperti tadi, bahkan, jika aku di dekatnya sudah kuremas-remas wajah sok cantik itu." Ia meremas tangan kesal.

"Sudah ahh, jangan mengobrol di sini. Aku ada janji kencan siang nanti."

Mereka pergi, berlalu tanpa permisi. Meninggalkan air mata Angela yang mengalir deras. Tubuhnya gemetar, lalu bersimpuh tak berdaya.

Sebab tak ada satu pun orang yang mau memahaminya. Ia terpuruk akan keadaan yang menyudutkan keberadaan di sekitar mereka. Meredam tangis dalam balutan tangan yang lemah.

Sakit.

***

Harus berapa lama, ia berlakon bak aktris internasional. Bersandiwara menutupi ketakutan akan bayangan buruk mereka.

Masih bisa dirasakan, betapa sakitnya tawa remeh itu. Tatapan sengit dan jijik yang meruntuhkan pertahanannya.

Hingga jam siang berakhir, Angela masih enggan beranjak dari tempatnya. Untuk mengisi perut yang lapar, ia menyiapkan dua bungkus teh hijau untuk pengganjal perut.

Belum lagi, tugas yang diberikan manager Baek mengharuskannya untuk menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Sebelum diserahkan kepada atasan tertinggi, Kim Taehyung.

Sangat lambat dan fokusnya mendadak hilang. Angela menghela napas sulit, menenggelamkan kepala di meja. Keluhannya hanya satu, lapar.

Ditambah deringan telepon kantor yang membuat dirinya kian gugup. Manager Baek, tak hentinya menghubungi untuk segera menyerahkan berkas itu kepada presdir.

Dia tak mau tahu sebab sudah dari tiga jam lalu, manager memberinya tugas itu. Tak mau ada kesalahan sekecil apa pun. Pria bermarga Kim itu, bisa mencabut jabatannya kapan saja.

"Kenapa kau lambat sekali?" Manager tiba-tiba muncul di depannya. "Bukankah hanya beberapa lembar, apa yang kau lakukan sejak tadi?" bentaknya membuat Angela panik.

"Sa--saya ... maaf, Tuan." Angela gugup.

Baek memandangi sangat tajam. "Bagaimana kau bisa sesantai ini, hah? Apa kau pikir dengan kebaikan Tuan Kim, kau bisa bermanja ria di kantor ini?"

Zero O'clock Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang