27 | Kabari

4.7K 360 4
                                    

NOW PLAYING

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

NOW PLAYING

Tulus - Adaptasi

01:47 ─•──────── 03:09

|◁ II ▷|

-------•-------

Meja pipih berwarna cokelat dengan segelintir dekorasi yang memenuhi seisi ruangan membuat tampilan segar di tengah teriknya siang yang kini Violla dan Ufi tempati.

Restoran yang mereka tuju berada dekat dengan kantor hingga dapat ditempuh dengan berjalan kaki, sengaja mereka pilih tempat itu karena Violla belum pernah makan di sana dan menurut Ufi menu restorannya cukup bagus dengan desain simple tapi tetap menyimpan kesan nyaman untuk sekadar duduk menyantap hidangan. Jika suatu hari nanti bisnis Ufi bertambah, mungkin membuat sebuah rumah makan seperti ini akan dia pertimbangkan.

"Cukup nyaman, kan?"

"Yeah, you are right. Memangnya siapa yang bakal ngelewatin jam makan siang di tempat senyaman ini."

Beruntung sekali mereka yang saat jam istirahatnya bisa pergi ke tempat-tempat makan atau tempat yang membuatnya nyaman, coba bayangkan kalau pekerja bangunan di mana jam istirahatnya hanya di pakai untuk makan di kawasan berdebu dalam guyuran terik mentari hingga tak jarang membuat sakit berhari-hari.

Violla dan Ufi termasuk yang beruntung karena pekerjaan mereka dibantu oleh orang-orang hebat yang sudah ahli di bidangnya hingga mereka mempunyai cukup waktu untuk makan siang dengan tenang.

"Kamu masih ingat sama laki-laki yang kamu sebut lupa membawa harga dirinya waktu itu?"

Pandangan Violla menyipit tak suka. "Ck! Aku kira kamu nggak akan membahasnya. Memangnya kenapa?"

"Apa dia tinggal di sekitar sini?"

"Fi, he is crazy. Jadi dia bisa di mana saja." Violla memutar bola mata. "Dia memang nggak tahu diri, punya pekerjaan di Jakarta dan membuat kesalahan besar bukannya minta maaf malah membuatku malu." Violla mengumpat dengan nada rendah kesal setengah mati.

Sedari tadi Violla kira Ufi memperhatikannya, tapi ternyata tidak. Pria itu malah memilih menatap ke arah belakang Violla tanpa berkedip dan matanya kadang menyipit kadang membesar dengan celingak-celinguk seperti berusaha mencari tahu sesuatu di sana.

"Fi, what happen?!" seru Violla sembari menoleh ke belakang sampai membuat Ufi tersentak dan kembali pada fokusnya. Namun, begitu ia menoleh di sana tidak ada apa-apa kecuali sekumpulan kendaraan yang terparkir.

"Tadi kayaknya aku lihat ...." Ufi masih memastikan dengan mencari-cari mobil yang tadi terparkir di sana dan sekarang tidak ada. Ia masih ingat dengan mobil yang terakhir kali Robin pakai saat datang tanpa tahu diri ke perusahaan dan tepat sebelum Violla mengagetkannya mobil itu tadi terparkir di sana.

"Aneh, aku rasa tadi benar-benar melihatnya."

"Lihat apa?"

Mustahil menghilang tiba-tiba. Aku perlu pakai kacamata minus sepertinya. "Em ... enggak. Barusan aku rasa ada ... sudalah lupakan."

"Aneh," singgung Violla lalu beralih pada makanan yang baru saja diantarkan seorang pelayan.

Apa karena sering memikirkan masalah yang akhir-akhir ini menimpa tanpa dikira di hidup Ufi membuat imajinasi dan dunia nyata berkorelasi menjadi sebuah bentuk nyata hingga membuat orang yang melihat seperti buta? Jika tidak kenapa Ufi merasa demikian? Di satu sisi ia yakin tadi ada mobil itu, tapi di sisi lain alam bawah sadarnya menafsirkan itu hanya sebuah prasangka belaka.

