-------•-------
Hal yang paling nikmat bagi orang-orang ketika pagi adalah meminum kopi, menyeruputnya sampai tandas ditemani camilan kecil yang tersaji. Koran pagi hari yang membahas berita terkini, bahkan kadang tukang sayur yang lewat menawari barang dagangannya di depan rumah adalah sebuah peristiwa indah saat masih kecil dulu.
Waktu Ufi berusia tujuh tahun, ia suka duduk bersama Papa di kursi beranda rumah pagi hari. Jika Papa membaca koran, Ufi membaca buku cerita anak-anak sembari terkesima melihat ilustrasi-ilustrasi yang ada. Ibu juga dulu suka membuatkan teh hangat untuk Ufi, katanya kopi bisa membuat hati jadi berwarna hitam. Ufi saat itu percaya-percaya saja, Ibu biasanya tidak berbohong.
Sebelum menjadi Direktur di perusahaan, Papa awalnya hanya seorang karyawan di perusahaan pakaian milik kakek. Maka tak heran kalau sejak kecil pakaian yang Ufi pakai selalu modis karena Papa yang merancangnya. Walaupun perusahaan pakaian itu harus bangkrut dan Papa memulai lagi dari awal lagi dengan bantuan kenalan-kenalannya hingga bisa berdiri perusahaan seperti sekarang.
Tapi, pagi itu. Papa tiba-tiba menyimpan korannya, dia menyesap kopi beberapa tenggak lalu mengusap kepala Ufi. Ia masih ingat apa yang Papa tanyakan saat itu.
"Fi, kalau kamu udah besar. Kamu mau jadi apa?"
Dengan polos Ufi mengalihkan tatapannya dari buku cerita di tangan. "Jadi burung hantu, biar kayak burung hantu ini bisa keliling dunia." Tunjuknya pada buku di tangan.
Papa tertawa saat itu. Benar-benar seperti bahagia mendengar impian anaknya. Sedangkan yang Ufi tunjukan adalah ekspresi heran, saat itu ia kira perkatannya lucu atau mimpinya yang terlalu tinggi, tapi Papa berkata lain.
"Kenapa ketawa? Nggak boleh ya Ufi jadi burung hantu?"
Tawa Papa perlahan surut. "Fi, mau kamu jadi burung hantu, pilot, tentara, guru Papa dukung kamu. Tapi untuk sampai ke sana kamu bakal nemuin banyak rintangan kayak Pak burung hantu itu. Papa cuma mau kamu jadi anak yang berani dan nggak cengeng. Jangan mudah nangis, ya?"
"Emangnya kalau laki-laki nangis kenapa?"
Saat itu Papa hanya bilang, "Ya enggak apa-apa. Tapi laki-laki itu harus kuat. Kamu pernah lihat Pak burung hantu nangis?"
Ufi yang polos menggeleng.
"Pak burung hantu nggak nangis karena dia malu, masa laki-laki yang kuat nangis."
Mendengar perkataan Papa, Ufi menjadi berpikir tentang kejadian tiga hari lalu yang sejak saat itu, Ufi tidak pernah menangis lagi kala berebut buku cerita dengan temannya. Papa benar-benar meracuni Ufi dengan kalimatnya.
Namun, racun itu ternyata punya penawarnya. Ketika hari di mana usianya sudah sembilan tahun, ia melihat Papa menangis di ruang kerjanya ketika Ibu pergi mengantar kakek yang sebelumnya terdengar memarahi Papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memorable Night #N1 ( LENGKAP )
Romansa"Maaf ...." "Berhenti merasa bersalah karena hal-hal yang sebenarnya di luar kuasa kamu!" Niat hati ingin rehat dari aktifitas yang melelahkan sebagi model, Violla Sanjaya justru mendapat dua malapetaka yang tidak pernah ia duga: 1) hampir kehilanga...