"Maaf ...."
"Berhenti merasa bersalah karena hal-hal yang sebenarnya di luar kuasa kamu!"
Niat hati ingin rehat dari aktifitas yang melelahkan sebagi model, Violla Sanjaya justru mendapat dua malapetaka yang tidak pernah ia duga: 1) hampir kehilanga...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
-= HAPPY READING =-
Bisa jadi ini yang dinamakan semesta tidak pernah bisa dikira, setiap perkara yang ada semuanya rahasia. Baru saja Ufi merasa lega karena urusan bisnisnya hanya tinggal meneken kontrak setelah rapat melelahkan yang baru saja dihadirinya usai, tapi rapat tadi membuahkan hasil yang tak ingin didapati. Di mana perusahaan Ufi harus mempresentasikan desain tas dan juga keunggulan serta terobosan-terobosan pasar yang mumpuni. Itu tandanya ia harus membawa beberapa rekan kerja berangkat ke sini, yang paling tidak bisa dilakukan adalah perusahaan yang mengajak Ufi bekerja sama juga mengharuskan membawa Violla.
Bagaimana bisa Ufi tak berpikir ke arah sana? Perusahaannya mendapat tawaran pasti karena kabar Violla yang diperbincangkan, ini konyol karena ketakutan mengendalikan Ufi secara berlebihan. Katanya ini masih bisnis rahasia yang perjanjiannya hanya antar CEO dan tak boleh ada yang tahu dulu, tapi ... kini dewan direksi menyuruh Ufi menampilkan desain-desain lainnya bersama banyak orang?
Memusingkan memang, tapi syukurlah, mungkin dengan begitu ia bisa bertemu Violla dan melepas rindunya di sini. Ia harus mengabari wanita itu sekarang. Violla pasti sudah menunggunya.
Pasti.
***
Lagi-lagi awan muram di atas sana menjatuhkan kembali seluruh isi airnya ke bumi. Lagi-lagi hujan terjadi saat Violla benar-benar kacau sendiri. Inilah kenapa ia tidak suka hujan turun apalagi saat dirinya merasa terluka atau stress begini, berbeda dengan orang-orang di luar sana yang menyukai irama bunyi-bunyian bulir itu menabrak tanah yang katanya menenangkan, tapi bagi Violla tidak. Hujan hanya menjadikannya dingin dan merasa sendirian.
Beberapa menit yang lalu Violla pergi dari rumah Ufi setelah Clara datang tiga jam setelah dihubungi. Wanita itu terkejut kala melihat kondisi Violla yang begitu buruk, terkulai lemas di lantai dengan air mata yang mengalir tanpa suara. Sampai saat ini Clara tak tahu sahabatnya itu kenapa setelah terdengar ketakutan di telepon tadi.
"Vi, kita sekarang harus ke mana? Kondisi lo bikin gue khawatir," tanya Clara sembari terus melajukan mobil.
"Rumah Ufi di komplek perumahan yang dulu." Awalnya Violla ingin mengatakan itu, tapi mengingat perkataan laki-laki tadi membuatnya bersumpah untuk tidak di sana.
Menyakitkan rasanya kembali ke tempat di mana hampir mati dan ditolong dengan sepenuh hati. Jika Tuhan merencanakan ini hanya agar Violla bertemu Ufi, kenapa caranya bisa sekejam ini? Apa salahnya sampai-sampai Ufi tega menyuruh orang lain untuk melenyapkannya? Apa Ufi sudah mengenal Violla sebelumnya? Atau mungkin pernyataan saat diwawancara tempo hari tentang alibi Ufi yang mengatakan rem Violla blong itu memang sudah diketahui faktanya? Kenapa semakin dibayangkan terasa sangat menyakitkan?
Memandang ke luar jendela mengingatkan Violla akan perkataan Yayan yang mengatakan bahwa Ufi akan menghubungi. Entah kenapa setelah kenyataan diketahui Violla masih menunggu telepon itu terjadi? Sesayang itu ia sekarang, bahkan ia sendiri tidak yakin bisa membenci Ufi. Ia rasa ia hanya kecewa karena orang yang dianggap paling bisa menjaga, paling memperhatikannya ternyata pernah berencana melenyapkan dirinya.
Violla mendapati wanita muram lewat pantulan layar ponsel yang gelap, air mata masih mengalir saja. Ia tampak benar-benar kehilangan dirinya.
"Violla, kita balik ke Jakarta aja, ya?" Clara berusaha membuat rekannya bicara agar tidak sepi sunyi, biasanya tidak sebisu ini saat satu mobil dengannya. "Kamu lanjut jadi model di sana. Pak Emi pasti welcome kok kalau lo balik lagi ke sana."
