Sudah satu jam lebih Violla membantu Ufi merapikan barang-barang sembari terus bersin-bersin sebab Kimi hilir-mudik ke sana ke mari. Violla berada di kamar Ufi karena tadi mereka mengemas semuanya bersama, tapi pria itu memerlukan beberapa kardus lagi untuk mengemas action figurenya. Sembari menunggu teman satu atap kembali, ia menata tumpukan kaset-kaset lama kepunyaan Ufi dengan sangat teliti dan rapi. Sempat ia memandang salah satu kaset band asal Irlandia yang sangat amat disukainya, West Life. Yang ada di tangannya sekarang adalah kaset yang waktu itu ia putar sampai membuatnya terlelap meski tubuh luka-luka.
Hachi!
Violla bersin kembali sebab kucing putih itu mendekatinya yang tengah duduk di samping ranjang. "Kimi turun dulu, ya? Aku lagi beres-beres." Tak lama, Kimi pergi entah ke mana.
Selesai dengan kaset di tangan, Violla menyapu sekitar dengan mata telanjang memperhatikan dinding-dinding yang kini mulai kosong. Gaya kamar rapi yang minimalis membuat tampilannya sepi saat beberapa hiasan dinding dicopot Ufi tadi.
"Violla! TOLONG AMBILKAN KACAMATA AKU DI MEJA!" pekik Ufi entah dari mana sumber suaranya, yang jelas ia mendengar dan langsung beringsut mencarinya.
Meja di kamar Ufi hanya ada satu dan itu yang berwarna putih di depannya dengan IT'S OK yang belum dikemas, tetapi tidak ada kacamata di sana. Violla menarik salah satu laci yang terdiri dari tiga bagian itu secara bergantian. Di laci pertama ia hanya menemukan beberapa berkas kerja yang sepertinya penting untuk Ufi. Ia menarik laci ke dua dan benar saja kacamata itu ada di sana. Namun, ada yang membuat perhatiannya teralihkan.
Di samping kacamata itu ada satu papper bag mini cantik berwarna putih. Violla bisa menebak apa isinya karena ia cukup sering memberi barang serupa, yang membuatnya penasaran adalah kenapa bisa ada benda itu di laci Ufi?
Perlahan tangannya lancang membuka isi dari benda putih itu. Dugaannya benar, ada sebuah liontin di dalamnya. Kalung yang indah, dan bisa melingkar di leher wanita mana saja. Tidak mungkin jika ini untuk dikenakan Ufi, pria itu memiliki kalung sendiri dan itu terlihat manly saat Violla melihatnya. Yeah, ia melihat kalung Ufi ketika pertama kali pria itu selesai mandi di awal pertemuan mereka, dan sangat berbeda dengan kalung yang kini ada di tangannya.
"Ufi beli kalung untuk siapa?" gumamnya.
Semakin dilihat-lihat, benda itu semakin menimbulkan banyak pertanyaan. Seperti : Kenapa Ufi menyimpan benda ini? Kenapa ada kalung indah di sini? Violla tahu kisaran harga kalung itu, harganya memang tidak semahal berlian yang dapat mengalahkan nyawa manusia, tapi ia dapat merasakan bahwa benda itu tidak sembarangan bisa terkubur di laci ini.
"Bukankah ini harusnya untuk seseorang?"
Selama ia tinggal bersama Ufi di sini, tidak pernah sekalipun pria itu menceritakan tentang kisah asmaranya. Bahkan mengetahui benda-benda seperti ini saja ia temukan tanpa sengaja, lebih tepatnya karena Violla tidak berani mengorek-orek peralatan yang ada di sana. Rasanya tidak tahu diri jika sudah diberi tumpangan tinggal kemudian berlaku seenak jidat tanpa aturan.
Model dari bungkusan kalung itu tampak sedikit usang, dapat dilihat dari warna putih yang sudah menguning, sampai akhirnya ia membalik dan menemukan nama tokonya dengan tanggal kecil di sisi kanannya. Sepertinya ini barang spesial sampai di papper bagnya tercantum tanggal.
"2018? Satu tahun lalu?" gumamnya tak percaya.
"Violla? Kacamatanya udah ketemu?" Terdengar suara Ufi dari lorong dekat pintu kamar.
Violla refleks menaruh kembali kotak itu dan menyimpannya seperti semula. Ia dorong laci dengan tergesa-gesa, sebab takut Ufi berpikiran yang tidak-tidak jika kalung itu ada di tangannya. Meski ia yakin pria itu tidak akan bodoh menuduh seseorang. Bagaimana ya, Violla hanya tidak enak hati kalau benda yang pastinya penting menurut Ufi diketahui oleh orang lain.