Lagipula untuk apa Robin di kota ini jika Jakarta adalah tempatnya bekerja? Hanya untuk menguntit Violla? Kalau begitu dia sungguh laki-laki mesum dan memang tak punya harga diri. Sudah ditolak di depan publik bahkan masuk pemberitaan tetap saja mengejar Violla dan yang paling cemen ia lakukan secara sembunyi-sembunyi.

***

Ra, sorry baru bilang.

Lo inget orang yang nyelametin gue itu, kan? Gue nerima tawaran dia buat jadi model perusahaannya. Gue tahu ini gila karena agensi pasti nggak tahu apa-apa, tapi gue janji bakal kasih penghasilan gue setengahnya buat agensi.

Dia minta gue jadi model tas yang dia kelola karena saat ini perusahaanya lagi banyak problem. Lo pasti tahu kalau dia udah nyelametin gue, nggak enak aja rasanya kalau gue tolak. Sori karena nggak sempet ngerundingin ini lebih dulu. Please, Ra. Bantuin gue sampein pesan ini ke Pak Emi. Gue percaya sama lo.

Send.

Di ruangan yang sepi sunyi ini Violla mengetikkan pesan untuk Clara di Jakarta sana yang entah sedang apa. Sebuah televisi menyala di depan dengan volume rendah hanya dijadikan sebatas teman untuk menangkis kesepian.

Tadi sebenarnya Violla berada di bawah bersama Ufi yang sedang mengolah kacang hijau karena berniat membuat bubur. Pria itu bilang sudah tiga bulan tidak memakan bubur kacang hijau dan dia sangat pengin sekali memakannya, terdengar seperti seorang yang sedang mengidam memang.

Violla sendiri justru lupa kapan terakhir kali memakannya dan ia tidak merasa kangen untuk itu, bahkan sekadar ingin membeli pun tidak pernah tersirat di benaknya. Namun, ia yang memang tidak bisa memasak memilih menunggu di atas saja karena di bawah ada Kimi yang takutnya membuat bersin-bersin. Seharusnya Violla memang memperhatikan Ufi memasak agar dia juga bisa membuatnya, tapi tujuannya ke atas bukan hanya sekadar untuk duduk dan menonton TV lalu menunggu buburnya jadi. Violla ingin menghubungi Clara tentang langkah yang diambilnya.

Pahlawan lo ternyata bisa bikin lo jadi orang yang nggak enakan, ya? it's okay, Vi. Gue akan bantu ngomongin hal ini ke Pak Emi. Memang udah seharusnya kita bantu orang yang udah nolong kita. Gue selalu dukung keputusan lo kok.

Ah iya, sorry belum bisa ketemu, agensi menyuruh gue ngawasin model cowok labil yang super duper nyebelin. Dia lebih cuek daripada lo dan lebih seenaknya. Ah, kalau diceritain susah nyari sisi baiknya selain wajahnya yang emang cakep.

Violla terkekeh membaca pesan yang baru sampai ke telepon genggamnya. "Ada-ada aja."

Oh iya? Awas nanti lo jatuh cinta sama dia. Lo udah lama sendiri, kan?

Tanpa menunggu lama, Violla langsung mengetikkan balasan dari pesan yang Clara kirim. Di saat yang bersamaan, ia mendengar suara aktifitas di bawah mulai berhenti, mungkin Ufi sudah selesai memasaknya.

Sialan Lo! Dia empat tahun lebih muda dari gue. Nggak mungkin seleranya Nona-nona kayak gue gini. Gue sendiri bingung harus jatuh cinta sama siapa.

"Bukannya laki-laki sekarang memang suka yang lebih tua?" gumamnya dengan tawa sebab lucu saja jika cowok yang Clara maksud jatuh cinta pada orang yang mengawasinya. Kalau empat tahun lebih muda, itu artinya baru dua puluh satu tahun bahkan bisa saja masih kuliah semester tiga atau empat.

Jangan terlalu gila kerja, Ra. Kadang gila cinta juga perlu.

Send.

.........

-= MEMORABLE NIGHT =-

tidak ada yang mau dibicarakan. sekian.

Memorable Night #N1 ( LENGKAP )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang