"Vian, bertahan. Lo harus kuat," gumam Vin menatap sendu tubuh Vian yang melemah. Ia mencoba menahan air matanya yang ingin melesak turun.
Tangannya menekan kuat kaos yang ia gunakan sebagai alas pada dada Vian yang terkena tembakan agar tidak terlalu banyak mengeluarkan darah. Bahkan ia rela bertelanjang dada menuju rumah sakit demi menghentikan pendarahan pada tubuh Vian.
Sementara perawat turut sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ozi menyandarkan kepalanya di badan mobil. Tak kuasa menatap Vian yang berlumur darah dan luka memar di sekujur tubuhnya.
Tak lama ambulance sampai dirumah sakit. Para dokter dan perawat segera berlari menghampiri ambulance dan mendorong brankar rumah sakit secepat mungkin menuju ke ruang operasi yang telah di persiapkan sebelumnya.
Keadaan terasa menegang. Bahkan orang-orang di sekitar penasaran karena ramainya mobil dan motor yang turut serta dibelakang ambulance. Sehingga membuat mereka berpikir bahwa pasien yang terluka seperti anak petinggi negara atau sejenisnya. Sebab, jika dilihat dari segi pelayanan yang diberikan. Semua serba cepat dan tanggap.
Dokter segera menutup pintu dan bergegas menjalankan prosedur operasi. Mengingat pasien yang ditangani saat ini bukanlah dari golongan orang biasa.
Semua terlihat tegang dan cemas. Mereka menunggu didepan ruang operasi dengan was-was. Sebagian anggota Arsenio harus masuk ke ruang perawatan untuk menangani luka-luka yang didapat akibat tawuran.
Abraham menatap nanar ruangan yang bertuliskan ruang operasi dari kejauhan. Bahkan ia tak sanggup untuk mendekat. Ia merasa gagal menjadi ayah yang baik bagi Vian.
Abraham mengembuskan napas pelan, tak kuasa mengingat anaknya yang terluka parah. Matanya memerah menahan tangis. Dirinya terasa tertampar melihat keadaan anaknya yang di ambang kematian.
Ia terduduk di salah satu kursi yang tersedia. Tangannya meraup wajahnya frustasi. Sungguh, dia tidak pernah tahu apa yang dilakukan oleh Vian. Sebab, ia terlalu sibuk dengan kerjanya.
Sekalipun ia menyuruh orang untuk mengawasi anaknya, ia bahkan tak sempat untuk mendengar apa yang akan diucapkan oleh orang suruhannya. Alex tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya terdiam di samping bosnya.
Sungguh, ia juga merasa kehilangan sekaligus bersalah karena tidak bisa menjaga anak tuannya dengan baik. Tapi dia juga kecewa pada bos besarnya, karena selama ini Abraham terlalu sibuk bekerja hingga lupa tak pernah sempat mendengar kabar dari Vian.
Tak lama, suara roda yang bergesekan dengan lantai kembali terdengar. Mereka sama-sama menoleh ke arah suara, betapa terkejutnya ketika mendapati Alleta tengah terbaring tak berdaya di brankar dengan keadaan tak jauh seperti Vian.
Dibelakangnya, ada orang tua Alleta dan sahabatnya. Mereka menangis pilu, tidak sanggup membayangkan bagaimana sakitnya Alleta menahan semua penderitaannya.
Alleta masuk dalam ruangan disamping Vian. Tidak ada yang berani bersuara. Mereka sama-sama terdiam dan berkecamuk dalam pikiran masing-masing.
Davin meraup wajahnya frustasi. Ia meninju dinding yang ada didekatnya untuk melampiaskan amarahnya. Ia merasa tidak berguna. Dadanya naik turun menahan emosi yang hendak meluap.
"Vin, udah. Ini bukan salah lo," ujar Loria mencoba untuk menenangkan Davin.
"Benar nak, ini semua sudah takdir. Tolong, bisakah kamu menceritakan bagaimana semua ini bisa terjadi. Apa yang sebenarnya telah menimpa Alleta?" Tanya Radit pada Davin.
Sementara Vani sejak tadi menangis di pelukan Radit, anak semata wayangnya kini tengah berjuang didalam sana. Dia tidak pernah mengira bahwa anaknya akan mengalami hal yang lebih parah dari kejadian sebelumnya yang pernah menimpa Alleta.
KAMU SEDANG MEMBACA
NADELEINE (End)✓
Teen FictionAlleta Nadeleine, gadis cantik yang harus pindah sekolah karena mengikuti papanya yang bekerja. Namun, siapa sangka di sekolah barunya ini membawanya untuk mendapatkan arti kehidupan yang tiada terkira. Berawal dari kekagumannya dengan sosok Davin...