"Violla?" Ufi sudah berdiri di ambang pintu, memperhatikan wanita yang kikuk itu. "Sudah ketemu?"
"Tentu saja. Tidak sulit mencarinya," jawabnya tanpa canggung dengan mengangkat kotak kacamata. Benar apa kata Ufi, dia memang pandai berakting.
Ufi mendekat lalu menerima asongan benda yang dicarinya, tapi ia merasa ada yang aneh.
Beberapa saat mata Violla melirik ruangan, tidak fokus pada bola mata Ufi karena berusaha mencari alasan. "Sepertinya aku harus ke toilet," dalihnya meleos pergi tanpa basa basi.
Ufi menaruh kacamatanya di atas meja, ia membuka laci kedua tempat yang ia ingat sebagai tempat menyimpan kacamata.
Seulas senyum masam terbit kala bungkusan putih itu masih ada di sana. Namun, sayangnya senyum itu tak berlangsung lama. Senyuman itu tak pantas ditunjukkan sebagai lambang kebahagiaan, semakin lama dipandang semakin membuat Ufi ingin menguburnya. Seandainya dulu ia tidak terlalu jatuh cinta pada wanita yang sama sekali tidak menganggapnya, mungkin sekarang kehilangan tidak akan semenyakitkan ini.
Jadi kamu udah lihat ini, Vi. "Dia harus lebih pintar memposisikan barang agar tidak ketahuan."
Posisi benda itu sekarang cukup membuat Ufi terhibur. Pasalnya logo toko di sana menjadi terlihat, padahal ia ingat jelas waktu itu diletakkan secara dibalik. Ufi menutup laci dan meraih kacamata yang tadi ia taruh untuk menyelesaikan pekerjaannya lagi.
***
Meninggalkan sesuatu memang selalu terasa berat apalagi untuk sesuatu yang sudah membuat kita nyaman, seperti rumah misalnya. Tempat kita menemukan nyaman dan tenang, tapi harus ditinggalkan sebab keegoisan urusan yang tidak berpihak pada si perasa nyaman. Sama seperti yang dirasakan Ufi sekarang, tempat yang sudah dihuninya hampir satu tahun, harus ia tinggalkan sebab dirasa tak nyaman. Rasanya seperti meninggalkan orang yang kita sayang—berat— tapi kita tidak akan tega meninggalkan jika tidak ada yang membuat sesak berada dalam lingkungan. Sederet koper-koper berjejer rapi di teras depan yang lebarnya tak seberapaa itu.
Hampir semua barang-barang kecil sudah terkumpul rapi, hanya tinggal menunggu pemiliknya bergerak memindahkan agar tidak lagi memperhatikan beranda yang suatu saat akan dirindukan. Ufi sudah meminta bantuan Yayan untuk mencarikan mobil yang bisa mengangkut barang.
Perlahan tapi pasti, Violla memasukan beberapa barang ke bagasi mobil sebab Ufi tadi masuk lagi ke dalam dengan alasan ponselnya ketinggalan di sana. Wajar saja, setibanya dari kantor tadi ia meletakkan benda pipih itu tanpa menyentuhnya sampai sekarang pukul delapan malam dan ia baru mengingatnya.
Ufi menemukan ponselnya di nakas kamar, saat ia menyalakan ternyata sudah ada dua puluh panggilan tak terjawab. Ia tak kenal nomor itu, tapi sepertinya Violla pernah berbicara dengan pemilik nomor ini beberapa waktu lalu. Entah wangsit dari mana tiba-tiba ia penasaran akan mobil merah tadi yang datang ke perusahaan, ia yakin tidak salah lihat. Buru-buru Ufi menghubungi sekretarisnya.
"Yan, kamu masih nyimpen nomor orang di toko kado?"
"Nggak saya save, sih, Pak. Tapi kayaknya ada di riwayat panggilan. Kenapa gitu?"
"Kamu coba hubungin lagi."
"Oke, Pak, bentar." Terdengar bunyi tut kecil beberapa kali, tak lama dari itu Yayan kembali. "Nomornya nggak bisa dihubungi, Pak."
Ufi menggeram kesal. "Pasti karena berita yang mulai tersebar," gumamnya.
"Bapak nggak diam-diam nyuruh dia buat lakuin itu tanpa sepengetahuan saya, kan?"
............ (TBC)
-= MEMORABLE NIGHT =-
KAMU SEDANG MEMBACA
Memorable Night #N1 ( LENGKAP )
Romansa"Maaf ...." "Berhenti merasa bersalah karena hal-hal yang sebenarnya di luar kuasa kamu!" Niat hati ingin rehat dari aktifitas yang melelahkan sebagi model, Violla Sanjaya justru mendapat dua malapetaka yang tidak pernah ia duga: 1) hampir kehilanga...