"Terserah lo, Ra. Yang penting nggak di sini." Emosi menginterupsi perkataan Violla, sulit sekali bicara menahan air mata.
Clara menghentikan mobil. "Vi! Sebenarnya ada apa, sih? Berantem sama Ufi?"
Violla sempat menatap Clara tajam dengan matanya yang menggenang, kemudian ia beralih membelakangi sahabatnya. Ia tak suka banyak ditanyai di situasi seperti ini, seharusnya Clara mengerti keadaan bukan malah membuat Violla sedih tak keruan.
"Vi, jawab gue dong! Kita jadi partner udah lama, masa masalah gini aja nggak mau cerita?"
"Masalah gini aja?!" Violla menoleh dengan tatajam tajam, matanya memerah. "Lo pikir gue hampir dibunuh itu masalah gini aja?"
Clara terkejut, benar-benar terkejut karena gampang terpancing emosi. "Mak-maksud lo—"
"Gue turun di sini!"
Violla tak percaya, di saat paling pahit seperti sekarang sahabatnya justru ikut menyudutkan. Bukan ini yang ia harapkan, ternyata memang hanya Ufi yang mengerti, ternyata memang hanya Ufi yang bisa membuat Violla tenang, tapi kenapa harus Ufi yang berniat membunuhnya? Kenapa?
Bunyi pintu mobil terbuka seketika menjelaskan bahwa hubungan Clara dan Violla sekarang sedang tidak baik-baik saja. Violla turun dengan memandangi ponsel, berharap Ufi meneleponnya. Sebodoh itu Violla sekarang.
Clara menjatuhkan kepalanya ke setir mobil. Ia sadar ia salah bicara dan sudah terlalu mendesak sahabatnya, Violla tak suka dibentak apalagi dipaksa-paksa. Tapi siapa yang tidak kesal saat seharian bekerja tanpa jeda, lalu ketika tubuh butuh istirahat dipaksa datang menuju tempat yang tidak bisa dikatakan sebentar. Tubuh Clara lemas, seharusnya Violla juga mengerti hal itu. Dan sekarang Clara dijatuhkan pada kesedihan-kesedihan Violla yang tak ada habisnya?Clara juga punya batas bertahan, seharusnya sahabat itu saling mengerti. Yang hidup bukan hanya satu orang, jadi perlu memikirkan orang lain.
Ponsel berdering. Ponsel Violla menyala dengan nama Ufi di tampilan layarnya. Betapa bahagianya ia sekarang. Namun, apa yang harus dilakukan? Jujur ia ingin mendengar kekhawatiran lelaki itu, tapi apa Violla sanggup menerima rasa sakit yang laki-laki itu beri?
Pada akhirnya, Violla menjawab panggilan dengan kembali menangis dan bersandar ke tembok trotoar jalan. Ia gemetar, lemas, ia berkomunikasi dengan seorang dalang perencanaan pembunuhan.
"Halo?" sapa seseorang tapi Violla tak berbicara apa-apa, ia membungkam mulutnya agar sesak tak tertangkap mikrofon ponsel. Ia biarkan hujan dan air mata jatuh bersamaan.
"Violla? Are you okay?" Ufi bertanya lagi, nadanya begitu lembut dan penuh kekhawatiran. Violla bisa mendengar musik klasik yang diputar di sana, sedangkan keramaian di depannya tak menjadi perhatian. "Halo, Vi? Kamu marah, ya?"
Violla tetap tak menjawab, lapisan bening menutup indra penglihatannya. Lampu-lampu kendaraan kini menjadi buram, tangisnya hampir mendobrak bungkam. Di belakang sana ia mendengar bunyi pintu mobil terbuka. Clara sepertinya akan datang, tapi tak juga melangkah.
Ufi mendengkus. "Seharusnya aku nggak nanyain itu ke kamu. Sudah pasti kamu benci aku sekarang."
Tiba-tiba isak tangis terdengar, tetapi Violla tetap berusaha menahannya. Entah kenapa ia tak setuju tentang kebencian, tapi Violla juga tak membenarkan kalau ia beruntung sempat jadi korban percobaan.
"Violla, tolong katakan sesuatu."
Violla berusaha membuka mulutnya untuk menyahut, tapi semakin ia berusaha suara menyedihkan itu semakin gila mendobrak pertahanannya. Ia ingin menangis, tidak mendengar suara Ufi berhari-hari rasanya seperti ditinggalkan di dalam gua sendirian.
I'm afraid, Fi.
Tangisan Violla kembali berjatuhan, ia tak sanggup jika harus bicara.