"Maaf ...."
"Berhenti merasa bersalah karena hal-hal yang sebenarnya di luar kuasa kamu!"
Niat hati ingin rehat dari aktifitas yang melelahkan sebagi model, Violla Sanjaya justru mendapat dua malapetaka yang tidak pernah ia duga: 1) hampir kehilanga...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
NOW PLAYING
Pamungkas - Monolog
00:00 •───────── 03:21 |◁ II ▷|
-= HAPPY READING =-
God only knows where our fears go Hearts I've broke, now my tears flow You'll see that I'm sorry 'Cause you were good to me You were good to me
Lagu bertajuk You Were Good to Me yang dibawakan Zeremy Zucker bersama Chelsea Cutler mengalun lembut di telinga. Televisi yang menyala menampilkan acara musik dan lagu itu diputar di sana. Awalnya Violla tak tercuri dengan apa yang ditampilkan, televisi saja sengaja ia nyalakan hanya untuk menemani agar tidak terlalu merasa sendirian. Tetapi lagu itu justru mengingatkannya pada Ufi.
Hanya Tuhan yang tahu ke mana rasa takut kita pergi, karena jika Violla tahu bagaimana mengusirnya, mungkin sudah sejak dulu ia tak membiarkan takut mengakar dalam diri. Lirik yang menyatakan hati yang hancur juga air mata yang mengalir memprovokasi Violla agar kembali larut dalam kesedihan, ia tahu ia meyesal karena sudah membebankan Ufi tentangnya, makanya ia berpikir : apa pergi bisa mengurangi rasa bersalah ini?
Lihatlah betapa tidak mampunya Violla sekarang. Sudah dua hari Ufi pergi dan selama itu juga ia belum mengabari siapa pun, Clara saja tidak tahu kalau sekarang hanya kehampaan yang menemani. Violla yakin Ufi akan cepat kembali dan itu sebabnya ia menetap di sini. Ponselnya selalu ia simpan di hadapan agar jika suatu saat Ufi mengabari bisa cepat menanggapi.
Di rumah bergaya klasik tanpa ditemani sang pemilik Violla menutup wajahnya dengan telapak tangan, duduk muram ditemani lagu yang kini sudah mulai berganti, sialnya malam ini lagu-lagu yang diputar lagu tentang patah hati semua.
Tiba-tiba saja sebuah pesan masuk pada ponselnya, tanpa mengambil aba-ba Violla langsung memeriksanya. Namun ternyata itu pesan yang tak Violla inginkan, isinya hanya kalimat perintah yang sama sekali tidak ia kenali nomornya. Itu bukan nomor Papa, bukan nomor Mama, bukan pula Nomor Clara apalagi Ufi. Tapi nomor itu pernah menghubungi Violla dua kali, saat ia minum teh bersama Ufi di balkon terakhir kali, pesan itu tetap sama, menyuruh Violla untuk segera kembali.
No Name. Besok aku datang.
Deretan kata yang tak diharapkan itu semakin membuat Violla mengerutkan keningnya, ia lemparkan bantalan kursi ke sembarang arah hanya agar emosinya tercurah. Sudah tak sanggup lagi ia memendam masalah-masalah ini, bahkan rasanya ia masih belum bisa memaafkan perlakuan Papa yang menamparnya sampai hari ini.
Cepat-cepat Violla mengambil ponselnya lagi, ia abaikan pesan yang baru masuk dan memilih mengabari Clara saat ini juga. Masih belum terlalu malam, baru pukul tujuh malam lewat lima belas menit, masih belum terlambat untuknya pergi.