"Al, biar gue yang siapin ya?" Pinta Davin lembut.
Alleta menggeleng lemah. Ia menggunakan isyarat tangan agar Davin berhenti mendekat dan tetap di tempat duduknya. "Enggak Dav, gue bisa sendiri. Gue harus bisa. Emang ini takdir gue, gue gak mau orang lain terbebani gara-gara gue. Gue harus mandiri. Ariennya Alleta pasti sedih kalo tau gue lemah, gue gak mau bikin Vian kecewa." Tutur Alleta tersenyum paksa.
Nyatanya, hati kecilnya tidak bisa berbohong. Alleta lemah, hatinya sakit. Dia rapuh seakan separuh jiwanya terasa mati. Semua terasa hampa, luka batinnya makin melebar seiring berjalannya waktu yang ia lalui dengan kesendirian.
"Tapi ini---"
"Cukup Dav. Gue pasti bisa. Kalo gue bisa Vian pasti bisa. Gue gak bakalan nyerah demi Vian, gue pasti bisa. Vian juga kan Dav, dia gak bakalan ninggalin gue kan?"
Alleta kembali menangis. Sekuat apapun Letta mencoba, nyatanya ini semua terlalu sulit. Butuh waktu untuk menyembuhkan luka fisik dan batinnya.
Davin menghela napas pasrah. Dirangkulnya erat tubuh Alleta. Davin tidak tau harus berkata apa. Sebab, sudah dua minggu sejak kepulangan Alleta dari rumah sakit. Vian sama sekali belum menunjukkan perubahan.
Dikecupnya lama puncak kepala Alleta. "Semua akan berakhir baik-baik saja. Lo harus semangat, gak ada yang tahu gimana nasib Vian. Semua udah takdir Al," ujar Davin menasehati Alleta secara perlahan.
"Jangan nangis lagi, Vian pasti sedih lihat lo kayak gini," pinta Davin melepaskan rangkulannya dan mengusap air mata Alleta.
"Sekarang lo makan ya, nanti gue langsung ambilin obatnya biar lo cepet bisa istirahat." Davin membiarkan Alleta untuk makan makanannya sendiri.
Meski sempat ragu, namun Davin memilih untuk memperhatikan Alleta . Awalnya memang sedikit kesusahan, namun Alleta tetap bersikukuh bahwa tidak ingin dibantu.
Jam dinding menunjukkan pukul dua belas siang, sementara kedua orangtua Alleta belum pulang karena harus terpaksa menyelesaikan urusan kantor.
Akhirnya, mereka meminta bantuan Davin untuk menjaga Alleta. Davin membantu Alleta untuk masuk kedalam kamarnya. Kedua orangtuanya telah menyarankan Alleta untuk pindah kamar dibawah saja, tapi Alleta menolak.
Mereka akhirnya mengalah, sebab saat ini yang dibutuhkan Alleta adalah dukungan agar Alleta bisa semangat kembali menjalani hidup.
Davin membaringkan tubuh Alleta perlahan. Diusapnya rambut Alleta dengan penuh kasih sayang. "Dav, gue pengen istirahat. Lo boleh keluar," ucap Alleta memunggungi Davin.
Tau maksud Alleta, Davin segera pergi dan menutup kamar Alleta. Tangan Alleta merogoh kotak musik yang berada dibawah bantalnya.
Bayangan akan kebersamaannya dengan Vian kembali memenuhi kepala Alleta. Ditambah dengan alunan lagu yang terputar dari kotak musik tersebut makin mengingatkan kenangan indah yang pernah ia lalui dengan Vian.
Air matanya semakin mengalir deras membasahi bantal yang ada dibawahnya.
Sejak tadi pikirannya selalu dipenuhi akan sosok Vian yang kini selalu mengisi kekosongan hari harinya. Semakin miris, ketika ia mengingat fakta ia mengatakan bahwa dirinya mencintai Vian.
Kebersamaan yang telah dibuat selama ini cukup untuk membuat ia tersadar bahwa ia butuh Vian bukan menerima kehadiran Davin. Rasa nyaman telah berhasil memikat hati Alleta.
Laki-laki itu yang selalu membuatnya tersenyum, konyol dan sedih dalam waktu bersamaan mampu menyita hati dan pikirannya.
Apakah ini permainan takdir? Jika memang iya, kenapa semakin rumit. Semakin ia mencoba untuk bangkit dan berusaha tegar kembali dirinya merasa sulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
NADELEINE (End)✓
Teen FictionAlleta Nadeleine, gadis cantik yang harus pindah sekolah karena mengikuti papanya yang bekerja. Namun, siapa sangka di sekolah barunya ini membawanya untuk mendapatkan arti kehidupan yang tiada terkira. Berawal dari kekagumannya dengan sosok Davin...
