"Gue perlu bicara sama lo,"
Letta menggeleng cepat, "Nggak ada yang perlu dibicarakan, semua sudah terlanjur."
"Tapi itu..."
"Gue nggak tau itu benar atau enggak, yang jelas gue kecewa sama lo." Ujar Alleta memotong ucapan Vian, matanya mulai memanas menahan air mata yang mendesak ingin keluar.
"Oke, gue minta maaf. Tapi lo perlu tahu, gue gak pernah ngelakuin hal itu. Gue gak senaif itu Ta," jawab Vian mencoba menjelaskan.
"Mulai sekarang, gue mohon. Tolong, jangan ganggu gue lagi. Gue gak mau terlibat masalah lo." Tekan Alleta pada Vian.
"Letta, please. Jangan..."
"Maaf, tapi gue kecewa sama lo Vian." Ujar Alleta lalu pergi meninggalkan Vian sendiri.
Tangan Vian mengepal, matanya memerah menahan amarah. Rahangnya mengeras hingga otot-ototnya tercetak jelas. Ia tak pernah mengira bahwa masalahnya akan menjadi rumit seperti ini.
***
Alleta melangkahkan kakinya ke toilet dengan cepat. Air mata yang ia tahan kini meluncur bebas membasahi pipinya. Ada rasa sesak dalam dadanya.
Ia mencoba untuk menenangkan pikirannya. Bahkan semalam dirinya sulit tidur. Mungkin ini pertama kalinya ia berada didalam masalah besar. Rasanya ini lebih sulit dari yang ia bayangkan.
Terdengar suara pintu terbuka dari salah satu bilik toilet. Alleta segera menghapus air matanya dan menyalakan kran untuk membasuh wajahnya.
"Hai,"
Seseorang menepuk pundak Alleta. Alleta menghentikan aktivitasnya dan menoleh. "Hai," jawabnya mencoba tersenyum.
Alleta melihat penampilan perempuan tersebut. Terlihat berkelas dan juga feminim. "Kau murid baru?" Tanyanya perempuan disampingnya, membuat ia tersadar dari lamunannya.
"Ya, aku belum lama disini." Jawabnya sesopan mungkin.
"Namamu Alleta?" Tanya perempuan itu sambil memandangnya seperti tatapan menilai.
Mendapat tatapan tersebut membuat Alleta risih dan cepat mengangguk, "Apa kau senang sekolah disini?" Tanyanya lagi.
"Ya, kurasa ini lebih baik dari sekolahku dulu." Jawab Letta berusaha tersenyum.
"Beruntung kau bisa punya teman yang baik. Kau juga dengan mudah bergaul dengan Vian." Ucapnya sambil membasuh tangannya.
Alleta tercekat, "Teman? Ah kurasa kau salah paham. Aku, aku tidak dekat dengannya apalagi sampai berteman. Itu hanya kesalahan pahaman," jawabnya cepat.
Perempuan tersebut menaikkan satu alisnya, "Tidak berteman? Tapi kurasa ia menyukaimu. Aku kenal dia sejak pertama masuk SMA. Dan dulu dia tak sesering ini masuk sekolah."
"Menyukaiku?" Alleta tertawa hambar, "Dia tidak menyukaiku. Vian hanya memanfaatkan aku untuk menebus kesalahanku." Jawabnya dengan tawa yang masih mengalir.
Jawabannya membuat perempuan itu mengernyit, "Kesalahan? Tentang apa?" Tanya perempuan itu seolah sedang menginterogasinya.
Alleta menganga, hampir saja ia keceplosan. "Ah tidak, itu hanya kecelakaan kecil. Dan aku tidak sengaja melakukannya. Sehingga aku perlu menebusnya," jawabnya memcoba meyakinkan.
Perempuan itu tersenyum, namun bagi Alleta itu bukan senyum yang tulus namun malah terlihat lebih seperti seringaian.
"Vian memang berandal sekolah. Namun, ia terkenal diluar sana. Sebagai ketua geng motor, banyak yang ingin diposisinya. Tidak menutup kemungkinan sekarang kau dalam masalah. Jadi, kusarankan agar kau berhati-hati." Ujar perempuan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
NADELEINE (End)✓
Teen FictionAlleta Nadeleine, gadis cantik yang harus pindah sekolah karena mengikuti papanya yang bekerja. Namun, siapa sangka di sekolah barunya ini membawanya untuk mendapatkan arti kehidupan yang tiada terkira. Berawal dari kekagumannya dengan sosok Davin...
