Part 9

258 25 16
                                    

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"

Pelayan toko menghampiri Taehyung yang sedang berdiri di depan etalase kaca.

Tas dan sepatu berjejer cantik di sana. Ditambah lampu terang di sekeliling kian menambah daya tarik dari barang tersebut.

"Eumm." Taehyung mengusap-usap dagu, bimbang dengan pilihan. "Bisakah Anda merekomendasikan satu pilihan padaku?"

Dia tersenyum. Mengambil sepatu cantik dengan motif berlian berwarna putih.

"Bagaimana kalau ini? Mungkin ini bisa jadi satu pilihan dari sekian banyak barang di sini," ucapnya sopan.

Taehyung meraih cepat sepatu tersebut, mengangguk samar. "Kau yakin ini akan cocok untuk wanita muda?" Ia ragu.

Pelayanan kembali tersenyum. "Tergantung selera. Namun, jika Anda ragu bolehkah saya menunjukan yang lain?"

Taehyung mengangguk. "Tentu."

Tak menunggu lama, pelayan tadi telah  membawa Taehyung ke ruangan lain. Hal pertama yang ia rasakan adalah kagum.

Interior super mewah. Dilengkapi lampu gantung dengan kaca di sekeliling. Bak istana impian. Di sisi kanan berjejer sepatu dari segala merk terkenal, sedangkan sisi lainnya ada tas mahal yang serba merah, limited edition.

Dia menunjukkan semua koleksi terbaik yang dikirim dari berbagai belahan dunia.

"Wow, amazing." Taehyung kagum.

Tak lama, dari ujung sana terlihat satu pelayan wanita membawa tas dan sepatu kepadanya. Tampilannya sederhana, tetapi justru terkesan klasik dan mewah.

"Silakan dilihat dan dipertimbangkan, Tuan. Saya harap Anda akan menyukai barang ini."

"Bagus dan cantik," puji Taehyung. "Apa ini akan cocok untuknya?" Ia memperlihatkan sebuah foto pada pelayan.

Pelayan tersenyum. "Tentu saja ini akan cocok dikenakan olehnya. Pacar Anda pasti akan menyukai ini."

Pacar? Hah, baru calon.

Taehyung tersenyum tipis. Pilihan sudah ditetapkan. Harga menjadi urusan nomor sekian. Yang terpenting adalah membuatnya tersenyum.

"Baiklah, aku akan mengambil yang ini. Tolong bungkus dengan baik."

"Baik, Tuan."

***

Keterpurukan dan ketidakberdayaan membawa Angela dalam kegelisahan yang terus melemahkan semangat.

Badan ramping dengan rambut sebahu di sana, melangkah gontai melewati trotoar jalanan yang cukup ramai dengan kendaraan bermotor.

Ia tak peduli meski kepulan asap hitam menyapa penciumannya. Tak menutup hidup mau pun mata yang terasa perih.

Hampir saja, dirinya terseret motor dari arah berlawanan sebab kakinya salah menginjak lubang.

"Woii! Mau mati, yah! Sialan!" umpat pengendara itu. Dia berlalu.

Terhipnotis atau memang dirinya bodoh. Tatapannya kosong. Bahkan Angela hanya mengusap kaki yang lecet.

Angin berembus menyapu daratan. Dedaunan kering bertebaran. Di kursi halte, Angela duduk termenung di sana. Menenggelamkan pikiran yang suntuk.

Minggu siang yang menyebalkan.

Bagaimana, Angela? Apa kau sudah menyerah?

Ia terkekeh. Berbicara dengan hati lumayan membantu kehampaannya. Yah, setidaknya masih ada batin yang mau mendengarkan.

Entah sudah berapa lama ia menghabiskan waktu di sana. Terhitung sudah empat bus berhenti, tetapi wanita blasteran Inggis-Korea itu, masih enggan beranjak.

Zero O'clock Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang